Rabu, 01 Desember 2010

Kemunduran Umat Islam dan Cara Memperbaikinya

Lebih dari 1350 tahun yang lalu, ketika dunia ini telah dipenuhi oleh kekufuran, kegelapan, kebodohan, dan kejahilan, maka dari balik pegunungan Batha (Makkah) memancarlah nur hidayah yang menembus daerah Timur, Barat, Utara, Selatan, sehingga seluruh penjuru dunia disinari dengan nur hidayah tersebut. Hanya dalam waktu singkat, yaitu selama 23 tahun, Nabi Muhammad saw. dapat membawa manusia ke puncak kemajuan yang tiada bandingnya dalam sejarah dunia. Dan pelita hidayah, perdamaian, serta kejayaan berada di tangan kaum muslimin, sehingga dengan sinarnya, mereka selalu berjalan di puncak kemajuan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Dengan cahaya hidayah tersebut, seluruh dunia berada di bawah kekuasaan kaum muslimin selama berabad-abad sehingga tidak ada kekuatan yang berani menantang mereka. Kalaupun ada, setiap kekuatan yang menentang itu akan dihancurkan hingga ke akar-akarnya. Ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Namun demikian, semua itu adalah cerita lama yang jika diceritakan terus menerus memang akan menghibur hati, tanpa ada faedah dan manfaatnya, selama kehidupan orang-orang terdahulu itu hanya kita simpan dalam kenyataan dan kejadian kita pada saat sekarang ini.

Dari sejarah kehidupan kaum muslimin pada tiga belas abad yang silam dapat kita ketahui bahwa umat Islam adalah satu-satunya pemilik dan penguasa kemuliaan, keagungan, keberanian, dan kehebatan serta kekuatan. Namun, bila kita beralih dari lembaran sejarah tersebut dan melihat keadaan yang terjadi sekarang ini, maka kaum muslimin berada dalam keadaan yang sangat rendah dan hina, miskin papa tanpa memiliki kekuasaan ataupun kekayaan, tanpa kewibawaan dan kekuatan. Tidak ada kerjasama, persaudaraan, dan kasih sayang, dan tidak lagi memiliki adab yang baik maupun akhlak mulia, juga tidak ada lagi amal perbuatan yang baik. Segala keburukan ada pada diri kita, sedangkan kebaikan sangat jauh.

Musuh-musuh kita sangat bergembira dengan kehinaan kita ini, kelemahan-kelemahan kita diperlihatkan dengan terang-terangan dan kita dijadikan bahan tertawaan. Tidak cukup sampai di situ, bahkan para pemuda kita yang telah mendapat pendidikan gaya baru telah berani mempermainkan asas-asas agama yang suci ini dan menentangnya, bahkan syariat yang suci ini dianggap tidak layak untuk diamalkan, sia-sia, dan tidak ada gunanya. Sungguh mengherankan, kaum yang telah membuat kenyang seluruh dunia, mengapa justru kehausan? Kaum yang telah mengajarkan adab dan kebudayaan, mengapa sekarang justru tidak beradab dan berbudaya?

Para tokoh kaum muslimin pun telah banyak memikirkan hal ini dan telah mencoba dengan berbagai cara untuk memperbaiki keadaan ini. Tetapi, semakin diobati, semakin parah penyakitnya. Sekarang, apabila keadaan sudah lebih buruk dan pada masa yang akan datang mungkin akan semakin buruk, maka jika kita hanya berdiam diri dan tidak berusaha sungguh-sungguh untuk mencegahnya, ini merupakan suatu kesalahan besar. Sangat penting bagi kita sebelum mulai melangkah untuk memikirkan penyebab kehinaan dan keburukan yang terjadi dewasa ini. Usaha untuk memperbaiki keruntuhan dan kegagalan kita telah banyak diucapkan. Dan untuk menyelesaikannya pun sudah banyak cara yang ditempuh, namun setiap cara yang diusahakan selalu tidak sesuai dan tidak mencapai kesuksesan. Sehingga, para pemikir agama telah jatuh dalam keputusasaan dan kecemasan.

Sebenarnya, sampai sekarang pun belum diketahui dengan pasti apa penyakit yang tengah diderita oleh umat ini. Hal-hal yang dijelaskan selama ini sebenarnya bukan merupakan asal penyakit yang sesungguhnya, namun hanya akibat dari penyakit tersebut. Karena kita tidak bertawajjuh terhadap penyakit yang sebenarnya, pengobatan dan perbaikan pun bukan ke atas sumber penyakit, sehingga tidak mungkin dan mustahil dapat memperbaiki akibat-akibat yang sudah terjadi sebelum kita mengetahui dengan benar sumber penyakit yang melanda umat ini dan mengobatinya dengan tepat. Cara perbaikan kita yang asal-asalan merupakan kesalahan yang sangat besar.

Kita mengakui bahwa syariat Islam adalah suatu aturan Ilahi yang sempurna, sebagai sebab kesuksesan di dunia dan akhirat, serta jaminan pada hari Kiamat kelak. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi kita untuk mendiagnosis sendiri penyakit ini, lalu mulai mengobatinya dengan cara kita sendiri. Sangat penting bagi kita untuk berusaha mengetahui penyebab penyakit ini di dalam Al-Quran. Kemudian dengan berpusat pada petunjuk dan hidayat tersebut, kita akan mengetahui cara pengobatannya yang benar, sehingga penyakit tersebut dapat diobati.

Apabila Al-Quran dijadikan sebagai tuntunan amal atau aturan yang sempurna bagi kita hingga hari Kiamat, maka tidak ada alasan bahwa Al-Quran akan membawa kita kepada kegagalan pada saat yang sangat genting ini. Benarlah janji Maharaja langit dan bumi bahwa Dia telah berjanji akan menjadikan orang-orang yang beriman sebagai khalifah di muka bumi.

"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antaramu dan beramal shalih, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka khalifah di muka bumi." (Q.s. An-Nur: 55).

Dan memberi kabar gembira bahwa orang-orang mukmin akan selalu menang melawan orang-orang kafir dan tidak ada teman serta penolong bagi orang-orang kafir.

"Dan jika orang-orang kafir memerangi kalian, pasti mereka akan lari berpaling. Kemudian mereka tidak akan mendapatkan seorang pun teman atau penolong." (Q.s. Al-Fath : 22).

Bantuan dan pertolongan bagi orang-orang mukmin adalah tanggung jawab Allah, sehingga orang-orang mukminlah yang akan selalu menang.

"Dan adalah hak (kewajiban) Kami menolong orang-orang mukmin. Dan janganlah kalian merasa rendah, dan jangan merasa sedih, padahal kalian yang akan unggul jika kalian orang-orang beriman." (Q.s. Ar-Rum: 47, Q.s. Ali Imran: 139).

"Dan kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman." (Q.s. Al-Munafiqun : 8).

Setelah kita merenungkan ayat-ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa kemuliaan, pangkat, keberanian, ketinggian, kemenangan, dan kebaikan kaum muslimin hanya terikat erat dengan sifat keimanan. Apabila telah tercipta hubungan yang kuat dengan Allah dan Rasul-Nya (sebagai maksud iman), maka semua janji di atas akan terwujud. Sebaliknya (semoga Allah melindungi), apabila terputus hubungan dengan Allah dan Rasul-Nya, atau melemah bahkan berkurang; maka kekurangan, kerugian, dan kehinaan yang akan didapat. Hal itu disebutkan dengan jelas dalam ayat berikut ini:

"Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan nasihat menasihati agar mentaati kebenaran dan nasihat menasihati agar menepati ketabahan." (Q.s. Al-'Ashr : 1-3).

Para pendahulu kita telah mencapai kemuliaan yang sempurna, tetapi kita berada dalam kehinaan dan keburukan. Maka dapat diketahui bahwa sifat keimanan mereka telah mencapai derajat yang sempurna, sedangkan kita jauh dari nikmat yang sangat besar itu, sebagaimana sabda Nabi saw.:

"Akan datang suatu zaman bahwa tidak akan tersisa Islam kecuali namanya saja dan tidak pula Al-Quran kecuali tulisannya saja." (Misykat).

Yang patut kita renungkan adalah jika kita benar-benar terhalang dari hakikat Islam yang hakiki sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya -- yang menjadi penyebab kejayaan dan kemenangan kita di dunia dan akhirat-- maka dengan cara apa lagi kita dapat memperoleh kembali nikmat-nikmat yang telah hilang itu? Apakah yang menyebabkan ruh Islam keluar sehingga kita hanya memiliki jasad Islam tanpa ruh? Apabila kita mengkaji kandungan Al-Quran mengenai keutamaan serta ketinggian umat Muhammad saw., maka dapat kita ketahui bahwa umat ini digelari sebagai umat yang terbaik karena memiliki kedudukan yang mulia dan tanggung jawab yang sangat besar.

Maksud diciptakannya dunia adalah untuk mengenal dan mentauhidkan Allah dari segala serikat selain Dia. Hal ini tidak mungkin tercapai jika manusia masih bergelimang dengan kemusyrikan dan dosa-dosa tanpa menggantinya dengan kebaikan. Untuk mencapai maksud tersebut, diutuslah ribuan Nabi, sehingga untuk menyempurnakan maksud tersebut diutuslah Nabi terakhir; Rasulullah saw. , sesuai dengan firman-Nya:

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku relakan Islam menjadi agamamu." (Q.s. Al-Maidah : 3).

Sekarang, karena maksud telah sempurna dan setiap kebaikan serta kejahatan telah dijelaskan, dan suatu aturan amal yang sempurna telah diberikan, maka silsilah risalah dan kenabian yang pada mulanya diberikan kepada para Nabi dan Rasul, telah dibebankan kepada umat Muhammad saw. hingga hari Kiamat.

