Rabu, 09 Juli 2014

10 Ciri Orang Yang Gagal Meraih Fadhilah Ramadhan


Berikut adalah 10 ciri-ciri umum sebagian orang yang kemungkinan “gagal” meraih fadhilah Ramadhan (wallahu A’lam)
  1. Kurang optimalnya persiapan dalam melakukan ‘warming up’.
  2. Target khatam Al Qur’an tak terpenuhi.
  3. Berpuasa tidak menghalangi seseorang dari dosa mulut (menggunjing, bohong, dan sebagainya).
  4. Tidak mampu memelihara mata dari melihat yang diharamkan.
  5. Ketika malam-malam Ramadhan tak ada bedanya dengan malam-malam biasanya.
  6. Saat berbuka menjadi saat melampiaskan semua keinginan nafsunya yang tertahan.
  7. Ketika Ramadhan tidak dioptimalkan untuk banyak mengeluarkan infaq dan sedekah.
  8. Ketika hari-hari menjelang Idul fitri sibuk dengan persiapan lahir, tetapi tidak sibuk memperbanyak ibadah.
  9. Ketika Idul fitri dan selanjutnya dirayakan seperti hari ‘merdeka’ dari penjara untuk kembali melakukan berbagai penyimpangan.
  10. Pasca Ramadhan nyaris tak ada ibadah yang ditindak lanjuti.
Jika ciri-ciri di atas melekat pada diri kita, sebagian ataupun malah keseluruhan, maka marilah kita banyak-banyak beristighfar dan berdoa berharap Ramadhan kemudian tidak mengulanginya.
Jika ciri-ciri di atas dirasa ada yang kurang, Silahkan ditambahkan di komentar…
 
(habaib.net)

Tanda-tanda Sukses Meraih Fadhilah Ramadhan

Ramadhan bak jamuan istimewa yang diperuntukkan Allah bagi hamba-hamba-Nya tanpa pandang bulu, baik bagi mereka para pecinta kebaikan, atau bagi mereka para pecinta maksiat. Para pecinta kebaikan menyambut jamuan Ramadhan untuk berlomba meraih kecintaan Allah. Sementara para pecinta maksiat sudah selayaknya menjadikannya sebagai perhentian terakhir dari petualangan dosa selama ini, sekaligus momentum balik untuk bergabung bersama kafilah pecinta kebaikan.

“Apabila malam pertama Ramadhan tiba, syaitan-syaitan dan jin jahat dibelenggu. Pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satupun yang terbuka. Pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satupun yang tertutup. Kemudian ada seorang penyeru yang berseru, ‘Wahai para pencari kebaikan, sambutlah! Wahai para pencari kejahatan, berhentilah. Maka Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu berlangsung pada setiap malam Ramadhan.” [Hadits Hasan, at-Tirmidzi: 682]

Bagi mereka yang gagal mendulang kemuliaan dari jamuan tersebut, sungguh tak ada kalimat yang bisa menggambarkan betapa meruginya mereka. Karena memang, tidak semua dari kedua golongan tersebut sukses meraih kemuliaan Ramadhan.

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِـهِ إلاَّ الْجُوْعِ وَالْعَطَشِ .

“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan haus.” [Hadits Shahih, Ahmad: II/441 dan 373]

Jika demikian, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui apakah kita termasuk orang-orang yang sukses mendulang rahmat dan maghfirah Allah di bulan Ramadhan. Setidaknya ada beberapa indikasi pasca Ramadhan yang bisa Anda jadikan parameter ukur dalam masalah ini.

(1) Menjadi Orang yang Ikhlas
Puasa Ramadhan menggembleng kita dalam mengikhlaskan niat, dimana puasa Ramadhan hanya dilakukan untuk Allah semata, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ: الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ, قَالَ اللهُ تَعَلَى: إلاَّ الصِّيَامُ فَإنَّهُ لِيْ وَأنَا أَجْزِيْ بِـهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ

“Setiap amal anak Adam akan dibalas berlipat ganda. Satu kebaikan akan dibalas 10 kali lipat sampai 700 kali lipat. Allah berfirman: ‘Kecuali puasa. Puasa ini untuk diri-Ku dan Aku akan membalasnya (dengan pahala tanpa batas). Dia meninggalkan syahwat dan makanannya demi diri-Ku….” [Shahih Muslim: 1151]

Inilah esensi ajaran tauhid. Jika ibadah Anda setelah Ramadhan tidak lagi bergantung pada tendensi selain-Nya, seperti riya’ dan sum’ah yang tergolong syirik kecil (lebih-lebih syirik besar), maka ini boleh jadi—Insya Allah—pertanda yang baik diterimanya amal Ramadhan Anda.

(2) Semakin Ringan dan Nikmat Dalam Melakukan Amal Ketaatan
Puasa Ramadhan juga menempa seseorang untuk meningkatkan kadar keikhlasan ibadahnya. Karena di dalam puasa, hamba tidak dituntut sekedar menahan makan, minum dan syahwat semata, tapi juga lisan dan hatinya dari ketidaksabaran atau dari amal yang tidak bermanfaat.

وَإذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإنْ سَبَّهُ أحَدٌ أوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ

“…Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah melakukan rafats (seperti berbicara porno atau keji) dan tidak juga membuat kegaduhan. Jika ada orang yang hendak mencaci atau menyerangnya, hendaklah ia (bersabar dan) berkata: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa…” [Shahih Bukhari:IV/88]

Dan ini sudah barang tentu membutuhkan tingkat keikhlasan yang lebih. Karena dengan keikhlasan seadanya, sangat sulit untuk mampu menghindar dari larangan-larangan semisal dalam hadits di atas.

Ketika semakin tinggi keikhlasan seorang hamba, semakin besar pula keridhaannya terhadap Allah. Semakin besar keridhaan hamba kepada Allah, semakin ringan baginya dalam melaksanakan ketaatan pada-Nya. Jika Anda merasakan hal tersebut di luar Ramadhan, maka berbahagialah. Anda yang tadinya merasa terbelenggu ketika hendak melangkah untuk beramal, Anda yang kemarin selalu tidur berselimut futur (malas, jenuh dalam beramal), tiba-tiba menjadi orang yang bangkit beramal shalih setelah Ramadhan, maka tersenyumlah dan ucapkan Tahmid (Alhamdulillah), karena Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.

Setelah merasa ringan dalam melakukan amal ketaatan (terutama ibadah yang wajib), dan Anda telah istiqomah dalam beribadah kepada-Nya, maka pada tahap berikutnya Anda akan merasakan kenikmatan dalam beribadah. Jiwa dan raga Anda merasa butuh untuk beribadah. Hati akan terasa hampa dan merugi ketika luput dari satu bentuk ibadah, sekalipun tanpa disengaja.

(3) Semakin Jauh dari Maksiat
Ini karena puasa adalah tameng yang membentengi hamba dari perbuatan maksiat. Sebagaimana hadits Rasulullah r:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ السْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةُ فَالْيَتَزَوَّجْ فَإنَّهُ أغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأحْسَنُ لِلْفَرْجِ فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai sekalian anak muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih tangguh memelihara kemaluan. 

Barangsiapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa bisa menjadi perisai baginya (dari kemaksiatan).” [Shahih Bukhari: IV/106 dan Shahih Muslim: 1400 dari sahabat Ibnu Mas’ud]
Maka jika keadaan Anda lebih jauh dari maksiat jika dibandingkan dengan kondisi Anda sebelum Ramadhan, maka ber-husnuzzon-lah kepada Allah, bahwa Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.

(4) Cinta pada al-Qur-an
Orang-orang yang sukses di bulan Ramadhan akan bertambah rajin membaca al-Qur-an di luar Ramadhan jika dibandingkan dengan waktu sebelum Ramadhan. Karena bulan ini adalah “Bulannya al-Qur-an”, tiada hari tanpa membaca al-Qur-an. Sehingga kebiasaan mulia ber-wirid dengan tilawah al-Qur-an tentunya akan tetap berlanjut setelah Ramadhan.

(5) Menjadi Dermawan
Hikmah puasa memberikan kita kesempatan untuk merasakan penderitaan kaum dhuafa’ dan fakir miskin. Dari sini diharapkan tumbuh kesadaran sosial yang tinggi dengan menyantuni mereka, menyayangi serta meringankan beban mereka. Kewajiban zakat fithrah di akhir Ramadhan juga mengajarkan hal ini. Selepas Ramadhan, orang-orang yang sukses akan lebih dermawan.

(6) Loyalitas (Wala’) Sesama Muslim Semakin Kokoh
Ramadhan mengajarkan kita untuk berbagi antar sesama. Renungkanlah bagaimana Allah menjanjikan pahala yang besar kepada mereka yang menyediakan ifthar (buka puasa) bagi saudaranya:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berbuka puasa, maka baginya pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” [Ahmad: IV/114-116, shahih menurut at-Tirmidzi: 804]

Ramadhan benar-benar menjadi momentum bagi kita untuk merekonstruksi makna al-Wala’ yang sempat runtuh dan terkubur. Dengan demikian, rasa cinta dan persaudaraan Islam pun akan bersemi. Orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan, senantiasa menjaga bangunan al-Wala’ tetap kokoh menjulang, baik di luar Ramadhan sekalipun.

(7) Do’a yang Terkabul
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

“Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa, punya satu kesempatan do’a yang tidak akan ditolak pada saat ia berbuka.” [Hadits Shahih, Ibnu Majah: I/557]

Jika do’a yang Anda panjatkan saat Ramadhan menjadi kenyataan, maka ucapkanlah kalimat syukur, kemudian Anda boleh berharap dengan yakin, bahwa Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.