"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan kalian beriman kepada Allah." (Q.s. Ali Imran: 110).

"Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.s. Ali Imran: 104).

Dalam ayat pertama disebutkan bahwa umat terbaik diperuntukkan bagi mereka yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sedangkan ayat berikutnya disertai pengkhususan bahwa hanya mereka yang menunaikan tugas dan tanggung jawab yang akan mendapatkan kebahagiaan dan kejayaan. Bahkan tidak hanya itu, dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka yang tidak menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran wajib mendapatkan laknat dan adzab Allah swt..

"Telah dilaknat orang-orang kafir Bani Israil dengan lisan Dawud a.s. dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sungguh sangat buruklah apa yang selalu mereka perbuat." (Q.s. Al-Maidah : 78-79).

Ayat ini dijelaskan dengan keterangan hadits:

Dari Abdullah bin Mas'ud r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya keadaan umat sebelummu, apabila di antara mereka ada yang berbuat dosa (kemaksiatan), datanglah seseorang melarang seraya memperingatkan mereka dengan berkata, 'Wahai kamu, takutlah kepada Allah.' Pada hari-hari berikutnya, orang yang melarang itu pun bergaul, duduk, makan-makan dan minum bersamanya, seakan-akan ia tidak pernah melihatnya berbuat dosa pada hari sebelumnya. Ketika Allah menyaksikan pergaulan mereka, maka Allah menyatukan hati mereka. Kemudian Allah melaknat mereka atas lisan (nabi-Nya) yaitu Dawud dan Isa bin Maryam. Demikian itu karena mereka mentaati Allah dan sudah melampaui batas. Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Kalian harus menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemaksiatan, memegang tangan orang jahil dan memaksanya ke arah kebenaran. (Kalau tidak), maka Allah akan menyatukan hatimu dengan hati mereka. Kemudian Allah melaknatmu sebagaimana Dia melaknat mereka (umat-umat sebelummu)." (Abu Dawud, Tirmidzi - At-Targhib).

Jarir bin Abdullah r.a. berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Tidaklah seseorang berada di suatu kaum, ia berbuat maksiat di tengah mereka, dan mereka mampu untuk mencegahnya, namun mereka tidak mencegahnya, melainkan Allah akan menimpakan kepada mereka siksa sebelum mereka mati." Yakni mereka akan ditimpa berbagai musibah di dunia. (Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Ashbahani - At-Thargib).

Diriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Kalimat Laa ilaaha illallaah akan selalu memberi manfaat bagi siapa saja yang mengucapkannya dan akan menghindarkan mereka dari adzab dan bencana selama mereka tidak mengabaikan hak-haknya." Sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud mengabaikan hak-haknya?" Jawab beliau, "Kemaksiatan kepada Allah dilakukan secara terang-terangan, tetapi tidak dicegah dan diubah olehnya." (Al-Ashbahani - At-Tharghib).

Aisyah r.ha. meriwayatkan, "Pada suatu saat, Rasulullah saw. masuk ke rumahku, dan aku mengetahui dari raut wajah beliau bahwa sesuatu telah terjadi pada beliau. Beliau tidak berbicara kepada seorang pun. Setelah berwudhu, beliau masuk ke dalam masjid. Aku pun merapatkan (telinga) ke dinding kamarku agar dapat mendengar apa yang beliau sabdakan. Beliau duduk di atas mimbar. Setelah memuji Allah, beliau berkhutbah, 'Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah berfirman kepada kalian, 'Suruhlah manusia berbuat kebaikan dan cegahlah mereka dari kemungkaran, sebelum (datang masanya) di mana kalian berdoa, tetapi doa kalian tidak dikabulkan; kalian meminta kepada-Ku, tetapi Aku tidak akan memberimu, dan kalian memohon pertolongan dari-Ku, tetapi Aku tidak akan menolongmu.'" Beliau pun tidak menambah khutbahnya hingga beliau turun (dari mimbar)." (Ibnu Majah, Ibnu Hibban - At-Targhib).

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan tercabut darinya kehebatan Islam. Dan jika mereka sudah meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar, maka mereka akan terhalang dari keberkahan wahyu. Dan jika umatku sudah saling menghina, maka jatuhlah mereka dari pandangan Allah." (Hakim, Tirmidzi - Durrul Mantsur).

Jika hadits-hadits di atas direnungkan, maka dapat diketahui bahwa meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar akan menyebabkan laknat dan murka Allah swt.. Dan apabila umat Muhammad saw. meninggalkan tugas ini, maka mereka akan ditimpa banyak musibah, kesusahan, kehinaan, dan akan terjauh dari nushrah ghaibiyah dari Allah swt. dalam setiap masalah mereka. Penyebab dari semua ini karena kita tidak mengenal apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita sebagai umat Muhammad saw., dan sebagai akibat dari kelalaiannya dari tanggung jawab ini. Inilah penyebabnya, mengapa Rasulullah saw. mendudukkan amar ma'ruf nahi mungkar pada bagian iman yang istimewa dan diikrarkan kelazimannya. Sedangkan jika kita meninggalkannya, itu menunjukkan kelemahan iman serta kemalasan kita, sebagaimana disebutkan di dalam hadits Abu Said r.a. berikut ini:

Dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a., ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lidahnya. Jika tidak mampu, maka bencilah dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman." (Muslim,Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa'i - At-Targhib).

Ringkasnya, jika membenci kemaksiatan adalah derajat yang terendah dan menunjukkan iman yang terlemah, demikian pula tingkat pertama adalah kesempurnaan dakwah sebagai kesempurnaan iman. Untuk lebih jelasnya disebutkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Mas'ud r.a.:

"Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus sebelumku, melainkan ia memiliki pengikut dan para sahabat pilihan dari umatnya yang setia kepada sunahnya dan mengikuti perintahnya. Yaitu mereka menjaga syariat Ilahi sebagaimana keadaan dan bentuk yang diajarkan oleh Nabi mereka, dan tidak membiarkan ada perbedaan sedikit pun. Kemudian datanglah setelah mereka masa yang penuh fitnah dan kerusakan, sehingga muncullah satu generasi berikutnya yang membicarakan apa yang tidak mereka amalkan, beramal tetapi bukan yang diperintahkan. Barangsiapa bersungguh-sungguh (mencegah mereka) dengan tangannya, maka ia seorang mukmin, barangsiapa bersungguh-sungguh (mencegah mereka) dengan lidahnya, maka ia seorang mukmin, dan barangsiapa bersungguh-sungguh (mencegah) mereka dengan hatinya, maka ia juga seorang mukmin. Sedangkan setelah itu tidak ada lagi derajat iman walau hanya sebesar biji sawi." (Muslim).

Keutamaan dan pentingnya dakwah ini juga telah disebutkan oleh Imam Ghazali rah.a., ia berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa amar ma'ruf nahi mungkar adalah inti yang paling agung dalam agama, sesuatu yang paling penting, yang demi tugas tersebut Allah mengutus seluruh Anbiya a.s.. Apabila penyebarannya dihentikan, ilmu dan amalnya ditinggalkan; tentu kenabian akan sia-sia, keagamaan akan melemah, sifat bermalas-malas akan menyebar, jalan-jalan kesesatan akan terbuka, kebodohan akan merajalela, kerusakan akan terjadi di dalam setiap pekerjaan, akan timbul perpecahan di antara manusia, perkampungan, dan negara, sehingga akan hancur dan binasa seluruh makhluk. Sedangkan mereka tidak menyadari kehancurannya kecuali pada hari Kiamat ketika dibawa dihadapan Allah swt.. Dan apa yang kita khawatirkan tampaknya akan benar-benar terjadi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Tanda-tanda ilmu dan amalnya tiang ini telah terhapus. Keberkahan serta hakikatnya pun telah tiada. Sikap meremehkan dan menghina orang lain telah mengakar di dalam hati. Hubungan hati dengan Allah swt. telah terhapus. Dan manusia bebas mengikuti hawa nafsu dan syahwat sebagaimana hewan melata. Sulit didapati seorang mukmin yang benar demi agama Allah yang tidak terpengaruh dengan celaan orang-orang yang mencelanya. Dengan demikian, barangsiapa yang berusaha menghilangkan kehancuran ini dan berusaha menghidupkan sunnah Rasulullah saw., dan ia berdiri memikul beban ini, bangkit untuk mengembannya serta menyingsingkan lengan untuk menghidupkannya, maka di antara manusia, dialah pemilik kemuliaan dan orang pilihan."

Kata-kata Imam Ghazali rah.a. yang menerangkan pentingnya dan perluan kerja ini sebenarnya telah cukup sebagai peringatan untuk membangunkan dan menyadarkan kita.