(8) Semakin Mendalami Ilmu Agama
Boleh dibilang ini adalah indikasi terbesar bagi seorang hamba yang telah meraih sukses di bulan Ramadhan. Karena buah dari sukses Ramadhan adalah dilimpahkannya berbagai kebaikan kepada hamba. Dan Allah jika menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya yang terpilih, Dia terlebih dahulu akan mempersiapkan hamba-Nya tersebut untuk memahami ilmu agama, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ

“Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, Maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [Shahih Bukhari: 71 dan Shahih Muslim: 1037]

Mafhum mukholafah dari hadits ini adalah; bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya (berarti) tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah [al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu hal. 49]. Dan yang demikian ini mustahil bagi mereka yang benar-benar sukses di bulan Ramadhan di mata Allah. Orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan pasti akan mendapat limpahan kebaikan dari Allah, dan indikasinya akan terlihat jelas setelah Ramadhan, dari usahanya yang lebih serius dalam menuntut dan memahami ilmu agama.

Imam Nawawi (wafat th. 676 H) mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan ilmu, mendalami agama, dan dorongan kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan menuntunnya kepada ketakwaan kepada Allah Ta’ala.” [Syarh Shahih Muslim: VII/128]
Jika kita renungkan ucapan Imam Nawawi: “…ilmu akan menuntunnya kepada ketakwaan kepada Allah Ta’ala”, maka akan nampak jelas korelasi antara mendalami ilmu agama dengan tujuan utama puasa Ramadhan yang disebutkan dalam ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 183]

Logikanya; jika Anda sukses menjalani Ramadhan, maka Anda pasti akan menjadi orang yang bertakwa, sementara ilmu adalah kendaraan yang akan mengantarkan Anda kepada takwa (sebagaimana ucapan Imam Nawawi di atas). Sehingga bisa ditarik garis kesimpulan bahwa: orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan akan dipersiapkan oleh Allah untuk mendalami ilmu agama, demi meraih apa yang telah Ia janjikan sebagai buah dari berpuasa yaitu takwa.
Setelah meraih mahkota takwa, maka bersiap-siaplah seorang hamba mendulang kemuliaan demi kemuliaan, kebaikan demi kebaikan yang melimpah dan beragam jenisnya.
***
Disusun oleh Redaksi al-Hujjah dari berbagai sumber bacaan, di-muroja’ah oleh: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.

Senin, 30 Juni 2014

HISAB DAN PENENTUAN AWAL RAMADHAN

Kaum muslimin diperintahkan Allah untuk mengikuti dan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam seluruh syari’atnya. Demikian pula yang berkaitan dengan penentuan ibadah besar seperti puasa Ramadhan, Idul Fithri dan Haji. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara tegas mengajarkan cara penentuannya dengan rukyat hilal (melihat hilal) dengan mata dan bila terhalang mendung atau yang sejenisnya maka dengan cara menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari untuk Ramadhan atau Ramadhan 30 hari untuk Syawal [1].

Demikianlah contoh dan ajaran Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam permasalahan ini, sehingga hukum berpuasa Ramadhan dan berbuka dari bulan Ramadhan bergantung kepada rukyah hilal. Tidak berpuasa kecuali dengan melihatnya dan tidak berbuka dari Ramadhan kecuali dengan melihatnya langsung dan seandainya melihat dengan alat teropong dan alat-alat yang dapat memperjelas penglihatan maka itu dianggap sebagai penglihatan dengan mata [2]

Rukyah (melihat hilal) lah yang menjadi dasar syar’i dalam hukum puasa dan Idul Fithri. Adapun hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam penentuan puasa menurut syari’at.[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Tidak diragukan lagi hal ini telah ditetapkan dengan dasar sunnah yang shahih dan atsar para sahabat, sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab. Orang yang bersandara kepada hisab telah menyimpang dari syari’at dan berbuat kebid’ahan dalam agama. Dia telah salah secara akal dan ilmu hisab sendiri, karena ulama hisab telah mengetahui bahwa rukyat tidak dapat ditentukan dengan perkara hisab, karena hilal tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan ketinggian dan kerendahan suatu tempat dan lainnya.[4]

Imam Ibnu Daqiqil Ied berkata: Menurut pendapat saya, hisab tidak boleh dijadikan sandaraan dalam puasa.[5]

Ketika mengomentari hadits “إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ ”: Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata : ‘Pada mereka (bangsa Arab) ada orang yang dapat menulis dan mengetahui hisab, (dinamakan umiyun) karena yang menulis sangat sedikit sekali. Yang dimaksud hisab dalam hadits ini adalah hisab nujum dan perjalanannya (falak) dan mereka hanya sedikit yang mengerti hal ini, sehingga hukum berpuasa dan lainnya tergantung kepada rukyah agar tidak menyulitkan mereka karena sulitnya hisab. Lalu hukum ini berlaku terus pada puasa walaupun setelahnya banyak orang yang telah mengetahui hisab. Bahkan dzahir hadits dipahami tidak adanya hukum puasa dengan hisab. Hal ini dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya yang berbunyi: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّة ثَلاَثِيْنَ dan tidak menyatakan: “Tanyalah kepada Ahli Hisab!”.

Lalu beliau rahimahullah berkata lagi: ‘Sebagian kaum berpendapat merujuk kepada ahli hisab. Mereka adalah Syiah Rafidhah, dan dinukilkan dari sebagian ahli fiqih bahwa mereka menyetujuinya, Al Baaji berkata: ‘Ijma’ Salafush Shalih sudah menjadi hujjah atas mereka’. Dan Ibnu Bazizah berkata: ‘Ini adalah madzhab yang batil, sebab syari’at telah melarang memperdalam ilmu perbintangan, karena ia hanyalah persangkaan dan hipotesa semata tidak ada kepastian dan tidak juga perkiraan yang rajih (zhann rajih). Ditambah lagi seandainya perkara puasa dihubungkan dengannya. Maka tentulah menyulitkan, karena yang mengetahuinya sedikit sekali.[6]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: Tidak wajib berpuasa dengan penentuan hisab, seandainya ulama hisab menetapkan bahwa malam ini termasuk Ramadhan, namun mereka belum melihat hilal maka tidak berpuasa. Karena syari’at menggantung hukum berpuasa ini dengan perkara yang terindera yaitu rukyat hilal.[7]

Jadi jelaslah hisab tidak dapat dijadikan sandaran dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Haji.

FAKTA DAN SYUBHAT
Dewasa ini berkembang penggunaan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Banyak orang yang menggunakannya berusaha membela dan mencari dalih-dalih yang menguatkan penggunaan hisab ini serta menyatakan hal itu berdasarkan pada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi dan juga ilmu hisab.

Diantara syubhat yang mereka sampaikan adalah.

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” [al Baqarah/2 : 185]

Jawab.
Dalil ini tidak dapat dipakai untuk membenarkan penggunaan hisab dalam penentuan awal Ramadhan, sebab tidak ada penjelasan cara menentukan awal bulan tersebut. Ayat yang mulia ini tentunya kita fahami dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menentukannya. Yaitu dengan melihat hilal (rukyat) atau menyempurnakan 30 hari bulan sya’ban bila terhalang melihatnya.

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَاخَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. [Yunus/10 : 5]

Jawab.
Ayat yang mulia ini tidak menunjukkan bahwa syari’at menganggap hisab sebagai sarana dalam penentuan awal bulan. Ayat ini hanya menjelaskan fungsi manzilah-manzilah bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu dan ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melihat hilal.

Sedangkan firmanNya: (لِتَعْلَمُوا ) tidak berhubungan dengan sifat matahari dan bulan namun berhubungan dengan taqdir manaazil (ketentuan manzila bulan).

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: Firman Allah (لِتَعْلَمُوا) berhubungan dengan firmanNya (َقَدَّرَهُ ) bukan kepada (جَعَلَ ) karena sifat matahari bersinar dan bulan bercahaya tidak memiliki pengaruh dalam mengenal bilangan tahun dan hisab. Juga karena Allah tidak menggantung kepada matahari dalam perhitungan bulan dan tahun dan hanya menetapkannya dengan hilal, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat. Demikian juga karena Allah berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماَوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. [at-Taubah/9 :36]

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhabarkan jumlah bulan adalah 12, sehingga diketahui bahwa bulan-bulan tersebut diketahui dengan hilal. [8]

Dengan demikian keumuman ayat ini tidak menunjukkan i’tibar hisab dalam penentuan bulan menurut syari’at.

3. Sabda Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika melihatnya kembali maka berbukalah (ber hari raya ‘ied), lalu jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya) maka perkirakanlah bulan tersebut. [9]

Melihat bentuk kata faqdurulah yang artinya maka perkirakanlah, adalah bentuk amar (perintah) yang dalam hal ini juga hadits (sabda Nabi) yang berkedudukan sebagai dalil. Sehingga menggunakan ilmu hisab, berarti pengamalan terhadap ayat al Qur’an dan hadits. Jadi penggunaan hisab itu bukanlah rekaan terhadap urusan agama (bid’ah).

Jawab:
Menurut ahli bahasa Arab, kata faqdurulah berasal dari makna taqdir yaitu tentukanlah bukan perkirakanlah, sebagaimana firman Allah :

فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ

Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan. [al-Mursalat /77 : 23] [10]

Kemudian makna ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri melalui perawi hadits diatas yaitu Ibnu Umar dan yang lainnya bahwa makna faqdurullah tersebut adalah menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari [11], sehingga bila kita mau mengamalkan hadits ini maka harus membawa maknanya kepada hadits yang lain bukan sekedar mendapatkan sesuatu yang dianggap mendukung pendapatnya lalu tidak mau berhujah dengan tafsirnya yang juga berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. sikap yang benar terhadap hadits-hadits seperti ini adalah dengan membawa sesuatu yang muthlak kepada penjelasnya, sehingga makna faqdurullah difahami dengan makna menyempurnakan bulan, barulah kemudian dianggap telah mengamalkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kemudian seandainya kata faqdurullah dalam hadits ini dimaknai kira-kira dengan ilmu hisab, maka hadits ini membolehkannya setelah tidak dapat melihat hilal karena mendung dan sejenisnya, bukan sebelumnya.

Sedangkan mereka yang menjadikan hisab sebagai standar penentuan awal Ramadhan tidaklah demikian. Tetapi mereka menentukannya jauh sebelum waktu rukyat dan tidak melihat mendung atau cerah keadaan langitnya. Ini jelas menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berarti satu perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan kaum muslimin sebelumnya.

Ibnu Taimiyah berkata: Sedangkan mengikuti hisab pada keadaan cerah atau menentukan perkara syariat umum yang lain dengan hisab, maka (pendapat seperti ini) tidak pernah disampaikan oleh seorang muslimpun (ulama mereka, ed). [12]

Ibnu Mulaqin berkata : Kata faqdurullah, bila dimaknai dengan menghitungnya dengan hisab manaajil (falak) yang digunakan ahli falak, maka ini pendapat yang sangat lemah sekali. Karena seandainya manusia dibebabkan demikian, tentu menyusahkan mereka, karena tidak mengetahuinya kecuali segelintir orang. Padahal syari’at mengenalkan kepada mereka sesuai dengan sesuatu yang kebanyakan mereka ketahui. Juga karena iklim menurut pendapat mereka (ahli falak) berbeda-beda, dibenarkan satu iklim melihat (dan) yang lain tidak, sehingga membuat perbedaan puasa pada kaum muslimin. Demikian juga seandainya hisab diakui kebenarannya (dalam menentukan awal bulan Ramadhan), tentulah Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjelaskannya kepada manusia, sebagaimana telah menjelaskan waktu-waktu shalat dan yang lainnya.

Jelas hadits inipun tidak mendukung pendapat bolehnya menggunakan hisab dalam menentukan awal Ramadhan.

4. Dari segi sejarah dapat kita pelajari uraian kitab Bidayatul Mujtahid. Disebutkan bahwa penggunaan hisab oleh ulama sejak masa sahabat atau tabi’in. Kalau dalam menetapkan awal bulan Ramadhan dengan rukyat tidak berhasil karena mendung maka digunakan hisab. Hal ini dilakukan oleh sebagian ulama salaf dan dipelopori oleh seorang senior tabi’in yang bernama Mutharif bin Asy Syahr.

Jawab.
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan: ‘Dan diriwayatkan dari sebagian salaf berpendapat bahwa jika hilal tidak terlihat karena mendung, maka merujuk kepada hisab peredaran bulan dan matahari dan ini adalah madzhab Mutharif bin asy Syikhir seorang senior tabi’in’ [14].

Jadi Mutharif bin Abdillah Asy Syikhir bukan Asy-Syahr. Dan dia bukanlah yang mempelopori. Pernyataan beliau ini perlu dicermati lagi, karena nisbat pendapat ini kepada Muthorif bin Abdillah Al Shikhier tidak benar, sebagaimana dinyatakan imam Ibnu Abdil Barr [15]

Kemudian juga pernyataan para sahabat ada yang menggunakan hisab dibantah oleh hadits Nabi yang berbunyi:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ

Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga kali sampai menyebut dua puluh sembilan. [16].

Dengan demikian benarlah pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa penggunaan hisab dalam menentukan awal Ramadhan merupakan perkara baru yang terjadi setelah tahun tiga ratusan.[17]

5. Kalaulah menentukan awal Ramadhan dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bagaimana menentukan awal bulan Dzulhijah untuk selanjutnya menentukan tanggal 10 Dzulhijjah. Tidak ada perintah untuk itu dengan rukyat. Bagaimana penentuan waktu-waktu shalat sekarang, dengan menggunakan jadwal yang didasarkan pada hisab. Padahal dizaman Nabi dilakukan dengan melihat bayangan benda bagi sholat dzuhur dan ashar, dengan menggunakan melihat fajar untuk waktu subuh dan terbenam matahari untuk waktu shalat maghrib dari hilangnya mega merah untuk sholat isya’. Kesemuannya dapat dikembalikan kepada dalil umum ayat 5 surat Yunus diatas dengan melakukan isthimbath dan ijtihad, baik berdasarkan metode bayani dan pendekatan burhani (pendekatan ilmiah beradasarkan dalil).

Jawab.
Alhamdulillah agama Islam telah menjelaskan seluruh keterangan yang dapat digunakan hamba Allah dalam beribadat kepadanya. Menjadi mustahil bila Islam menetapkan satu ibadah yang berhubungan dengan waktu kemudian tidak menjelaskan waktu tersebut. Demikian pula tuntunan awal Ramadhan ditentukan dengan rukyat berdasarkan hadits Nabi, bahkan juga oleh akal, sehingga Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya hukum-hukum Islam seperti puasa Ramadhan berhubungan langsung dengan hilal. Namun berdasarkan dalil sam'iyah (wahyu) dan akal, cara mengetahui terbitnya hilal adalah rukyat tidak yang lainnya. [18]

Sedangkan penentuan bulan Dzulhijah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah :"Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung. [al-Baqarah/2 :189]

Sungguh aneh kalau dikatakan tidak ada perintah untuk itu dengan rukyat. Adapun waktu shalat sudah jelas dan disepakati Rasululloh telah menjelaskannya dengan sangat jelas sekali dalam hadits Jabir dan yang lainnya.

Mengapa kita memaksakan semua ini masuk dalam keumuman ayat 5 surat Yunus yang tidak menjelaskan tentang penggunaan hisab dalam syari’at Islam, padahal secara jelas ketentuannya telah terperinci dalam ayat dan hadits-hadits yang shahih. Seperti ini menunjukkan jalan istimbath yang jauh dari benar.

Ambillah yang sudah jelas dan gamblang dan tinggalkanlah yang masih direka-reka dan dipaksakan.

6. Secara fakta ilmu hisab telah dapat digunakan untuk menghitung waktu yang mendekati kebenaran

Jawab
Kalau benar fakta ini, mengapa tidak menggunakan yang jelas pasti kebenarannya menurut syari’at dan malah menggunakan sesuatu yang hanya mendekati kebenaran dan masih mungkin bisa keliru dan salah?

7. Sebagian orang berkomentar tentang hadist :

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ

Kami adalah umat yang ummiy tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga kali sampai menyebut dua puluh sembilan.

Berdasarkan hadits ini, mereka menyatakan bahwa ini merupakan penyebab hukum puasa tidak ditetapkan dengan hisab, sebab Nabi dan para sahabat tidak mampu melakukannya dengan sebab ummiynya mereka. Sedangkan kami sekarang bias membaca dan mengetahui ilmu hisab. Ditambah lagi kami memiliki teropong bintang yang modern. Sehingga alasan hanya menggunakan rukyat hilal sekarang ini terhapus. Dalam kaidah dikatakan : Hukum bisa berubah dengan ada atau tidak adanya illat (alasan hukum).

Jawab.
Pernyataan seperti ini telah dijawab oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah : ‘Hal ini tidak bisa dibenarkan, karena pada umat yang Nabi diutus kepada mereka terdapat orang yang mampu membaca dan menulis sebagaimana ada pada sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan juga ada pada mereka yang mampu hisab. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah mengutus untuk melaksanakan kewajiban yang membutuhkan hisab (perhitungan). Telah benar berita bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika petugas (zakat) datang membawa shadaqah Ibnu Al Lutbiyah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitungnya. Demikian juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki beberapa para juru tulis (Katib) seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid dan Mu’awiyah. Mereka menulis wahyu, perjanjian, risalah Beliau kepada orang banyak dan kepada para raja dan penguasa yang didakwahi serta kepada para petugas dan gubernur serta yang lainnya. Demikian juga Allah berfirman:

لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

Dalam dua ayat [19] yang memberitahukan bahwa hal itu ada untuk mengetahui hisab.

Kata Ummiy pada asalnya dinisbatkan kepada ummah yaitu orang yang tidak memiliki keistimewaan dari yang lainnya berupa membaca atau menulis sebagaimana dikatakan: ‘aami (orang awam) untuk orang umum yang tidak memiliki keistimewaan khusus dari ilmu pengetahuan. Ada juga yang menyatakan bahwa itu dinisbatkan kepada al um, yang maknanya tetap pada kebiasaan yang dibiasakan ibunya berupa pengetahuan dan ilmu serta yang sejenisnya. Kemudian keistimewan yang mengeluarkan dari ummiyah al’ amah (yang umum) kepada al ikhtishosh, terkadang adalah keutamaan dan kesempurnaan. Misalnya, seperti keistimewan mereka dapat membaca Al Qur’an dan memamahi kandungannya. Dan terkadang hanya menjadi sarana mencapai keutamaan dan kesempurnaan. Misalnya, seperti keistimewan mereka dapat menulis dan membaca tulisan, sehingga terpuji pada orang yang menggunakannya untuk kebenaran, dan dicela pada orang yang meninggalkannya atau menggunakannya untuk kejelekan. Orang yang mencukupkan dengan sesuatu yang lebih bermanfaat baginya, maka lebih sempurna dan utama.[20]

Dari sini jelaslah, dari beberapa sisi, maksud umiyah yang terdapat pada hadits tersebut merupakan sifat terpuji dan sempurna. Yaitu dari sisi mencukupkan dari sisi tulisan dan hisab dengan yang lebih jelas dan pasti, yaitu hilal. Sisi yang lain, tulisan dan hisab masih mungkin keliru dan salah. Sehingga dengan demikian jelaslah kesalahan prasangka diatas.

Seandainya hisab lebih baik dan tepat digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadhan, tentulah Allah akan menjelaskan atau mengajarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau sahabat Beliau, sehingga dapat digunakan mereka untuk memudahkan penentuan awal bulan Ramadhan.

وَمَاكاَنَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan tidaklah Rabbmu lupa. [Maryam/19 :64]

Bahkan bila hisab dapat digunakan sama dengan rukyat hilal tentulah akan dijelaskan Allah dan RasulNya.

KESIMPULAN
Semua dalih yang digunakan untuk membenarkan penggunaan hisab sangat lemah. Sehingga, hendaknya kaum muslimin tidak menggunakannya, dan tidak merasa bingung dengan permasalahan ini. Agama Islam telah lengkap, sempurna dan gamblang dalam menjelaskan seluruh syari’atnya.