Beberapa Penyebab Kelalaian Kita

Terdapat beberapa penyebab kelalaian kita terhadap kewajiban yang sangat penting ini, yaitu :

Pertama: Kita sering menganggap bahwa kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar hanyalah tanggung jawab alim ulama. Padahal, yang dituju oleh Allah di dalam Al-Quran adalah secara umum mutlak kepada setiap umat Muhammad saw.. Dan kehidupan para sahabat r.a. dalam masa Khairul-Qurun (generasi terbaik) adalah bukti yang adil atas kewajiban tersebut. Hanya mengkhususkan tanggung jawab dakwah dan amar ma'ruf nahi mungkar ke atas alim ulama, lalu meninggalkannya dan hanya mengharap dan mengandalkan mereka saja dalam tugas ini merupakan kebodohan yang sangat parah. Tugas ulama adalah menyampaikan yang hak dan menunjukkan jalan yang lurus. Sedangkan menggerakkan hamba-hamba Allah agar mengamalkan dan berjalan sesuai petunjuk merupakan tugas bagi orang-orang selain mereka. Ini sesuai dengan hadits:

"Sesungguhnya kalian ialah pemimpin, dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Raja ialah pemimpin rakyatnya dan akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya. Laki-laki adalah pemimpin ahli rumahnya. Ia akan ditanya tentang keluarga yang dipimpinnya. Istri adalah pemimpin di rumah suami dan anak-anaknya. Ia akan ditanya tentang rumah tangganya. Dan hamba sahaya adalah pemimpin atas harta majikannya. Ia akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Singkatnya, kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya atas kepemimpinannya." (Bukhari, Muslim).

Dan dengan gamblang telah dijelaskan melalui hadits berikut ini:

Rasulullah saw. bersabda, "Agama adalah nasihat." Kami (para sahabat) bertanya, "Bagi siapa?" Beliau bersabda, "Bagi Allah, bagi Rasulullah, dan bagi pemimpin-pemimpin umat Islam dan orang awamnya." (Muslim).

Walaupun seandainya dapat diterima bahwa kerja ini memang tugas ulama, dalam keadaan darurat dan situasi yang sangat kritis ini setiap orang dituntut untuk terjun dalam kerja ini dan bersedia meninggikan kalimat Allah serta menjaga agama yang kokoh ini.

Kedua: Kita sering merasa bahwa kita sudah memiliki iman yang kuat, sehingga kita tidak perlu beramar ma'ruf nahi mungkar karena kesesatan orang lain tidak akan merugikan kita, sebagaimana kita memahami ayat:

"Hai orang-orang beriman, pikirkanlah diri kalian, tidak dapat mencelakakan kalian orang yang tersesat jika kalian berada di atas petunjuk." (Q.s. Al-Maidah : 105).

Sebenarnya, yang dimaksud dari ayat ini bukanlah seperti memahami zhahirnya, sebab hal itu jelas bertentangan dengan hikmah Ilahi dan syariat. Syariat Islam telah menerangkan bahwa kehidupan ijtima'i (kebersamaan), ishlah bersama dan kemajuan bersama adalah sesuatu yang pokok. Dan telah ditetapkan bahwa umat Islam itu seperti satu jasad. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasa sakit juga. Namun maksud ayat di atas bukanlah demikian. Maksud sebenarnya adalah, meskipun Nabi saw. adalah seorang manusia yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan, keberadaan orang-orang yang turut meluruskan orang-orang yang telah meninggalkan jalan yang lurus ini tetaplah penting. Ayat ini adalah penghibur bagi orang-orang beriman bahwa mereka yang berdiri tegak dalam jalan hidayah dan jalan yang lurus, mereka tidak akan terkena bahaya dari orang-orang yang telah meninggalkan jalan hidayah tersebut.

Di samping itu, hidayah yang sebenarnya adalah penerimaan manusia terhadap seluruh hukum Islam, salah satunya adalah perintah beramar ma'ruf nahi mungkar. Adapun yang menguatkan pendapat ini antara lain adalah perkataan Abu Bakar r.a.:

"Wahai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat berikut ini, 'Hai orang-orang beriman, waspadalah atas diri kalian. Tidak dapat mencelakakan kalian orang yang tersesat jika kalian berada di atas petunjuk. Maka sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran, lalu mereka tidak berusaha mengubahnya, maka hampir saja Allah menurunkan adzab secara menyeluruh ke atas mereka.'"

Para ulama muhaqqiqin pun menyetujui makna tersebut. Imam Nawawi rah.a. dalam Syarah Muslim mengutip pendapat para ulama muhaqqiqin mengenai makna ayat di atas, "Apabila kalian telah menunaikan apa yang diperintahkan kepadamu, maka kejahatan orang-orang yang menentangmu tidak akan membahayakanmu," sebagaimana firman Allah:

"Dan tidak akan menanggung seseorang yang berdosa terhadap dosa orang lain." (Q.s. Al-Fathir : 15).

Di antara seluruh perintah tersebut, salah satunya ialah amar ma'ruf nahi mungkar. Apabila seseorang telah menyempurnakan tugas ini, maka ia tidak akan menanggung celaan dan dosa-dosa dari mereka yang tidak menerima ajakannya, sebab ia telah menunaikan kewajibannya. Dan bukan menjadi tanggung jawabnya jika orang lain tidak menerimanya. Wallaahu A'lam.

Ketiga: Masyarakat awam, cendekiawan, alim ulama, maupun orang-orang jahil, semuanya telah berputus asa terhadap usaha ishlah (perbaikan) ini. Dan mereka meyakini bahwa sekarang ini sangat tidak mungkin bagi kaum muslimin untuk dapat mencapai kejayaan. Mereka berpendapat, "Bagaimana Islam dapat maju jika tanpa kekuasaan, tanpa politik, tanpa pemerintahan, tanpa ekonomi, tanpa senjata, tanpa organisasi, tanpa kerja sama dan kesatuan?"

Terutama dari kalangan ahli agama sendiri, mereka berpendapat bahwa sekarang, empat belas abad telah berlalu dan jauh dari masa kenabian, sehingga wajar jika Islam dan kaum muslimin mengalami kemerosotan. Jadi, berusaha keras untuk melakukan perbaikan merupakan perbuatan yang sia-sia dan tidak berguna. Memang benar bahwa kita telah jauh dari cahaya Nubuwah dan Islam sudah mulai terpecah-pecah, tetapi bukan berarti tidak penting bagi kita untuk berusaha dan bersungguh-sungguh menjaga agama dan menghidupkan syariat yang telah dibawa oleh Muhammad saw. ini. Seandainya orang-orang terdahulu berpikiran demikian, tentu Islam tidak akan sampai kepada kita hingga hari ini. Sebaliknya, jika hal ini sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman, justru kita hendaknya berusaha lebih memperhatikan bagaimana agar usaha agama ini dapat dihidupkan kembali, yaitu dengan usaha dakwah ini.

Suatu hal yang sangat mengherankan adalah, agama yang seharusnya diamalkan dan diusahakan dengan sungguh-sungguhan, sekarang justru ditinggalkan sama sekali oleh penganutnya. Padahal, hampir seluruh ayat Al-Quran dan hadits telah memberi pelajaran agar kaum muslimin berjuang sungguh-sungguh untuk menegakkan agama ini, dan orang yang selalu menghabiskan malamnya dengan ibadah dan siang harinya dengan berpuasa, juga selalu menjaga dzikirullah, tetap tidak akan dapat menyamai derajat orang-orang yang tidak pernah tenang karena memikirkan kebaikan bagi orang lain dan merisaukan agar orang lain mendapat hidayah.

Di dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang menekankan tentang perintah berjuang di jalan Allah, tentang keutamaan mujahid, juga tentang keistimewaannya jika dibandingkan dengan amal lainnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat:

"Tidaklah sama orang-orang mukmin yang tinggal di rumah tanpa ada udzur dengan orang-orang mukmin yang berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah mengangkat orang-orang yang berjuang (di jalan-Nya) dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang tinggal di rumah mereka satu derajat. Allah telah menjanjikan (kepada mereka) semua dengan pahala yang baik. Dan Allah memberi kelebihan kepada orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dibandingkan mereka yang tinggal di rumah dengan pahala yang sangat besar. Yaitu beberapa derajat dari sisi-Nya, diberi ampunan dan rahmat. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.s. An-Nisa: 95 - 96).

Meskipun yang dimaksud dengan jihad dalam ayat di bawah ini adalah memerangi orang kafir agar umat Islam menjadi yang paling unggul, dan kekufuran serta kemusyrikan dapat dihancurkan, bila hari ini karena nasib buruk kita terhalang dari nikmat yang besar ini, jangan sampai kita melalaikan usaha untuk mencapai maksud tersebut sesuai dengan kemampuan kita. Kemudian sedikit demi sedikit kita meningkatkan usaha dan perjuangan kita.

"Barangsiapa bersungguh-sungguh di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (Q.s. Al-Ankabut: 69).

Tidak disangkal lagi bahwa Allah berjanji akan menjaga agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., tetapi untuk mencapai kemenangan dan kemajuan tersebut, dituntut pengorbanan dan usaha kita. Para sahabat r.a. telah berusaha keras untuk mencapai tujuan tersebut, maka seperti itulah hasil yang mereka saksikan. Mereka juga telah memperoleh pertolongan ghaibiyah dari Allah sehingga kita menyebut-nyebut keharuman nama mereka. Seandainya kita sekarang mengikuti jejak mereka dan berjuang menegakkan kalimatullah dan bersungguh-sungguh menyebarkan Islam, kita pun akan mendapatkan pertolongan Allah dan bantuan ghaibiyah-Nya.

"Jika kalian membantu agama Allah, pasti Allah akan membantu kalian. Dan Allah akan menegakkan kaki-kaki kalian (di depan musuh kalian)." (Q.s. Muhammad: 7).