Demikianlah sedikit penjelasan tentang permasalahan hisab dalam penentuan Ramadhan, mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun IX/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat mabhats Menentukan Ramadhan dalam edisi ini.
[2]. Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam, Taudhih Al Ahkam Min Bulughul Maram, cetakan kelima tahun 1423H, maktabah Al Asadi, Makkah, KSA hal. 3/450
[3]. ibid
[4]. Lihat ibid.
[5]. Taqiyuddin Ibnu Daqiqil Ied. Ihkaam Al Ahkam Syarhu Umdat Al Ahkaam, Tahqiqi Ahmad Muhammad Syakir, cetakan kedua tahun 1407H, Dar aalam Al Kutub, Bairut. Hal 2/8.
[6]. Fathul Bari, op.cit. hal 4/127.
[7]. Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiqi Dr. Sulaiman Aba Khail dan Dr. Khalid Al Musaiqih, cetakan pertama tahun 1416, Muassasah Aasaam, KSA. Hal 6/314.
[8]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/134-135.
[9]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya, kitab Al Shiyaam, no. 1906 (lihat Fathul Bari op.cit hal.4/119) dan Muslim dalam Shahihnya kitab Al Shaum no 2500. Lihat Al Nawawi, Al Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, tahqiq Al Syaikh Khalil Ma’mun Syaikha, cetakan ketiga tahun 1417, Dar Al Ma’rifah, Bairut hal. 7/190.
[10]. Lihat Ibnu Al Mulaqqin Al Syafi’i, Al I’laam Bi Fawaa’id Umdat Al Ahkam, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA. Hal 5/173.
[11]. Lihat rubrik mabhas Menentukan Ramadhan.
[12]. Lihat: Majmu’ al-Fatawa op/cit hal. 25/132)
[13]. Al I’lam Bi Fawaid Umdat AL Ahkam op.cit hal 5/176-177.
[14]. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayaatul Muqtashid, cetakan kesepuluh tahun 1408, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, bairut. Hal 1/284
[15]. Lihat Fathul Bari op.cit hal 4/122. Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Abdilbar, bahwa tidak benar (nisbat pendapat ini) kepada Muthorif . juga lihat imam Muhammad bin Ali Al Saukani, Nailul Author min Ahaadits Sayid Al Akhyar Syarh Muntaqa Al Akhbaar, tahqiq Muhammad saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut. Hal 4/204.
[16]. HR Al Bukhari, dalam Shahihnya Kitab Al Shaum, no 1913, lihat Fathul Bari op.cit hal 4/126 dan juga perhatikan komentar Ibnu Hajar tentang kandungan hadits ini diatas.
[17]. Lihat pernyataan beliau dalam mabhas menentukan Ramadhan.
[18]. Majmu’ Fatawa op.cit hal 25/146.
[19]. Yaitu surat al Isra’ ayat 12 dan Yunus ayat 5
[20]. Majmu’ Fatawa op.cit 25/166-167

Source : www.almanhaj.or.id

Sabtu, 28 Juni 2014

MENGAPA HARUS KE INDIA DAN PAKISTAN BUKAN KE MEKKAH ATAU MADINAH ?

Beredar di tengah masyarakat bahwa kiblat mereka jemaah tabligh bukan ke ka’bah, mereka tak mau pergi haji, haji mereka ke India Pakistan, dsb. Orang tua di antara mereka mengatakan kami datang ke INDIA PAKISTAN untuk belajar ke tempat yang sudah hidup amal DAKWAH, bukan untuk beribadat di sana. Ada juga yang mengatakan sebagaimana orang ingin belajar sepak bola harus ke BRAZIL dan INGGRIS karena sudah sukses menjadi juara dunia. Begitu pula belajar HADITS orang perlu ke MADINAH, belajar qiraat ke MESIR, belajar madzhab Imam Syafi’I ke negeri MELAYU, belajar WAHABY ke ARAB SAUDI, belajar madzhab Hanafy ke KHURASAN. Maka apa salah kami belajar DAKWAH ke INDIA dan PAKISTAN karena di negeri itulah hidup amal dakwah. Masjid banyak yang hidup 24 jam tidak seperti di Negara lain masjid banyak di kunci termasuk di MAKKAH dan MADINAH jika tak musim haji terkunci. (Penyalin : Rumah Allah DIKUNCI!!?) Padahal Rasulullah saw mulai kerja dari Masjid Nabawi yang hidup dengan amal 24 jam. Di Reiwind amalan hidup 24 jam sebagaimana Masjid Nabawi dahulu di zaman Rasulullah saw. 

Ada juga di antara mereka yang katakan : Kami ke INDIA mau lihat sejarah bagaimana hasil kerja dakwah yang dibuat oleh Syaikh Maulana Muhammad Ilyas Rah A terhadap orang MEWAT. Suatu kampung pemakan bangkai, tidak mengenal Allah, tak pernah ibadah, sampai menjadi kampung yang penuh kesalehan. Yang lain mengatakan banyak orang yang menuduh kami haji ke Pakistan bukan ke Mekah TERKADANG MEREKA SENDIRI BELUM BERHAJI .Sesekali jalan ke markaz kami, di sana para HUJJAJ tak pernah di panggil PAK HAJI, BAHKAN MEREKA BERKALI – KALI BERHAJI, ini bisa dibuktikan jika kita Tanya para AHLI SYURA mereka rata-rata lebih dari 3 kali ke haji. Di antaranya juga katakan : Kami datang untuk Shuhbah (berteman rapat / bershahabat untuk mengambil manfaat dari ILMU maupun AMAL) dengan ulama-ulama yang telah banyak berkorban dalam kerja dakwah, dan melihat kisah nyata kehidupan mereka yang telah jadikan dakwah sebagai MAKSUD HIDUP. Sebab jika kami tidak lihat mereka hanya baca tentang dakwah maka tak akan bisa kami terapkan. 

Sebagaimana penjahit yang hanya membaca buku bagaimana cara menjahit jas tetapi tak pernah lihat bagaimana jas dibuat oleh penjahit yang lebih senior maka tak mungkin bias jahit. Memang kalau kita mau jujur mengamati kepergian mereka ke India dan Pakistan tak merubah cara ibadah, dan cara mu’asyaroh mereka, artinya tidak ada misi madzhab ataupun aliran yang dibawa. Mereka malahan lebih tenggelam dalam masyarakat dan memikirkan keadaan mereka yang jauh dari agama. Mereka shalat berjamaah dengan orang banyak, cara shalat pun tak berikhtilaf dengan umat Islam lainnya hanya saja mereka lebih menekankan sholat berjamaah, di awal waktu, dan di masjid. Kalau kita mau jujur melihat kritikan yang beredar sejak awal usaha didirikan oleh Syaikh Maulana Muhammad Ilyas Rah A, maka kita akan dapati kritikan dengan materi yang sama. Karena usut punya usut selalu bersumber dari kitab yang sama yang selalu dijadikan topik yang berulang-ulang. 

Di antara kritikan yang berulang-ulang itu adalah : 
1. Mereka tak memiliki Tauhid Uluhiyyah hanya membicarakan Tauhid Rubbubiyyah saja. 
2. Mereka memiliki kebiasaan TAWAF di kuburan. 
3. Masjid-masjid mereka di dalamnya ada kuburan. 
4. Buku Fadhilah amal mengandungi hadits-hadits dhoif. 
5. Mereka ahli bid’ah di dalam ibadah. 
6. Dakwah mereka kepada hal yang rendah yaitu shalat bukan dakwah untuk murnikan agama yakni anti terhadap bid’ah sehingga tak beresiko seperti Rasulullah saw. 
7.Mereka merupakan gerakan sufi modern. 
8. Tinggalkan anak istri dan tidak mengurusnya adalah suatu kedzoliman 
9. Mereka dakwah tanpa ilmu sehingga berbahaya untuk umat Islam 
10. Haji mereka ke India Pakistan Tak ada satu buku pun ditulis untuk jawab kritikan. 

Dakwah mereka istikhlash seperti kuda INDIA yang dipakaikan kaca mata kuda tak lihat kiri kanan, tak lihat kerja orang lain, tak lihat apa kata orang, mereka tawajjuh hanya kepada tertib yang mereka telah sepakati. Dalam mudzakaroh enam sifat mereka ada point tentang tashihun niyat / meluruskan niat. Di sana dikatakan bahwa cirri orang ikhlash adalah Sikapnya sama saja dengan orang memuji atau orang yang membenci. Mereka telah buktikan, walaupun dihina, dicaci, tetap mereka memberi salam kepada siapapun, selalu tersenyum, bahkan justru para pengkritik banyak yang tak mau jawab salam mereka, memalingkan muka dari senyum mereka, bahkan meludah di hadapan mereka. 

Lihatlah!! Mereka di masjid bukan untuk berdzikir saja tetapi mereka bertemu manusia untuk jadikan seluruh manusia berdzikir kepada Allah. Setelah itu mereka hidupp seperti biasa punya istri dan anak, punya pekerjaan. Adakah ajaran sufi seperti ini? Perlu kejujuran dalam menjawabnya. Adakah Jemaah Tabligh salahkan orang ?? Baik dalam buku maupun dalam bayan mereka ?? Tidak!! Adakah Jemaah Tabligh membid’ahkan orang sehingga tak mau shalat berjemaah di masjid, atau mau shalat hanya di masjid tertentu ?? Tidak !! Adakah pelarangan dari syuro mereka atau ustadz mereka yang melarang duduk di majlis taklim yang diajar oleh ustadz yang bukan karkun ?? Tidak!! Bahkan setelah khuruj dianjurkan agar lebih dekat dengan ulama di kampung mereka masing-masing. 

JEMAAH TABLIGH BUKAN ORGANISASI TETAPI DALAM KERJA DAKWAHNYA TERORGANISIR Di mulai dari penanggung jawab mereka untuk seluruh dunia yang dikenal dengan Ahli Syura di Nizamuddin, New Delhi, INDIA. Kemudian di bawahnya ada syura Negara, misalnya : SYura Indonesia, Malaysia, Amerika, dll. Menurut pengakuan mereka ada lebih dari 250 negara yang memiliki markaz seperti Masjid Kebon Jeruk Jakarta. Kemudian ada penanggung jawab propinsi, untuk Indonesia sudah ada di semua propinsi. Di bawahnya ada peannggungjawab Kabupaten, seperti : penanggung jawab Solo, Purwokerto, dll. Di bawahnya ada Halaqah yang terdiri dari banyak mahalah yang minimal 10 mahalah yakni masjid yang hidup amal dakwah dan masing-masing mereka ada penanggungjawab yang dipilih oleh musyawarah tempatan masing-masing. 

Di India ada masjid yang menjadi Muhallah sekaligus halaqah dimana di dalam masjid hidup 10 kelompok kerja (jemaah yang dihantar tiap bulan 3 hari). Semua permasalahan diputus dalam musyawarah sehingga tak ada perselisihan di antara mereka dan mereka punya sifat taat kepada hasil musyawarah. Walaupun mereka tak pernah katakan bentuk mereka kekhalifahan seperti harakah lain yang mempropagandakan Khilafatul Muslimin, tetapi system jemaah tabligh terlihat begitu rapi sehingga mereka saling kenal satu sama lain karena jumlah orang yang pernah keluar di jalan Allah tercatat dan terdaftar di markaz dunia. 

Setiap 4 bulan mereka berkumpul musyawarah Negara masing-masing kemuadian dibawa ke musyawarah dunia di Nizamuddin. Musyawarah harian ada di mahalah masing-masing untuk memikirkan orang kampung mereka masing-masing sehingga biarpun ada yang pergi tasykiil tetaplah ada orang di maqami yang garap dakwah di sana. Orang yang suka dakwah sendiri-sendiri / penceramah suka kritik mereka katanya kenapa harus dakwah jauh-jauh ke luar negeri kalau tempat tinggal sendiri aja belum beres. Hal ini karena dakwah jemaah tabligh berjamaah sehingga walaupun mereka pergi tasykiil di maqami ada orang yang tetap jalankan dakwah. 

Semoga bermanfaat, aamiin

KARKUZARI JEMAAH YANG BERUSAHA DI KASHMIR

(KAWASAN YANG DILANDA GEMPA BUMI PADA 8 OKT 2005)

Karkuzari ini disampaikan oleh Saudara Munir Shah Sakandar Miah.
Jemaah kami telah keluar 4 bulan dan telah dihantar ke Kashmir daerah Bagh. Saya(penulis) sendiri Amir kepada jemaah saya itu. Selain daripada jemaah saya terdapat 24 jemaah lain lagi yang buat usaha agama di kawasan itu. Jemaah kami telah dihantar ke suatu kawasan perumahan orang2 elit di kawasan bandar Bagh. Dari segi dunia, penduduk2 di kawasan itu ialah orang2 yang terpelajar berpendidikan moden. Dari segi agama pula, kebanyakan mereka mereka menunaikan solah dan membaca Al-Qur’an. Mereka tidak ada kaitan dengan mana2 kumpulan ajaran sesat. Mereka juga tahu sedikit sebanyak mengenai usaha agama/usaha dakwah tetapi secara sengaja mereka menentangnya. Mereka menganggap bahawa usaha agama ini adalah penghalang dan mengganggu kerja2 dunia mereka. Mereka berkata kita kena usahakan dunia dulu,dapatkan asbab2 kemajuan sebagaimana negara2 yang telah maju kemudian barulah buat usaha agama.Di kawasan ini ada beberapa orang yang menjadi pembesar mereka. Pengaruh pembesar2 itu tersebar ke seluruh kawasan tersebut. Sehinggakan pegawai2 kerajaan pun menjadi pengikut mereka. Orang2 di kawasan ini melayan kami dengan buruk terutamanya orang2 tua dan orang2 lemah di antara kami. Kebiasaan mereka akan dipukul semasa menjalankan gasht (ziarah jumpa orang). Sekali, semasa melakukan gasht di kawasan sebuah sekolah mereka telah dipukul. Dan semasa menjalankan gasht di sebuah kem tentera, ahli jemaah telah diperlakukan dengan buruk sehingga mereka telah diberi amaran keras supaya tidak datang melakukan gasht di situ lagi. Sebagai denda jemaah itu diperintahkan untuk mengutip sampah-sarap. Di masjid pula , bekas2 yang diisikan air (lota/bekas wudhu’))untuk kegunaan kami telah diludah oleh penduduk2 di situ sebanyak 7-8 lota. Kami mengambil air itu dgn susah payah berjalan mendaki bukit sejauh 1.5-2 km kemudian orang2 di situ menyia-nyiakan air kami begitu sahaja. Ada juga orang di situ kencing di dalam air kami.

Ilham daripada Allah S.W.T dengan perantaraan mimpi

Sehari sebelum gempa bumi di kasawan situ berlaku, seorang pemuda yang sedang keluar bersama satu jemaah yang sedang buat usaha di Rajanpur (satu kawasan berhampiran dgn tempat kami) telah bermimpi melihat bukit-bukau yang berhampiran melaung-laung meminta tolong seumpama seorang manusia yang sedang mengalami kesakitan yang teruk. Pada waktu sahur, amir jemaah itu bersama dengan pemuda itu telah datang ke tempat jemaah kami dan mengkhabarkan tentang mimpi itu. Pemuda itu mengalami ketakutan yang amat sangat. Hampir jam 5 pagi kami telah menghubungi pihak di Markaz Raiwind. Saya sendiri telah bercakap dengan Haji Abdul Wahab Sab selepas beliau selesai memberi Bayan Subuh. Haji Sab telah memberi jawapan secara sepontan iaitu kumpulkan semua jemaah yang ada di kawasan itu dengan segera. Alas2 tidur kamu hendaklah ditindih dengan batu2 sementara tong2 gas hendaklah ditanam dalam bumi. Jemaah kamu sendiri dan juga semua jemaah yang lain hendaklah dikumpulkan serta bermalam di suatu kawasan tanah lapang. Usahalah/ pujuklah orang di situ sehabis-habisnya untuk berkumpul di tempat tersebut. Jangan beritahu tentang mimpi itu kepada sesiapa pun.

Demikianlah, dengan susah payah kami telah usahakan mengumpulkan 23 jemaah yang salah satu daripada jemaah2 itu telah datang sendiri setelah mereka mendapat tahu berita itu. Dua jemaah lagi kami tidak dapat hubungi mereka. Masalahnya ialah, di sini kawasannya berbukit sementara itu kami tidak ada perhubungan dengan orang tempatan, Kami telah berusaha bersungguh-sungguh ke atas orang2 kampung tetapi mereka tidak ingin mendengar cakap kami. Hanya seorang penjaga sekolah yang datang bersama kami dan telah menghabiskan masa malam bersama kami.

Hari itu, 8 Okt 2005, hari Sabtu. Sebaik sahaja mata kami terlelap, kedengaran suara tempikan yang dahsyat daripada bumi dan bukit-bukau yang berdekatan. Semua kami terbangun dari tidur. Salah seorang daripada kami menyangka bahawa itu adalah igauan tidur sahaja sebaliknya itulah suara sebenar iaitu suara yang telah didengari oleh pemuda yang bermimpi mengenai kejadian tersebut.Serentak dengan itu, di langit sejenis awan hitam datang dengan begitu laju. Dari awan itu pun kedengaran suara yang sama. Demikian juga dari awan itu kelihatan sejenis pancaran cahaya. Selepas beberapa minit, berlaku gempa bumi yang sangat dahsyat. Gempa itu begitu kuat sehingga kami tidak dapat berdiri, selepas itu datang pula gempa berlainan gegarannya iaitu gegaran yang turun naik. Kami terlambung ke atas setinggi satu setengah hingga dua kaki kemudian jatuh ke bawah.

Di hadapan mata kami,hanya dalam beberapa saat sahaja seluruh bandar telah menyembah bumi. Bangunan 2 di sekolah dan kem tentera juga telah tenggelam dalam bumi. Kemudian selepas itu, hujan lebat sangat dahsyat mula turun. Hujan itu bukanlah hujan biasa sebaliknya ia adalah hujan yang setiap titisannya sebesar mangkuk. Kerana kecuaian kami, satu tong gas telah tertinggal di luar tidak ditanam maka ia telah meletup. Kemudian selepas itu, ribut yang kencang telah datang dari arah timur dan barat yang menyebabkan pokok2 telah tumbang. Sebelum ribut itu datang, semua haiwan termasuk lalat hinggakan kerbau, lembu, kambing, anjing dan lain2 lelah lari ke arah selatan hinggakan kawasan itu kosong sama sekali daripada sebarang haiwan. Hanya dalam beberapa saat sahaja, kehidupan telah bertukar dgn kematian. Setiap bangunan telah rebah menyembah bumi.Bandar yang didiami oleh ribuan penduduk sekarang hanya tinggal kami ahli2 jemaah dan seorang penjaga sekolah yang masih hidup.
Kami telah memohon bantuan dari segenap penjuru,namun tiada yang diterima oleh Allah S.W.T. Bantuan yang pertama sampai adalah dari Markaz Raiwind, Haji Abdul Wahab Sab sampai pada waktu Asar bersama beberapa orang pelajar madrasah dgn manaiki helikopter. Selama 3 hari lagi kami tinggal di kawasan itu. Gegaran demi gegaran serta hujan yang lebat terus berlaku. Tidak ada apa bantuan yang boleh sampai ke tempat itu. Haji Abdul Wahab telah menghantar sebanyak 9000 beding (alas tidur). Dalam setiap beding disertakan gula, beras dan lain2 sebagai bantuan. Namun, selain daripada kami, tidak ada kehidupan yang tinggal. Di mana2 sahaja kelihatan mayat2 bergelimpangan. Kami telah menyembahyangkan sebanyak 1300 jenazah. Himpunan jenazah yang kami sembahyangkan sekurang-kurangnya 7 mayat sehinggalah 50-60 mayat. Setelah menghadapi mujahadah(susah payah) menguruskan jenazah selama 3 hari, kami berusaha mencari orang2 yang terselamat dan masih hidup di kawasan itu tetapi tidak menemui sesiapa pun yang masih hidup kecuali seorang bayi.Kami berada dalam keadaan yang penuh mujahadah kerana terpaksa menahan bau busuk mayat sehinggakan susah untuk kami bernafas.