Keempat : Kita sering berpendapat bahwa jika kita tidak konsekuen dengan ajakan kita dan kita merasa bukan ahlinya, maka tidak selayaknya kita menasihati orang lain. Ini adalah tipuan yang sangat nyata. Jika kita menunaikan suatu tugas dan tugas itu adalah perintah Allah, maka kita tidak boleh mundur sedikit pun. Kita hendaknya memulai kerja ini dengan kepahaman bahwa ini adalah perintah Allah. Insya Allah, usaha dan kesungguhan yang kita lakukan akan membawa kemajuan, kekuatan, dan istiqamah. Hendaknya kita kerjakan terus-menerus sehingga kita akan mendapat kedekatan dengan Allah swt.. Dan sesuatu yang mustahil jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan perintah Allah, lalu Allah tidak memandang kita dengan pandangan rahmat-Nya. Ungkapan saya tersebut dikuatkan dengan hadits berikut ini:

Dari Anas r.a., ia berkata, kami bertanya, "Ya Rasulullah, kami tidak akan menyuruh orang untuk berbuat baik sebelum kami sendiri mengamalkan semua kebaikan dan kami tidak akan mencegah kemungkaran sebelum kami meninggalkan semua kemungkaran." Maka Nabi saw. bersabda, "Tidak, bahkan serulah kepada kebaikan meskipun kalian belum mengamalkan semuanya, dan cegahlah dari kemungkaran, meskipun kalian belum meninggalkan semuanya." (Thabrani).

Kelima: Kita sering memahami bahwa dengan berdirinya banyak pondok pesantren, adanya alim ulama dengan nasihatnya, para sufi dengan ahli-ahli suluknya, juga adanya penulisan kitab-kitab agama, itu semua dianggap sebagai cabang-cabang amar ma'ruf nahi mungkar sehingga kita merasa bahwa kewajiban dakwah sudah dilaksanakan. Memang kita tidak meragukan kebenarannya. Memelihara hal-hal tersebut (pondok-pondok pesantren, ahli-ahli tasawuf, penulisan buku-buku agama, dan sebagainya) memang sangat penting. Dengan adanya usaha-usaha tersebut, setidaknya cahaya Islam mengalami sedikit perkembangan dan menghasilkan pengaruh keberkahannya. Namun jika kita merenungkan dan memperhatikan keadaan kita pada saat ini, hal-hal tersebut masih kurang mencukupi. Dan merupakan kesalahan yang sangat besar jika kita hanya menyandarkan segalanya pada usaha ini. Karena, kita akan mendapat manfaat dari pondok pesantren atau usaha-usaha di atas jika kita memiliki semangat dan gairah agama yang tinggi dan rasa ta'zhim (memuliakan) serta penghormatan kepada agama yang tinggi pula. Memang, pada masa lima puluh tahun yang lalu, semangat dan gairah agama dalam hati umat ini masih ada, dan cahaya keimanan pun masih tampak, sehingga adanya usaha-usaha tersebut terasa cukup bagi kita dan dengan semangat tersebut, kita dapat menciptakan suasana. Namun pada zaman ini, orang-orang di luar agama telah memusnahkan semangat agama kita dengan usaha-usaha mereka. Dan semangat serta gairah agama pun tampaknya berganti dengan rasa benci dan ingin membebaskan diri darinya. Dalam keadaan seperti ini, penting sekali bagi kita untuk memulai suatu gerakan yang dapat menumbuhkan semangat dan gairah agama di kalangan orang-orang awam dan membangkitkan semangat mereka yang telah lama tidur. Barulah setelah itu kita dapat mengambil manfaat dari badan-badan tersebut yang sesuai dengan bidang masing-masing. Jika tidak, tentu agama akan dipelajari tanpa gairah dan tanpa perhatian sehingga jangankan mengambil manfaat, menjaga kelestarian usaha-usaha itu pun merupakan sesuatu yang sangat sulit.

Keenam : Jika kita membawa usaha dakwah ini kepada orang lain, maka mereka akan membalasnya dengan keburukan, kekasaran, bahkan menghina dan merendahkan kita. Walaupun demikian, hendaknya kita menyadari bahwa kerja dakwah ini adalah kerja mewakili para Nabi, dan mendapat penderitaan serta kesusahan termasuk bagian dalam kerja ini. Para Nabi bahkan mengalami penderitaan dan kesusahan yang lebih berat, namun mereka menghadapinya dengan penuh ketabahan, sebagaimana firman-Nya:

"Sesungguhnya Kami telah mengirim (nabi-nabi) sebelummu dari golongan orang-orang terdahulu dan tiada seorang Rasul pun yang kami utus kecuali mereka akan mengolok-olokkannya."

Rasulullah saw. bersabda, "Aku telah mengalami berbagai penderitaan di jalan Allah dengan penderitaan yang tidak pernah dialami oleh Nabi-nabi selainku." Ringkasnya, jika Nabi saw. sebagai pemimpin kita di dunia dan akhirat telah bersabar dalam menghadapi musibah dan penderitaan, maka kita sebagi pengikutnya dan penerus kerjanya, hendaknya tidak cemas dalam menghadapi musibah-musibah yang menimpa kita. Kita mesti tabah dalam menghadapinya.

Dari keterangan di atas dapat kita pahami bahwa penyakit kita yang sebenarnya adalah penyakit ruhani, karena ruh Islam dan hakikat iman pada diri kita sudah melemah, semangat Islam yang kita miliki telah punah, dan kekuatan iman pun telah hilang. Jika yang asas telah melemah, maka semua kebaikan dan kebenaran tentu akan berkurang. Segala kelemahan dan kekurangan tersebut bersumber dari ditinggalkannya sesuatu yang paling pokok yang menjadi tumpuan kelangsungan seluruh bagian agama, yaitu ditegakkannya amar ma'ruf nahi mungkar. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu kaum tidak akan sukses jika setiap anggota dari kaum tersebut tidak berjalan dalam kebaikan dan kesempurnaan agamanya.

Adapun cara perbaikan kita hanyalah dengan menegakkan kewajiban dakwah dan tabligh yang akan menguatkan iman kita dan membangkitkan semangat Islam pada diri kita. Kita menyeru manusia kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mengedepankan segala perintah-Nya. Oleh sebab itu, jalan yang kita tempuh adalah sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw. ketika memperbaiki orang-orang musyrik Makkah.

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu." (Q.s. Al-Ahzab : 21).

Karena itu pulalah Imam Malik rah.a. berkata, "Tidak akan menjadi baik umat pada kurun (abad) terakhir ini kecuali (dengan cara) sebagaimana perbaikan pada kurun umat terdahulu."

Ketika Nabi saw. mulai berdakwah, beliau memulainya seorang diri tanpa sahabat dan kawan, tanpa kekuatan dunia sedikit pun. Bahkan hati kaumnya sendiri telah menentangnya dengan keras. Tidak ada seorang pun yang mau mendengar dan berniat mengikutinya. Terutama ketika Rasulullah saw. mendakwahkan kalimat hak, Laa ilaha illallah, kaumnya banyak yang membencinya dan berpaling darinya. Dalam keadaan seperti itu, tanpa sesuatu apa pun, tanpa sahabat serta kawan yang membantunya, kekuatan apa yang menyebabkan beliau berhasil menarik manusia kepada seruannya?

Marilah sekarang kita renungkan, apakah sebenarnya yang beliau seru? sehingga walaupun kaumnya telah menentangnya dengan keras, orang-orang yang telah menerima seruannya akan mengiringi beliau selamanya. Seluruh dunia mengetahui bahwa satu pelajaran saja yang menjadi buah pikiran dan maksud hidup beliau yang sesungguhnya; yaitu apa yang telah beliau tawarkan kepada kaumnya:

"Tidak ada yang kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." (Q.s. Ali Imran : 64).

Ayat tersebut menunjukkan larangan beribadah dan mentaati segala sesuatu selain Allah, dan meninggalkan segala kecintaan terhadap manusia atau benda, lalu menetapkan satu aturan beramal, yaitu menyeru dan beribadah hanya kepada-Nya tanpa berpaling kepada selain Dia.

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikit kamu mengambil pelajaran (dari padanya). (Q.s. Al-A'raf : 3)

Inilah pelajaran sebenarnya yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw., dan kita telah diperintahkan agar menyebarkannya.

"Ajaklah mereka (wahai Muhammad) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik. Dan berdebatlah dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Rabbmu lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui orang yang mendapat petunjuk." (Q.s. An-Nahl : 125).

Inilah jalan yang telah ditempuh Rasulullah saw. dan yang juga harus ditempuh oleh setiap pengikutnya.

"Katakanlah (wahai Muhammad), inilah jalanku menyeru ke jalan Allah dengan bashirah. Jalanku dan jalan bagi mereka yang mengikutiku. Mahasuci Allah dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang syirik." (Q.s. Yusuf : 108).

"Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (manusia) ke jalan Allah dan beramal shalih, dan ia berkata, 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim).'" (Q.s. Fushshilat : 33).

Menyeru manusia kepada Allah swt., menunjukkan manusia yang sesat ke jalan yang benar, menunjukkan jalan hidayah kepada orang yang sesat, adalah amalan Rasulullah saw. dan maksud hidup beliau. Dan untuk maksud itulah Allah swt. telah mengutus ribuan Nabi ke dunia.

"Dan tidaklah Kami mengutus Rasul sebelummu, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Aku. Maka sembahlah Aku." (Q.s. Al-Anbiyaa: 25).

Apabila kita melihat kehidupan Rasulullah saw. dan para Nabi lainnya yang suci, maka dapat diketahui bahwa seluruhnya mempunyai maksud yang satu, yaitu meyakini sifat-sifat Allah swt.. Inilah makna iman dan Islam, dan untuk itulah manusia dikirim ke muka bumi ini.

"Dan tidak Kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Q.s. Adz-Dzariyat : 56).

Sekarang, jika kita telah mengetahui maksud hidup kita di dunia ini, dan mengetahui dengan jelas penyakit dan pengobatan yang sesungguhnya, maka usaha penyembuhannya pun tidak akan sulit. Dengan pertimbangan tersebut, insya Allah jika cara pengobatan di bawah ini diusahakan akan bermanfaat bagi kita dan membuahkan hasil. Sesuai dengan kepahaman kami yang lemah ini, untuk mencapai kejayaan dan kesuksesan kaum muslimin mesti memerlukan suatu aturan kerja yang dapat mewujudkan contoh hakikat kehidupan Islam atau teladan kehidupan orang-orang terdahulu yang telah berhasil, yang gambaran globalnya akan kami sampaikan di sini.

Beberapa Petunjuk Bagi Perbaikan Umat

Dalam hal ini, secara ringkas akan dikemukakan beberapa masalah yang sangat penting, yaitu: Setiap muslim hendaknya memalingkan seluruh maksud hidupnya dari keduniaan hanya untuk li i'la'i kalimatillah (meninggikan kalimat Allah) dan penyebaran Islam, serta membiasakan diri dalam mentaati Allah dan memelihara Islam. Kemudian berjanji dengan sungguh-sungguh akan mentaati perintah Allah dan berusaha keras mengamalkannya, tanpa mendurhakai-Nya sedikit pun. Untuk menyempurnakan maksud ini, hendaknya kita selalu membiasakan diri dalam mengamalkannya, yaitu dengan amalan sebagai berikut :

1. Mengucapkan kalimat:

"Tiada Tuhan (Ilah) kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah."

Dengan ucapan yang benar dan berusaha memahami makna kalimat tersebut dengan benar, serta memasukkannya ke dalam pikiran dan berusaha untuk mengamalkannya serta menerapkannya dalam kehidupan kita.

2. Berdisiplin dalam shalat dengan menjaga adab dan rukun-rukun shalat, dan menunaikannya dengan khusyu' dan khudhu'. Hendaknya kita sertakan kebesaran serta keagungan Allah dan kehambaan serta kelemahan kita dalam pikiran kita di setiap rukun, seakan-akan kita hadir di hadapan Allah swt.. Selain itu, hendaknya selalu memohon taufik kepada Allah agar mendapatkan mutu shalat seperti itu. Jika kita belum mengetahui cara-cara shalat yang benar, kita mesti mempelajarinya dan berusaha mengingat serta memahami semua bacaan shalat.

3. Senantiasa membaca Al-Quran dan berusaha mewujudkan cinta terhadap Al-Quran pada diri kita. Hal ini didapat dengan dua cara:

a. Menyisihkan waktu setiap hari untuk membaca Al-Quran disertai adab dan ta'zhim kepadanya serta merenungkan makna-maknanya. Jika bukan orang alim dan tidak memahami maknanya, tetaplah membacanya walaupun tidak memahami maknanya. Kita perlu meyakini bahwa kebahagiaan dan kesuksesan tersimpan di sini, dan hanya dengan membaca lafazh-Nya saja merupakan karunia yang besar, karena akan mendatangkan rahmat dan berkah. Apabila membaca saja tidak dapat, hendaknya menyisihkan waktu untuk belajar membacanya setiap hari.

b. Mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak kita dan anak-anak di tempat kita, baik laki-laki maupun perempuan. Berpikirlah untuk menghidupkan pendidikan agama serta mengutamakannya dari kerja-kerja lainnya.

4. Menyisihkan waktu untuk mengingat Allah, yaitu dengan berdzikir dan tafakkur. Dalam hal ini, hendaknya mencari bimbingan seorang ulama mursyid yang mengamalkan sunah-sunah Rasul. Jika tidak ada bimbingan guru dalam dzikir ini, hendaklah membiasakan diri membaca kalimat :

Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaaha illallah, Allahu akbar

Setiap pagi dan sore hari, dengan tambahan shalawat dan istighfar seratus kali yang dibaca dengan tawajjuh dan ketenangan hati, karena di dalam hadits banyak disebutkan fadhilahnya.

5. Menganggap bahwa setiap muslim sebagai saudara. Oleh sebab itu, hendaknya saling menyayangi, berbagi rasa, menghormati, dan memuliakan sesama muslim karena keislamannya. Hindarilah hal-hal yang dapat menimbulkan penderitaan dan kesusahan ke atas saudara muslim lainnya.

Lima hal di atas hendaknya diusahakan dan diamalkan oleh setiap muslim dan dianjurkan kepada saudara se-Islam agar mereka juga menjaga dan mengamalkannya. Caranya adalah, kita sendiri menyisihkan waktu untuk agama dan menganjurkan orang lain agar mereka juga meluangkan waktu untuk berkhidmat dalam penyebaran Islam ini. Para Nabi, sahabat, dan para shalihin dahulu telah mengalami berbagai kesusahan dalam memperjuangkan Islam. Para sahabat dan pendahulu kita telah menghabiskan umur mereka untuk agama dan jiwa mereka di jalan Allah. Oleh karena itu, jika kita tidak mengorbankan sedikit dari harta dan jiwa kita untuk agama Allah ini, niscaya kita berada dalam kerugian yang sangat besar. Inilah tanggung jawab yang telah kita tinggalkansehingga kita sekarang berada dalam kebinasaan.

Dahulu, orang Islam memahami bahwa dengan menjadi seorang muslim berarti mesti mengorbankan harta, jiwa, kemuliaan, dan kehormatannya semata-mata demi penyebaran Islam dan Li i'la'i kalimatillah. Dan barang siapa yang tidak memiliki pemahaman seperti ini, maka ia dianggap orang yang bodoh. Patut disayangkan bahwa kita yang dikenal sebagai orang Islam, namun ketika melihat Islam terlantar di depan mata kita, kita tidak berusaha untuk menjaga dan memeliharanya.

Ii 'ila-i Kalimatillah adalah maksud hidup setiap orang Islam, kerja asali setiap muslim, dan penyebab kejayaan dan kemajuan dunia akhirat, yang jika kita tinggalkan, kita akan menjadi terhina. Hendaknya kita usahakan agar tetap menjadi maksud hidup kita dan menjadikannya sebagai kesibukan kita yang utama dalam hidup ini, sehingga kita akan dicucuri rahmat oleh Allah dan kita akan mendapatkan kejayaan dan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Dengan maksud seruan di atas, bukan berarti bahwa kita sama sekali harus meninggalkan semua pekerjaan dunia dan hanya mengerjakan kerja agama ini. Maksud yang sebenarnya ialah, sebagaimana kita telah meluangkan waktu untuk keperluan duniawi kita, maka seperti itu jugalah hendaknya kita memahami pentingnya kerja ini, dan untuk maksud tersebut kita juga perlu meluangkan waktu. Apabila ada beberapa orang yang siap untuk melaksanakannya, maka setiap minggunya dapat meluangkan waktu beberapa jam di masjid di kampung kita, setiap bulannya meluangkan waktu tiga hari untuk bersilaturahmi ke kampung sekitar kita, dan empat puluh hari setiap tahunnya untuk keluar daerah. Juga menyiapkan agar setiap muslim, baik orang kaya maupun miskin, pedagang atau pegawai, petani atau pengusaha, ulama atau orang awam, dapat bersama-sama menunaikan kerja ini sebagai amalan yang perlu dijaga.

Cara Kerja

Kita bentuk sebuah jamaah yang sekurang-kurangnya terdiri dari sepuluh orang. Yang pertama kali dilakukan adalah memilih seorang pimpinan jamaah. Lalu semua berkumpul di masjid, shalat sunnah dua rakaat, lalu berdoa bersama kepada Allah untuk memohon pertolongan, taufik, kesungguhan, dan keteguhan bagi diri kita. Setelah berdoa dengan perlahan dan tenang, kita keluar masjid untuk memulai perjalanan. Usahakan jangan berbicara sia-sia. Setibanya di masjid yang dituju, semua berkumpul kembali dan berdoa bersama. Kemudian kita bersilaturrahmi menjumpai masyarakat setempat agar berkumpul di masjid. Pertama kali, kita ajak mereka untuk shalat berjamaah dan menganjurkan agar mereka menjaga amalan tersebut. Lalu kita mengajak mereka agar berbuat seperti kita. Kemudian kita pergi ke rumah-rumah mereka, dari luar pintu kita menyeru mereka, juga kepada kaum wanitanya agar mereka mendirikan shalat dan menjaga amal-amal agama.

Bagi penduduk setempat yang siap untuk melaksanakan kerja ini perlu dibentuk satu jamaah. Kita memilih seorang amir jamaah di antara mereka. Dan pada masa-masa permulaan, mereka bekerja di bawah bimbingan kita dan mereka mulai digerakkan dalam pengawasan kita. Setiap jamaah hendaknya mentaati amir jamaah. Dan pimpinan jamaah berusaha melayani jamaahnya tanpa mengurangi kasih sayangnya kepada jamaah. Amir jamaah hendaknya meminta usul dan pendapat para jamaah melalui musyawarah untuk diamalkan bersama.

Adab-Adab Bertabligh

Kerja dakwah dan tabligh merupakan ibadah penting dan karunia yang sangat mulia. Kerja ini adalah warisan para Nabi a.s.. Jika suatu pekerjaan itu besar, sudah tentu mempunyai adab dan tata tertib yang besar pula. Tugas ini bukan untuk menghasilkan hidayah bagi orang lain, namun yang paling utama adalah untuk memperbaiki diri sendiri dan menunaikan kehambaan kita kepada Allah swt., juga sebagai usaha untuk selalu mentaati perintah-Nya demi mendapatkan ridha-Nya. Untuk itu, ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dan dijaga secara istiqamah:

1. Menanggung sendiri biaya makan, minum, ongkos kendaraan, dan biaya-biaya lainnya. Jika ada kelebihan, boleh membantu biaya kawan-kawan yang kurang mampu.