Pemuda yang bermimpi itu telah nampak malaikat2 memegang tali cambuk. Setiap masa beliau di dalam ketakutan dan kebimbangan. Sekali beliau nampak para malaikat dalam bentuk kanak2,maka amir jemaah telah menyuruh kami mengajarkan beliau kalimah syahadah lalu beliau pun meninggal dunia. Selain daripada beliau ada 3 orang lagi yang telah tua lagi lemah tidak dapat menanggung kesusahan itu lalu mereka juga telah meninggal dunia.
Alhamdulillah, semua ahli jemaah telah bermimipi Nabi Muhammad S.A.W atau mana2 Nabi yang nama mereka ada di dalam Al-Qur’an atau mana2 sahabat Nabi R.Anhum. Mungkin ini ialah hadiah drp Allah S.W.T utk menenangkan kami yang menghadapi ketakutan dan kebimbangan.

Saudara2ku sekelian,karkuzari ini bukanlah dongengan , bahkan satu hakikat. Kenapakah azab Allah S.W.T dlm bentuk gempa bumi telah datang? Pada lidah kita ada kalimah tetapi keyakinan tidak ada di dalam hati. Di kawasan itu, solah berjemaah hidup tetapi tiada amalan2 Nabi S.A.W (dakwah,ta’lim ta’lum,ibadat dan khidmat). Mereka sibuk dgn kemajuan dunia dan menganggap agama adalah satu perkara yang tidak bernilai dan mengaibkan mereka.Sebaliknya mereka menyangka pelajaran moden, fesyen moden, harta dan kekayaan sebagai kemajuan dan kejayaan.Mereka cintakan ahli dunia dan bencikan ahli agama/akhirat.
Saudara2ku,demi Allah tinggalkanlah fikiran2 seumpama itu yang hakikatnya telah kita sama2 lihat.Tuan2 buatlah azam utk mengubah keyakinan dan cara hidup kita kepada cara hidup Nabi Muhammad S.A.W. Kita kena berusaha utk keluarkan diri kita drpd kelalaian dan bersama utk memajukan agama Allah, jika tidak mungkin azab yng lebih besar akan datang. Kami telah pulang ke Markaz Raiwind pada 11 Oktober 2005.

~ Semoga bermanfaat buat semua ~

DUNIA SEMENTARA AKHIRAT SELAMANYA

H. Cecep Firdaus
Syuro Indonesia – Jakarta
Mesjid Jami Kebon Jeruk
Markaz Indonesia
Jakarta
Assalamu alaikum Wr Wb.

Alhamdulillah, Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam kita panjatkankan kepada Nabi Muhammad Saw beserta keluarganya yang mulia dan para sahabat yang agung, juga kepada pengikutnya yang setia hingga akhir zaman, bahwasanya kita semuanya masih diberikan kesehatan dan kesempatan pada hari ini untuk sama-sama melaksanakan perintah-Nya dan beribadah kepada Allah SWT.
Hidup di dunia ini hanya sementara saja, dan umur manusia hanya sekitar 60 – 70 tahun saja rata-rata, tidak ada yang abadi. Allah ciptakan keabadian hanya untuk di akherat. Apa yang ada di dunia ini dan apa yang di usahakan oleh manusia tidak ada yang kekal. Jadi apa yang diusahakan manusia ini pasti musnah, ini mutlak adanya dan bukan teori. Tidak ada yang kekal di dunia ini, rumah akan hancur, mobil akan rusak, umur akan habis, harta akan ditinggalkan, bahkan alam ini akan hancur pada waktunya, semuanya memiliki batasan. Tidak ada yang tidak terbatas didunia ini, semuanya ada batasannya, yang tidak terbatas nanti di akheratnya Allah. Jadi yang namanya dunia ini spenuh dengan ketidak pastian dan tipuan. Sedangkan kepastian ini akan datang hanya dengan janji-janji Allah di akherat, inilah yang pasti dan yang kekal. Masalahnya hari ini manusia kerjanya hanya mengusahakan perkara-perkara yang tidak pasti dan tidak abadi, mati-matian lagi. Inilah yang namanya kebodohan dan inilah yang namanya tertipu. Ibarat kita pergi berlayar dengan kapal lalu kita mampir hanya untuk transit di suatu pulau. Lalu dipulau itu kita mati-matian kerja, bangun rumah, seakan-akan kita akan menetap, padahal itu hanya tempat pemberhentian sementara. Ketika kapal akan melanjutkan perjalanan maka kita harus naik ke kapal itu tidak mungkin tinggal. Maka suatu kebodohan jika kita keluarkan seluruh barang dan usaha kita untuk membangun kehidupan yang akan kita tinggalkan.

Nanti akan datang suatu masa dimana manusia akan terkaget-kaget dan terbelalak melihat kenyataan yang sebenarnya. Ketika itu, semua manusia akan menyesal dan minta dikembalikan ke dunianya untuk beramal. Tetapi ketika itu semua penyesalan sudah tidak ada gunanya. Kehidupan akherat akan terbentuk dari apa yang diusahakan oleh manusia ketika masih hidup di dunia. Segala amal baik dan amal buruk akan kita rasakan hasilnya nanti di akherat. Amal yang membawa ridho Allah akan mengantarkan kita ke Surga dan Amal yang membawa Murka Allah akan mengantarkan kita ke Neraka Allah. Sedangkan kehidupan kita di Surga ataupun di Neraka sifatnya adalah Abadi, tidak seperti di dunia yang sifatnya sementara. Jadi pilihannya nanti di akherat antara bahagia selama-lamanya atau menderita selama-lamanya.

Dunia ini adalah tempat untuk kerja bagi orang beriman. Apa kerjanya yaitu usaha atas perintah-perintah Allah. Sedangkan untuk orang yang tidak beriman, Dunia ini adalah tempat tinggal mereka dan tempat untuk mencari kesenangan bagi mereka. Sedangkan di akherat orang yang tidak beriman tidak akan mendapatkan bagian apa-apa selain kesengsaraan yang abadi yaitu di Nerakanya Allah sebagai tempat tinggal mereka selama-lamanya. Jadi dunia ini bagi orang beriman bukan tempat untuk bersenang-senang, tetapi tempat untuk sbersabar atas aturan Allah. Nanti ada masanya jika kita mau sabar di dunia, maka di akherat Allah akan sediakan masa yang tidak terbatas untuk kita buat bersenang-senang. Di dunia ini semuanya ada batasannya tidak ada yang abadi. Senang ada batasnya, Susah ada batasnya, Bahagia ada batasnya, Sedih ada batasnya, Sehat ada batasnya, Sakit ada batasnya, apa pembatasnya yaitu mati. Setelah mati lain cerita, tergantung amal yang kita kerjakan ketika di dunia. Orang yang senang hidup di dunia, tidak mungkin senang selama-lamanya karena suatu saat dia pasti akan mati. Tetapi setelah mati belum tentu di akherat dia akan senang. Orang yang susah ketika di dunia ada batasnya, paling susah adalah mati, tetapi setelah mati belum tentu dia susah di akherat. Kalau dia sabar di dunia taat pada perintah Allah bisa saja dia mendapatkan kebahagiaan selama-lamanya di akherat dan masuk surga lebih dulu 500 tahun dibanding orang kaya. Begitu juga dengan bahagia dan sedih, sehat dan sakit, semuanya dibatasi oleh mati, setelah mati semuanya selesai. Jadi sementara saja sifatnya di dunia, pindah alam lain ceritanya lagi, tergantung amal yang kita kerjakan di dunia. Jadi kehidupan yang sukses di dunia adalah kehidupan yang dapat mengantarkan kita kepada Surganya Allah. Selain itu adalah kehidupan yang gagal.

Ciri-ciri orang yang menjadikan dunia sebagai tempat tinggalnya dapat terlihat dari usahanya yang mati-matian sehingga melalaikan perintah Allah demi sesuatu yang sifatnya sementara saja kenikmatannya. Sedangkan ciri-ciri orang yang menjadikan akherat sebagai tempat tinggalnya dapat terlihat dari kesibukannya atas amal-amal agama sehingga dia rela meninggalkan kenikmatan dunia demi kehidupan di akherat. Orang yang menjadikan akherat sebagai tempat kembalinya maka dia akan selalu mengedepankan nilai amal dalam setiap keadaan, pekerjaan dan perbuatannya. Sedangkan orang yang menjadikan dunia sebagai tempat tinggalnya maka dia akan selalu mengedepankan nilai-nilai keduniaan dan kebendaan dalam setiap keadaan, pekerjaan, dan perbuatannya. Seorang Ahli Dunia ini akan bekerja mati-matian demi yang namanya harta dan benda agar dia bisa mendapatkan rasa aman dari kehidupannya di dunia. Seperti dengan usaha atas harta untuk dapat membeli rumah, mobil, pakaian, listrik, air, telepon, dan lain-lain. Sehingga seseorang harus berusaha mati-matian, kerja lembur, demi bisa memenuhi rasa amannya untuk hidup di dunia ini. Ketika keduniaannya terganggu atau tidak terpenuhi maka dia akan cemas dan takut. Rasa takut inilah yang menyebabkan Ahli dunia ini sengsara, yaitu takut miskin, takut susah, takut dipecat, takut segala-galanya, takut kepada selain Allah. Sedang Ahlul Iman Rasa Takut yang menyebabkan dia bahagia, yaitu takut kepada Allah.