2. Menghormati saudara-saudara sesama pekerja agama dan menganggap bahwa melayani mereka adalah suatu karunia yang besar, tanpa mengurangi adab dan penghormatan kepada mereka.

3. Bersikap tawadhu' dan merendahkan diri di hadapan setiap muslim dengan berkata lemah-lembut kepada mereka serta berusaha mengambil hati mereka. Jangan memandang rendah atau menghina di antara sesama. Khususnya, alim ulama hendaknya kita muliakan dan kita hormati mereka, jangan sampai kita melakukan kekurangan dalam menghormati mereka. Sebagaimana kita wajib menghormati, memuliakan, beradab kepada Al-Quran dan hadits, seperti itu pula sangat penting bagi kita untuk memuliakan dan menghormati ulama. Allah sendiri telah memberi mereka karunia yang istimewa. Menghina ulama sama dengan menghina Islam, yang akan menyebabkan kemurkaan Allah swt..

4. Hindarilah dusta, ghibah, bertengkar, bermain-main, dan bersenda gurau pada waktu luang. Waktu-waktu luang lebih baik digunakan untuk membaca buku-buku agama dan duduk dengan orang-orang yang menjaga agamanya, sehingga kita dapat mengetahui firman Allah dan sabda Rasul-Nya, khususnya ketika keluar di jalan Allah. Hindarilah hal-hal yang sia-sia dan gunakanlah waktu luang untuk berdzikir, berpikir, bershalawat kepada Nabi saw. dan beristighfar, serta saling mengajarkan di antara sesama jamaah.

5. Ketika kembali, usahakanlah untuk mencari penghasilan yang halal dan menggunakannya sesuai dengan keperluan. Selain itu, hendaknya menunaikan hak-hak keluarga, sanak saudara, dan orang lain, sesuai dengan syariat Islam.

6. Jangan menyinggung masalah-masalah fiqih yang sensitif atau masalah khilafiyah. Selalulah berdakwah mengenai tauhid dan pentingnya menyampaikan agama.

7. Setiap amalan dan ucapan hendaknya dilakukan dengan ikhlas. Amal yang sedikit tetapi ikhlas akan mendapatkan rahmat, berkah, dan menghasilkan kebaikan. Sebaliknya, jika tanpa keikhlasan, maka di dunia pun tidak ada hasilnya dan di akhirat tidak mendapat pahala. Ketika Mu'adz bin Jabal r.a. dikirim oleh Nabi saw. menjadi gubernur di Syam, maka ia bertanya, "Ya Rasulullah, nasihatilah saya." Sabda beliau, "Jagalah keikhlasan dalam setiap amalanmu. Dengan keikhlasan, amalan (sedikit) saja sudah mencukupi." Hadits lain menyebutkan, "Allah hanya mengabulkan suatu amal jika dilakukan dengan ikhlas." Riwayat lain menyatakan, "Sesungguhnya Allah tidak melihat wajah dan rupamu, tetapi Dia hanya memandang hatimu dan amalanmu." Ringkasnya, yang terpenting adalah keikhlasan, yaitu beramal tanpa riya sedikit pun. Sejauh mana amalan itu dikerjakan dengan ikhlas, sejauh itu pula ia akan maju dan berkembang.

Tata tertib amalan ini telah saya terangkan di atas, mengenai keutamaan serta kepentingannya juga sudah saya jelaskan. Namun, yang mesti dilihat adalah dalam keadaan yang kacau balau, tidak menentu, dan penuh kegelisahan ini, sejauh mana cara ini dapat membimbing kita, dan sejauh mana dapat memecahkan masalah-masalah kita? Untuk itu, kita harus kembali kepada Al-Quran. Al-Quran telah menerangkan bahwa usaha ini sebagai perdagangan yang menguntungkan, sehingga akan timbul semangat. Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, sukakah Aku tunjukkan kepadamu suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari adzab yang pedih, yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan memasukkanmu ke tempat tinggal yang baik di dalam surga. Itulah keberuntungan yang besar. Dan ada lagi karunia yang lain yang kamu sukai yaitu pertolongan Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman." (Q.s. As-Shaff: 10-13).

Ayat di atas telah menyebutkan suatu perdagangan yang keuntungan pertamanya adalah terbebas dari adzab yang pedih. Perdagangan tersebut adalah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mengorbankan harta dan jiwa di jalan Allah swt.. Inilah kerja yang mendatangkan kebaikan. dan kebaikan saja, kalau kita punya sedikit pikiran dan kepahaman. Apakah manfaat-manfaat yang kita peroleh dari kerja yang sangat sederhana ini? Semua kesalahan dan dosa-dosa kita akan langsung diampuni Allah, dan di akhirat kita akan diberi karunia yang sangat besar. Inilah kesuksesan dan karunia yang besar. Tidak hanya itu, bahkan di dunia pun sudah dijamin bahwa Islam akan tersebar dan pertolongan Allah akan datang, serta adanya jaminan kejayaan dan kemenangan atas musuh-musuh dan tercapainya pemerintahan yang Islami.

Allah swt. meminta dua hal dari kita: Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjuang di jalan-Nya dengan mengorbankan harta dan jiwa kita. Sebagai gantinya, Allah akan memberi dua jaminan: (1) Di akhirat mendapat jaminan surga yang berisi ketenangan, kenikmatan, dan istirahat yang abadi. (2) Di dunia akan memperoleh bantuan dan kemenangan. Permintaan Allah swt. yang pertama adalah iman. Jelaslah bahwa tujuan usaha ini adalah untuk mendapatkan hakikat iman, dan yang kedua adalah jihad. Memang, jihad makna asalnya adalah berjuang dan berperang melawan orang-orang kafir, namun maksud jihad yang sebenarnya adalah untuk meninggikan kalimat Allah demi tegaknya hukum-hukum Allah. Dan inilah maksud kerja kita. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa kita akan memperoleh kebahagiaan hidup setelah meninggal dunia dan kenikmatan surga jika ada iman dan berjuang di jalan Allah. Begitu juga kesenangan dan kenikmatan di dunia akan dapat kita peroleh dengan iman dan berjuang di jalan Allah, yaitu mengorbankan diri dan harta kita di jalan Allah swt.. Apabila kita telah mengambil keputusan untuk mengambil tanggung jawab ini, yaitu beriman kepada Allah swt., berjuang di jalan-Nya dengan harta dan jiwa kita, dan menghiasi diri dengan amal-amal shalih, maka kitalah yang berhak atas kekuasaan dan khilafah di muka bumi ini. Kekuasaan dan pemerintahan akan diberikan kepada kita, sebagaimana disebutkan dalam ayat:

"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antaramu dan yang beramal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah memberi kekuasaan kepada orang-orang sebelum mereka, dan akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku. Dan barangsiapa tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang fasiq." (Q.s. An-Nur : 50).

Dalam ayat ini terdapat janji Allah swt. kepada umat ini, bahwa dengan iman dan amal shalih, maka akan menghasilkan kekuasaan. Sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasulullah saw., disusul pada zaman Khulafaaur-Rasyidin, seluruh Arab ditundukkan oleh Rasulullah saw. dan sekitar jazirah Arab ditundukkan oleh Khulafaur-Rasyidiin. Kemudian dari waktu ke waktu secara tidak tersambung, janji ini diberikan kepada raja-raja yang shalih dan kepada khalifah-khalifah yang haq. Dan pada masa-masa yang akan datang pun akan terjadi seperti itu, sebagaimana firman-Nya:

"Sesungguhnya golongan Allah, merekalah yang pasti menang." (Bayanul-Quran).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh ketenteraman, kedamaian, ketenangan, dan kehormatan di dunia ini, tidak ada cara lain kecuali berpegang teguh kepada amalan Rasulullah. Hendaknya kita mengerahkan seluruh kekuatan kita, baik ijtima'i (bersama-sama), atau infiradi (bersendirian), untuk menyempurnakan maksud kita yang sebenarnya itu.

"Berpeganglah kepada tali (agama) Allah dengan kuat, dan jangan kalian bercerai-berai." (Q.s. Ali Imran : 103).

Inilah ringkasan tertib amal, yang pada hakikatnya merupakan contoh kehidupan Islam dan kehidupan orang-orang shalih terdahulu. Amal ini telah dimulai sejak beberapa tahun yang lalu di daerah Mewat (kawasan dekat Delhi India). Dan buah dari kerja yang belum sempurna ini adalah bahwa keadaan kaum muslimin ini semakin meningkat dari hari ke hari. Dengan cara seperti itu, keberkahan dan hasil kerja ini telah terlihat jelas manfaatnya di hadapan kita, dan akan dirasakan jika kita sendiri melaksanakannya. Jika kaum muslimin bersama-sama berusaha menyebarkan Islam dengan jalan ini, kita dapat berharap kepada Allah swt. agar kita dijauhkan dari segala musibah dan kesulitan. Dan kita akan diberi oleh Allah kehidupan yang tenang, tenteram, dan terhormat. Di samping itu, kita akan mendapatkan kembali kewibawaan, dan musuh akan takut kepada kita:

"Kemuliaan itu hanya bagi Allah dan Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin." (Q.s. Al-Munafiqun: 8).

Di setiap kata, saya telah berusaha untuk mengarahkan kepada tujuan yang sebenarnya, namun kata-kata ini bukan kumpulan ketentuan. Ini hanyalah kerangka tertib kerja yang telah dimulai oleh seorang yang mulia, yaitu Syaikh Maulana Muhammad Ilyas rah.a.. Dan ia telah mewakafkan seluruh hidupnya untuk agama (kerja yang mulia ini). Oleh karena itu, sangat penting bagi kita agar tidak hanya merasa cukup dengan membaca dan berpikir saja, tetapi juga benar-benar mempelajari dan melihat contoh nyata tertib kerja ini dan memetik manfaatnya agar dapat kita amalkan dalam kehidupan kita. Tujuan kami adalah agar kita benar-benar mencurahkan perhatian yang besar terhadap usaha ini, tanpa ada maksud lainnya.

Balasanku cukup dari Rabbku dengan diterimanya amalku

Pentingnya Ikhlas, Iman, Dan Ihtisab

Secara khusus, saya memohon kepada para mubaligh agar ikhlas dalam setiap ceramah, tulisan, dan amal perbuatannya. Allah memberi pahala yang besar terhadap amal shalih yang dilakukan dengan ikhlas, walaupun amalan itu ringan. Sebaliknya, amal shalih tanpa keikhlasan tidak akan berpengaruh di dunia dan tidak akan menghasilkan pahala di akhirat. Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak memandang tubuhmu dan bentuk rupamu, tetapi Dia memandang hatimu." (Muslim - At-Targhib).

Rasulullah saw. pernah ditanya mengenai arti iman, beliau menjawab, "Artinya ikhlas." Di dalam kitab At-Targhib banyak ditulis riwayat tentang ikhlas, sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa ketika Mu'adz r.a. diutus ke Yaman sebagai hakim, ia meminta nasihat kepada Nabi saw.. Kemudian beliau bersabda, "Dalam setiap amalmu, jagalah keikhlasan, karena dengan keikhlasan, walaupun amal itu sedikit akan mencukupi." Hadits lainnya menyebutkan, "Allah hanya akan menerima amal seorang hamba-Nya yang dilandasi dengan keikhlasan." Sebuah hadits Qudsi menyebutkan:

"Akulah Yang Mahakaya dari seluruh sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang menyekutukan-Ku, akan Aku serahkan ia kepada sekutunya." Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku terlepas darinya, dan baginya apa yang ia lakukan." (Muslim - Misykat).

Sebuah hadits menyebutkan, "Pada hari Kiamat akan terdengar pengumuman di padang Mahsyar, 'Barangsiapa yang menyekutukan Allah dalam amalannya, hendaklah ia menuntut pahala dari sekutu itu, karena Allah tidak menghendaki satu sekutu pun bagi-Nya.'" Sebuah hadits lain menyebutkan:

"Barangsiapa shalat karena riya (ingin dilihat orang lain), sungguh ia telah syirik. Barangsiapa berpuasa karena riya, sungguh ia telah syirik. Dan barangsiapa bersedekah karena riya, sungguh ia pun telah syirik." (Ahmad - Misykat).

Apabila seseorang beramal tanpa keikhlasan, yakni bukan untuk mencari ridha Allah tetapi berniat memamerkannya agar dihargai oleh manusia, secara tidak langsung ia telah menyekutukan Allah, sehingga seluruh amalnya tidak akan diterima oleh Allah swt.. Amal itu hanya akan sampai kepada orang yang ia harapkan pujian dan penghargaannya. Sebuah hadits berbunyi:

"Sesungguhnya orang yang pertama akan diadili pada hari Kiamat adalah orang yang telah mati syahid, ia akan dihadapkan kepada Allah. Maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengakui kenikmatan itu. Allah bertanya, "Apa yang kamu perbuat dengannya? Ia menjawab, "Aku berperang karena-Mu sehingga aku mati syahid." Allah berfirman, "Kamu dusta! Kamu berperang karena ingin disebut pahlawan, dan itu telah kamu dapatkan." Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir kemudian dicampakkan ke neraka. Kemudian seseorang yang belajar dan mengajar ilmu agama dan suka membaca Al-Quran dihadapkan kepada Allah, maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengenal nikmat tersebut. Allah bertanya, "Apa yang kamu perbuat dengannya?" Jawabnya, "Aku belajar dan mengajar ilmu dan membaca Al-Quran karena Engkau." Allah berfirman, "Kamu dusta! Kamu belajar dan mengajar agar disebut ulama, dan kamu membaca Al-Quran agar disebut qari, dan itu telah kamu dapatkan." Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir lalu dicampakkan ke neraka. Dan terakhir adalah seseorang yang dikaruniai kekayaan oleh Allah. Maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengenal kenikmatan itu. Lalu Allah bertanya, "Apa yang telah kamu perbuat dengan kekayaanmu itu?" Ia menjawab, "Aku tidak membiarkan satu jalan pun yang patut diberi infak kecuali aku infakkan hartaku karena Engkau." Allah berfirman, "Kamu dusta! Kamu berbuat demikian agar disebut dermawan dan kamu telah mendapatkannya!" Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir lalu dicampakkan ke neraka." (Muslim - Misykat).

Oleh sebab itu, sangat penting bagi para mubaligh agar selalu bertujuan mencari ridha Allah dalam menyampaikan kegiatannya dan dalam menyebarkan agama dengan mengikuti sunah Rasulullah saw.. Jangan sampai beramal untuk mencari ketenaran, mencari nama, atau agar dihargai orang lain. Jangan biarkan niat-niat tersebut ada di dalam hati kita. Jika terlintas dalam pikiran kita seperti itu, segeralah membaca, "Laa haula wala quwwata illa billah," dan beristighfarlah sebagai upaya untuk memperbaiki diri kita.

Dengan kelembutan kasih sayang Allah, kebenaran Rasul-Nya, dan keberkahan Kalam-Nya, saya memohon semoga Allah memberikan taufik kepada saya dan para pembaca untuk dapat berbakti kepada agama-Nya sedaya upaya kita dengan ikhlas. Amin.

Selasa, 30 November 2010

Kemunduran Umat Islam dan Cara Memperbaikinya

Lebih dari 1350 tahun yang lalu, ketika dunia ini telah dipenuhi oleh kekufuran, kegelapan, kebodohan, dan kejahilan, maka dari balik pegunungan Batha (Makkah) memancarlah nur hidayah yang menembus daerah Timur, Barat, Utara, Selatan, sehingga seluruh penjuru dunia disinari dengan nur hidayah tersebut. Hanya dalam waktu singkat, yaitu selama 23 tahun, Nabi Muhammad saw. dapat membawa manusia ke puncak kemajuan yang tiada bandingnya dalam sejarah dunia. Dan pelita hidayah, perdamaian, serta kejayaan berada di tangan kaum muslimin, sehingga dengan sinarnya, mereka selalu berjalan di puncak kemajuan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Dengan cahaya hidayah tersebut, seluruh dunia berada di bawah kekuasaan kaum muslimin selama berabad-abad sehingga tidak ada kekuatan yang berani menantang mereka. Kalaupun ada, setiap kekuatan yang menentang itu akan dihancurkan hingga ke akar-akarnya. Ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Namun demikian, semua itu adalah cerita lama yang jika diceritakan terus menerus memang akan menghibur hati, tanpa ada faedah dan manfaatnya, selama kehidupan orang-orang terdahulu itu hanya kita simpan dalam kenyataan dan kejadian kita pada saat sekarang ini.

Dari sejarah kehidupan kaum muslimin pada tiga belas abad yang silam dapat kita ketahui bahwa umat Islam adalah satu-satunya pemilik dan penguasa kemuliaan, keagungan, keberanian, dan kehebatan serta kekuatan. Namun, bila kita beralih dari lembaran sejarah tersebut dan melihat keadaan yang terjadi sekarang ini, maka kaum muslimin berada dalam keadaan yang sangat rendah dan hina, miskin papa tanpa memiliki kekuasaan ataupun kekayaan, tanpa kewibawaan dan kekuatan. Tidak ada kerjasama, persaudaraan, dan kasih sayang, dan tidak lagi memiliki adab yang baik maupun akhlak mulia, juga tidak ada lagi amal perbuatan yang baik. Segala keburukan ada pada diri kita, sedangkan kebaikan sangat jauh.

Musuh-musuh kita sangat bergembira dengan kehinaan kita ini, kelemahan-kelemahan kita diperlihatkan dengan terang-terangan dan kita dijadikan bahan tertawaan. Tidak cukup sampai di situ, bahkan para pemuda kita yang telah mendapat pendidikan gaya baru telah berani mempermainkan asas-asas agama yang suci ini dan menentangnya, bahkan syariat yang suci ini dianggap tidak layak untuk diamalkan, sia-sia, dan tidak ada gunanya. Sungguh mengherankan, kaum yang telah membuat kenyang seluruh dunia, mengapa justru kehausan? Kaum yang telah mengajarkan adab dan kebudayaan, mengapa sekarang justru tidak beradab dan berbudaya?

Para tokoh kaum muslimin pun telah banyak memikirkan hal ini dan telah mencoba dengan berbagai cara untuk memperbaiki keadaan ini. Tetapi, semakin diobati, semakin parah penyakitnya. Sekarang, apabila keadaan sudah lebih buruk dan pada masa yang akan datang mungkin akan semakin buruk, maka jika kita hanya berdiam diri dan tidak berusaha sungguh-sungguh untuk mencegahnya, ini merupakan suatu kesalahan besar. Sangat penting bagi kita sebelum mulai melangkah untuk memikirkan penyebab kehinaan dan keburukan yang terjadi dewasa ini. Usaha untuk memperbaiki keruntuhan dan kegagalan kita telah banyak diucapkan. Dan untuk menyelesaikannya pun sudah banyak cara yang ditempuh, namun setiap cara yang diusahakan selalu tidak sesuai dan tidak mencapai kesuksesan. Sehingga, para pemikir agama telah jatuh dalam keputusasaan dan kecemasan.