Padahal yang namanya keamanan dan kenyamanan ini datangnya dari Allah bukan dari kebendaan yang kita miliki. Berapa banyak orang yang punya listrik, air, baju, makanan, rumah, mobil, berlebih-lebihan tetapi tidak bisa merasa aman dan tenang. Sedangkan Nabi SAW makannya saja hanya dari roti kasar yang disepih, pakaiannya hanya ada dua, rumahnya super kecil terkadang ketika beliau hendak sholat harus mengangkat kaki Aisyah RA agar tidak menghalanginya, tetapi setiap beliau pulang kerumah selalu berkata, “Bayyiti Jannati : Rumahku Surgaku”. Nabi SAW tidak pernah mengeluh akan kondisinya bahkan ketika beliau SAW ketika ditawarkan oleh Allah kekayaan malah ditolak oleh Nabi SAW. Lihat bagaimana kondisi kita hari ini seberapa jauh perbedaan kehidupan kita dibanding dengan kehidupan Nabi SAW, dan bagaimana kita menghadapinya. Hari ini apa yang telah ditolak oleh Nabi SAW itu yang kita minta kepada Allah dan yang kita kejar-kejar. Hari ini kita mencari kekayaan dan kemewahan agar bisa mendapatkan yang namanya kenyamanan. Pernah Nabi SAW selimutnya dilipat oleh istrinya agar bisa memberikan kenyamanan pada Nabi SAW, itu malah ditegor oleh Nabi SAW dengan alasan dapat mengganggu tahajjudnya. Hari ini kita tidur pakai kasur empuk, pakai AC, selimut tebal buat apa? Jawabnya biar bisa tidur nyenyak. Sungguh berbeda kehidupan kita dengan apa yang Nabi SAW cari. Inilah keadaan kita hari ini apa yang kita cari berbeda dengan apa yang dicari oleh Nabi SAW. Seorang ulama berkata bahwa kenyamanan itu dapat melalaikan kita dari Allah, sedangkan Mujahaddah dapat mendekatkan kita kepada Allah.

Nabi SAW tidak pernah mencontohkan kalau mau bahagia dan jaya harus menjadi kaya. Bahkan Nabi SAW berkata mahfum bahwa fitnah terbesar dari umatnya adalah harta. Inilah yang diyakini Nabi SAW dan inilah kehidupan yang di ikuti oleh para sahabat RA. Umar RA ketika menaklukkan persia dan menerima tumpukan harta ghanimah yang banyak dia malah menangis karena Nabi SAW tidak pernah mencontohkannya untuk hidup bergelimangan harta. Akhirnya harta itu dibagi-bagikan oleh umar kepada sahabat-sahabatnya yang memerlukan sampai habis. Lalu khadamnya umar berkata sahabat-sahabatnya yang menerima pemberian itu malah membagi-bagikannya lagi sampai habis kepada orang lain. Inilah yang dicontohkan oleh sahabat RA.

Di dunia ini hanya ada 2 macam usaha :

1. Usaha Nabi Usaha atas Iman dan Amal
2. Usaha Musuh Nabi Usaha atas Asbab dan Kebendaan

Usaha Nabi ini adalah usaha atas hati-hati manusia untuk mengenal Rabbnya. Bagaimana Allah kirim 124.000 Nabi untuk membuat usaha agar manusia ini mempunyai Iman dan Amal yang betul. Mengingatkan manusia akan kampung akherat, inilah usaha yang dilakukan para Nabi. Allah kirim para Nabi agar kita ini dapat selamat di dunia dan di akherat. Tidak bisa dengan cara lain, hanya cara Allah dan Nabinya saja yang benar, yang lain tidak ada yang benar. Hanya cara Nabilah yang dapat membawa manusia kepada keselamatan, sedangkan cara musuh-musuh nabi hanya akan membawa manusia kepada kebinasaan seperti yang telah Allah kabarkan di dalam Al Qur’an. Di Al Qur’an Allah telah ceritakan bagaimana akhir dari usaha musuh-musuh para Nabi :

1. Kaum Ad yang membuat usaha atas kesehatan dan kekuatan sampai menyatakan, “Siapa lagi yang lebih kuat dari kami”.

2. Kaum Tsamud membuat usaha atas teknologi dan arsitektur sampai mampu membangun bangunan-bangun di dalam gunung.

3. Kaum Madyan usaha atas perekonomian sangking canggihnya ekonomi mereka bisa membuat sesuatu yang diharamkan oleh Allah yaitu Riba menjadi terlihat halal dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Madyan.

4. Kaum Saba yang membuat usaha atas pertanian dan perkebunan sampai bisa menentukan waktu panen, jalur jatuh buah, dan jumlah buah yang akan jatuh dalam hitungan langkah.

5. Kaum Luth usaha atas peningkatan kepuasan sexualitas sampai mereka berani mencoba dari kaumnya yang sejenis dari laki-laki dan perempuan.

6. Firaun atas kekuasaan sampai mengaku sebagai tuhan karena merasa yang paling hebat dan paling berkuasa. Firaun sampai berkata, “Tuhan Mana yang lebih tinggi dari saya ?.” maksudnya dia merasa sebagai Tuhan yang tertinggi.

7. Qorun usaha atas Harta Benda yang gudang hartanya saja, kuncinya harus dibawa dengan empat onta. Dia sampai berkata, ”Harta yang saya dapat ini adalah milik saya saya. Ini adalah hasil jerih payah saya karena kepintaran saya, dan bukan karena pemberian atau pertolongan Allah.”

8. PM Hamman usaha atas karir politik dan jabatan. Usaha PM Hamman ini sebagai politikus adalah bagaimana dia ini bisa tetap berada dalam kekuasaan yang tertinggi.

Semua usaha ini pada akhirnya Allah hancurkan dan Allah binasakan. Walaupun begitu semua usaha yang dilakukan oleh musuh-musuh Nabi ini wujudnya masih ada sampai sekarang. Sudah menjadi fakta bahwa efek dan hasil dari usaha musuh-musuh Nabi ini dapat melalaikan kita dari perintah-perintah Allah. Inilah sebabnya bahwa akhir dari usaha-usaha tersebut berujung pada kebinasaan dan kegagalan dalam kehidupan dunia dan akherat. Hanya ada satu usaha saja yang di ridhoi Allah dan dapat menghasilkan kebahagiaan dan kesuksesan untuk manusia di dunia dan akherat, yaitu usaha Nabi SAW. Selain dari cara itu hanya akan mendatangkan Murka dan Adzab Allah yang ujung-ujungnya adalah penderitaan dan kebinasaan di dunia dan di akherat.

Peradaban manusia ini mundur bukan karena ekonomi, teknologi, politik, militer, kekayaan, atau kekuasaan. Tetapi peradaban manusia ini mundur disebabkan karena manusia sudah meninggalkan Sunnah Nabi SAW. Walaupun itu perkara 1 hari lapar dan 1 hari kenyang, karena ini sunnah. Kini manusia telah mengalami degradasi kehidupan dan peradaban asbab meninggalkan sunnah. Dulu di jaman para sahabat RA asbab mereka memegang teguh sunnah Nabi SAW dengan kuat, maka 2/3 dunia pernah takluk dibawah kaki para sahabat RA. Rahmat dan Pertolongan Allah akan datang dalam kehidupan kita jika kita mau mengamalkan sunnah nabi SAW dengan sempurna. Sedangkan masalah akan datang jika kita sudah meninggalkan sunnah Nabi SAW. Ketika perang Uhud semua pasukan muslim asbab pertolongan Allah mampu memukul mundur musuh pada awalnya karena mengikuti daripada instruksi atau sunnah Nabi SAW. Namun ketika pasukan musuh kembali menyerang ke bukit Uhud pasukan muslim mampu dikalahkan dan dibuat kocar kacir asbab tentara Islam meninggalkan instruksi atau Sunnah daripada Nabi SAW, sehingga pertolongan Allah tidak turun. Inilah penting kita menjaga sunnah dalam kehidupan kita agar pertolongan Allah turun kepada kita.

Jadi Islam ini jaya bukan karena Teknologi, Ekonomi, Militer, Ilmu Pengetahuan, Kekuasaan, dan Kekayaan. Tetapi Islam ini jaya karena pertolongan Allah. Seperti :

1. Di perang Badr kaum muslimin yang jumlahnya hanya 313 orang terdiri dari orang tua, anak-anak, sedikit yang muda dengan persenjataannya yang sangat minim dengan modal beberapa kuda dan ada yang menggunakan senjata dari hanya sebatang ranting. Tetapi asbab adanya pertolongan Allah, kaum muslimin mampu mengalahkan pasukan musuh yang berjumlah 1000 orang lebih memakai kuda yang tangguh, pendekar-pendekar perang yang ahli, persenjataan yang lengkap, dan dengan kekuatan yang lebih besar. Jika pertolongan Allah sudah turun siapa yang mampu mengalahkan Islam. Semua musuh Islam gentar pada sahabat ketika itu bukan karena jumlah atau persenjataan perang, tetapi asbab kekuatan dibelakang yang menjaga para sahabat RA, yaitu kekuatan Allah.

2. Ketika Saad RA hendak menyerang Persia ketika itu pasukan Islam terhalangi oleh Sungai besar yang deras airnya dan dalam ketinggiannya. Namun sudah menjadi tradisi para sahabat setiap ada masalah langsung minta pada Allah maka seketika itu pula masalah selesai. Asbab do’a sahabat ini pasukan yang jumlahnya ± 10.000 orang mampu berjalan diatas permukaan air sungai tanpa air menyentuh telapak kaki kuda. Inilah pertolongan Allah yang hadir bersama sahabat. Pasukan Persia yang jumlahnya 200.000 orang ketika itu jauh lebih banyak 20 kali lipat akhirnya lari tunggang langgang ketakutan.

3. Ketika utusan Persia datang ke Cina untuk meminta bantuan kepada kaisar cina mengalahkan pasukan Muslim ketika itu, Kaisar Cina memerintahkan mata-matanya memantau pasukan muslim. Lalu setelah memantau pasukan muslim beberapa lama, akhirnya mata-mata Raja cina kembali dan membuat laporan kepada sang Raja. Apa kata mata-mata kaisar itu bahwa disiang hari pasukan muslim ini saling berkasih sayang satu hati dan di malam hari mereka beribadah kepada tuhannya seperti pendeta terjaga semalam suntuk. Lalu apa jawab kaisar cina kepada utusan Persia : “Walaupun aku kumpulkan tentara yang panjangnya dari dari Persia sampai ke Cina ujungnya, maka kalian tidak akan mampu mengalahkan mereka !”

Inilah kehebatan Islam yang menyebabkan musuh-musuh Islam gentar menghadapi pasukan Islam ketika itu. Padahal kaum muslimin dari segi teknologi, ekonomi, kekuasaan, kekuatan militer, dan kekayaannya jauh kalah dibandingkan bangsa-bangsa besar yang menjadi musuh mereka yaitu Persia dan Romawi. Namun asbab adanya pertolongan dari Allah, bangsa besar seperti Persia dan Romawi tidak mampu menaklukkan kaum muslimin yang dari segi keduniaan sangat terbelakang. Mengapa pertolongan Allah turun di jaman Sahabat tetapi tidak di jaman kita. Padahal Allahnya masih sama, Nabinya masih sama, Kitabnya masih sama, Kiblatnya masih sama, tetapi mengapa para sahabat hidup dalam kemuliaan dan kita hidup dalam kehinaan. Ini karena para sahabat mengamalkan agama secara sempurna sehingga pertolongan Allah ada bersama mereka. Sedangkan kita demi kepentingan dunia kita tinggalkan perintah Allah sehingga hidup kita saat ini dilanda banyak masalah.

Bagaimana cara mendatangkan pertolongan Allah yaitu dengan mengamalkan amal-amal agama dengan sempurna. Hanya dengan amal-amal agama, Islam akan kembali jaya sebagaimana jayanya Islam dijaman Nabi SAW dan para Sahabat RA.

Sekarang masalahnya bagaimana kita bisa membawa umat untuk mampu mengamalkan agama secara sempurna yaitu tidak lain dengan Dakwah. Hanya dengan dakwah agama akan tersebar, Iman akan terperbaiki, Akhlaq manusia akan bagus, Umat akan bersatu, Amal Ibadah akan meningkat, Do’a akan didengar, baru pertolongan Allah akan turun. Imam Malik bilang, “Tidak ada cara lain memperbaiki umat pada kurun waktu sekarang selain menggunakan cara pada masa kurun waktu awal.” Apa itu cara yang digunakan untuk memperbaiki umat pada masa kurun waktu awal, yaitu dengan Dakwah

KENIKMATAN AKAN KITA DAPATKAN KETIKA KITA KELUAR DI JALAN ALLAH SWT

Untuk menghitung nikmat Allah saja kita tidak bisa. Apalagi membalaskan tentu tidak bisa. Sekiranya lautan menjadi tinta dan ranting-ranting menjadi pena tidak akan sanggup untuk menuliskan nikmat Allah SWT meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula. Tidak akan bisa.

Sudah berapa galon air yang kita minum ...?
Sudah berapa goni beras yang kita makan ...?
Sudah berapa ton ikan yang kita makan ...?
Sudah berapa juta ekor ayam yang kita makan ...?
Sudah berapa milyar uang yang kita habiskan ...?

Untuk membuat satu tetes air saja manusia tidak akan mampu
Untuk membuat satu butir beras saja manusia tidak akan mampu
Untuk membuat siripnya ikan saja manusia tidak akan mampu
Untuk membuat taiknya ayam saja manusia tidak akan mampu

Manusia tidak akan mampu untuk menghitungnya, apalagi membalasnya. Allah SWT perintahkan kita bersyukur atas nikmat yang diberikannya.

Banyak sekarang manusia bersyukur kalau dapat jabatan, kalau dapat uang, kalau dapat jodoh, kalau dapat pekerjaan, kalau dapat nilai yang bagus. Tetapi jarang sekali manusia bersyukur di beri nikmat iman dan islam.

Kapankah kita merasa nikmatnya Makan ...? Ketika lapar
Kapankah kita merasa nikmatnya minum ...? Ketika haus
Kapankah kita merasa nikmatnya tidur ...? Ketika ngantuk
Kapankah kita merasa nikmatnya persahabatan ...? Ketika Berpisah dalam Keharuan yang sangat
Kapankah kita merasa nikmatnya Hidup ...? Ketika dalam Kekurangan, ketiadaan
Kapankah kita merasa nikmatnya cinta ...? Ketika berpisah dengan orang yang kita cintai

“Ketika keluar 4 bulan bukan main rindunya kepada kekasih hati tercinta. Waktu dirumah tidak pernah ada waktu untuk berbicara dengan serius antara suami dan istri tetapi waktu keluar bawaannya mau nelpon saja. 1 jam tidak terasa padahal waktu taklim. Kalau waktu keluar bukan main mesranya, tetapi waktu dirumah mengucapkan kata sayang pun tidak pernah.”

Kapankah kita merasa nikmatnya  Iman ...? ..........

Bilal ra telah ditanya kapan engkau merasa nikmat iman ...? Ketika aku ditimpa batu yang besar, di padang pasir, di terik matahari, aku dipukuli dan aku berkata : “Ahad, ahad, ahad”

Umar bin Khaththab adalah seorang presiden. Khalifah pada saat itu memiliki pakaian dengan 13 tambalan. Pernah suatu ketika Umar menggati bajunya karena disarankan seseorang. Umar pulang kerumah dengan baju baru, istrinya berkata : “Abang lebih tampan dengan baju yang bertambal 13”

Justru bukan dalam kemewahan manusia tak akan bisa menikmati sebuah keberadaan.

Orang yang kaya sudah tidak merasa enak lagi makan ayam dan daging karena sudah setiap hari dia makan. Orang yang miskin akan merasa enak kalau makan ayam dan daging, bahkan ketika makan akan nambah dan nambah karena orang miskin jarang makan ayam sama daging.

Orang kaya akan terasa sulit tidur karena banyak pikiran. Satu orang tukang becak bisa tertidur di didalam becaknya dibawah sinar matahari yang terik.

Nabi SAW rela dicaci, dimaki dan disakiti serta berkorban habis-habisan untuk agama untuk mendapatkan nikmatnya iman.
Khadijah rela mengorbankan semua hartanya untuk mendapatkan nikmatnya iman.
Abu Bakar rela mengorbankan semua hartanya untuk mendapatkan nikmatnya iman.
Para sahabat rela kepala berpisah dari badan untuk mendapatkan nikmatnya iman.
Para sahabiyah rela suaminya syahid dijalan Allah untuk mendapatkan nikmatnya iman.
Anak-anak para sahabat rela berpisah dari ayahnya untuk mendapatkan nikmatnya iman.

Dahulu Sahabat mengusahakan iman dengan penderitaan di bawah penderitaan
Tapi saat ini kita mau bila melaksanakan dengan Senang di atas Kesenangan

Kita setiap hari bisa makan enak padahal Nabi SAW tidak pernah makan yang enak-enak
Kita setiap hari bisa tidur nyenyak padahal Nabi SAW tidak pernah tidur dengan nyenyak
Kita shalat dimesjid diruangan yang dipenuhi dengan AC
Kita punya baju bukan bertambal 13 tetapi 13 kali ganti baju setiap hari.
Kita punya suami yang setiap pagi bisa menemani sarapan pagi dengan segelas kopi
Kita punya istri yang bisa di peluk setiap malam dengan kehangatan
Kita punya anak yang setiap hari bisa bercanda ria dengan kesenangan

Lihat ... Lihat ... Lihat ... Lihat ... Lihat ...
Lihat ... kehidupan para sahabat yang suaminya jarang dirumah, yang setiap keluar bawa pedang yang tidak pasti kapan pulang.
Yang suaminya tidak sempat mandi junub untuk mendapatkan nikmatnya iman.
Yang suaminya syahid dijalan Allah untuk mendapatkan nikmatnya iman.

Berapa banyak hari ini suami yang mati dalam keadaan junub karena tidak bisa mandi junub.
Berapa banyak hari ini suami yang korupsi karena istrinya ingin mobil yang baru.
Berapa banyak hari ini suami mati dipangkuan istrinya tetapi tidak bawa iman.

Kapan kita Merasa Nikmatnya Iman ...?
Silahkan dijawab didalam hati ...
Apa yang sudak kita korbankan untuk agama ...?
Sehingga iman akan terasa nikmat
Shalat akan terasa nikmat
Zikir akan terasa nikmat
Puasa akan terasa nikmat
Ibadah akan terasa nikmat kalau kita sudah merasa nikmatnya iman

Nikmat iman akan didapat kalau kita ada pengorbanan untuk agama.
13 jam kita puasa menahan haus dan dahaga, menahan nafsu dan amarah. Tetapi setelah berbuka puasa 5 menit saja minum es dan beberapa butir kurma. Bukan main nikmatnya. Hilanglah rasa lapar yang 13 jam.

Nikmat minuman dan makanan akan terasa ketika haus dan lapar

Capek-capeklah kita keluar 3 hari, 40 hari dan 4 bulan. Berpisah dengan anak dan istri. Berpisah dengan sahabat dan pekerjaan. Tetapi 1 detik saja masuk surga maka hilanglah semua rasa capek selama ini memperjuangkan agama Allah SWT.

Nikmat iman akan kita dapatkan kalau kita meluangkan waktu untuk agama Allah

Bagi yang belum pernah keluar 3 hari secepatnya keluar 3 hari   
Bagi yang belum pernah keluar 40 hari secepatnya keluar 40 hari   
Bagi yang belum pernah keluar 4 bulan secepatnya keluar 4 bulan
Bagi yang belum pernah keluar IPB secepatnya keluar IPB
Bagi yang belum pernah keluar Negeri jauh secepatnya keluar Negeri Jauh
Bagi yang belum pernah keluar Masturoh secepatnya keluar Masturoh

Ketika kita keluar jalan Allah maka nikmat iman itu akan terasa