Sebenarnya, sampai sekarang pun belum diketahui dengan pasti apa penyakit yang tengah diderita oleh umat ini. Hal-hal yang dijelaskan selama ini sebenarnya bukan merupakan asal penyakit yang sesungguhnya, namun hanya akibat dari penyakit tersebut. Karena kita tidak bertawajjuh terhadap penyakit yang sebenarnya, pengobatan dan perbaikan pun bukan ke atas sumber penyakit, sehingga tidak mungkin dan mustahil dapat memperbaiki akibat-akibat yang sudah terjadi sebelum kita mengetahui dengan benar sumber penyakit yang melanda umat ini dan mengobatinya dengan tepat. Cara perbaikan kita yang asal-asalan merupakan kesalahan yang sangat besar.

Kita mengakui bahwa syariat Islam adalah suatu aturan Ilahi yang sempurna, sebagai sebab kesuksesan di dunia dan akhirat, serta jaminan pada hari Kiamat kelak. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi kita untuk mendiagnosis sendiri penyakit ini, lalu mulai mengobatinya dengan cara kita sendiri. Sangat penting bagi kita untuk berusaha mengetahui penyebab penyakit ini di dalam Al-Quran. Kemudian dengan berpusat pada petunjuk dan hidayat tersebut, kita akan mengetahui cara pengobatannya yang benar, sehingga penyakit tersebut dapat diobati.

Apabila Al-Quran dijadikan sebagai tuntunan amal atau aturan yang sempurna bagi kita hingga hari Kiamat, maka tidak ada alasan bahwa Al-Quran akan membawa kita kepada kegagalan pada saat yang sangat genting ini. Benarlah janji Maharaja langit dan bumi bahwa Dia telah berjanji akan menjadikan orang-orang yang beriman sebagai khalifah di muka bumi.

"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antaramu dan beramal shalih, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka khalifah di muka bumi." (Q.s. An-Nur: 55).

Dan memberi kabar gembira bahwa orang-orang mukmin akan selalu menang melawan orang-orang kafir dan tidak ada teman serta penolong bagi orang-orang kafir.

"Dan jika orang-orang kafir memerangi kalian, pasti mereka akan lari berpaling. Kemudian mereka tidak akan mendapatkan seorang pun teman atau penolong." (Q.s. Al-Fath : 22).

Bantuan dan pertolongan bagi orang-orang mukmin adalah tanggung jawab Allah, sehingga orang-orang mukminlah yang akan selalu menang.

"Dan adalah hak (kewajiban) Kami menolong orang-orang mukmin. Dan janganlah kalian merasa rendah, dan jangan merasa sedih, padahal kalian yang akan unggul jika kalian orang-orang beriman." (Q.s. Ar-Rum: 47, Q.s. Ali Imran: 139).

"Dan kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman." (Q.s. Al-Munafiqun : 8).

Setelah kita merenungkan ayat-ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa kemuliaan, pangkat, keberanian, ketinggian, kemenangan, dan kebaikan kaum muslimin hanya terikat erat dengan sifat keimanan. Apabila telah tercipta hubungan yang kuat dengan Allah dan Rasul-Nya (sebagai maksud iman), maka semua janji di atas akan terwujud. Sebaliknya (semoga Allah melindungi), apabila terputus hubungan dengan Allah dan Rasul-Nya, atau melemah bahkan berkurang; maka kekurangan, kerugian, dan kehinaan yang akan didapat. Hal itu disebutkan dengan jelas dalam ayat berikut ini:

"Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan nasihat menasihati agar mentaati kebenaran dan nasihat menasihati agar menepati ketabahan." (Q.s. Al-'Ashr : 1-3).

Para pendahulu kita telah mencapai kemuliaan yang sempurna, tetapi kita berada dalam kehinaan dan keburukan. Maka dapat diketahui bahwa sifat keimanan mereka telah mencapai derajat yang sempurna, sedangkan kita jauh dari nikmat yang sangat besar itu, sebagaimana sabda Nabi saw.:

"Akan datang suatu zaman bahwa tidak akan tersisa Islam kecuali namanya saja dan tidak pula Al-Quran kecuali tulisannya saja." (Misykat).

Yang patut kita renungkan adalah jika kita benar-benar terhalang dari hakikat Islam yang hakiki sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya -- yang menjadi penyebab kejayaan dan kemenangan kita di dunia dan akhirat-- maka dengan cara apa lagi kita dapat memperoleh kembali nikmat-nikmat yang telah hilang itu? Apakah yang menyebabkan ruh Islam keluar sehingga kita hanya memiliki jasad Islam tanpa ruh? Apabila kita mengkaji kandungan Al-Quran mengenai keutamaan serta ketinggian umat Muhammad saw., maka dapat kita ketahui bahwa umat ini digelari sebagai umat yang terbaik karena memiliki kedudukan yang mulia dan tanggung jawab yang sangat besar.

Maksud diciptakannya dunia adalah untuk mengenal dan mentauhidkan Allah dari segala serikat selain Dia. Hal ini tidak mungkin tercapai jika manusia masih bergelimang dengan kemusyrikan dan dosa-dosa tanpa menggantinya dengan kebaikan. Untuk mencapai maksud tersebut, diutuslah ribuan Nabi, sehingga untuk menyempurnakan maksud tersebut diutuslah Nabi terakhir; Rasulullah saw. , sesuai dengan firman-Nya:

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku relakan Islam menjadi agamamu." (Q.s. Al-Maidah : 3).

Sekarang, karena maksud telah sempurna dan setiap kebaikan serta kejahatan telah dijelaskan, dan suatu aturan amal yang sempurna telah diberikan, maka silsilah risalah dan kenabian yang pada mulanya diberikan kepada para Nabi dan Rasul, telah dibebankan kepada umat Muhammad saw. hingga hari Kiamat.

"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan kalian beriman kepada Allah." (Q.s. Ali Imran: 110).

"Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.s. Ali Imran: 104).

Dalam ayat pertama disebutkan bahwa umat terbaik diperuntukkan bagi mereka yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sedangkan ayat berikutnya disertai pengkhususan bahwa hanya mereka yang menunaikan tugas dan tanggung jawab yang akan mendapatkan kebahagiaan dan kejayaan. Bahkan tidak hanya itu, dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka yang tidak menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran wajib mendapatkan laknat dan adzab Allah swt..

"Telah dilaknat orang-orang kafir Bani Israil dengan lisan Dawud a.s. dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sungguh sangat buruklah apa yang selalu mereka perbuat." (Q.s. Al-Maidah : 78-79).

Ayat ini dijelaskan dengan keterangan hadits:

Dari Abdullah bin Mas'ud r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya keadaan umat sebelummu, apabila di antara mereka ada yang berbuat dosa (kemaksiatan), datanglah seseorang melarang seraya memperingatkan mereka dengan berkata, 'Wahai kamu, takutlah kepada Allah.' Pada hari-hari berikutnya, orang yang melarang itu pun bergaul, duduk, makan-makan dan minum bersamanya, seakan-akan ia tidak pernah melihatnya berbuat dosa pada hari sebelumnya. Ketika Allah menyaksikan pergaulan mereka, maka Allah menyatukan hati mereka. Kemudian Allah melaknat mereka atas lisan (nabi-Nya) yaitu Dawud dan Isa bin Maryam. Demikian itu karena mereka mentaati Allah dan sudah melampaui batas. Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Kalian harus menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemaksiatan, memegang tangan orang jahil dan memaksanya ke arah kebenaran. (Kalau tidak), maka Allah akan menyatukan hatimu dengan hati mereka. Kemudian Allah melaknatmu sebagaimana Dia melaknat mereka (umat-umat sebelummu)." (Abu Dawud, Tirmidzi - At-Targhib).

Jarir bin Abdullah r.a. berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Tidaklah seseorang berada di suatu kaum, ia berbuat maksiat di tengah mereka, dan mereka mampu untuk mencegahnya, namun mereka tidak mencegahnya, melainkan Allah akan menimpakan kepada mereka siksa sebelum mereka mati." Yakni mereka akan ditimpa berbagai musibah di dunia. (Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Ashbahani - At-Thargib).

Diriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Kalimat Laa ilaaha illallaah akan selalu memberi manfaat bagi siapa saja yang mengucapkannya dan akan menghindarkan mereka dari adzab dan bencana selama mereka tidak mengabaikan hak-haknya." Sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud mengabaikan hak-haknya?" Jawab beliau, "Kemaksiatan kepada Allah dilakukan secara terang-terangan, tetapi tidak dicegah dan diubah olehnya." (Al-Ashbahani - At-Tharghib).

Aisyah r.ha. meriwayatkan, "Pada suatu saat, Rasulullah saw. masuk ke rumahku, dan aku mengetahui dari raut wajah beliau bahwa sesuatu telah terjadi pada beliau. Beliau tidak berbicara kepada seorang pun. Setelah berwudhu, beliau masuk ke dalam masjid. Aku pun merapatkan (telinga) ke dinding kamarku agar dapat mendengar apa yang beliau sabdakan. Beliau duduk di atas mimbar. Setelah memuji Allah, beliau berkhutbah, 'Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah berfirman kepada kalian, 'Suruhlah manusia berbuat kebaikan dan cegahlah mereka dari kemungkaran, sebelum (datang masanya) di mana kalian berdoa, tetapi doa kalian tidak dikabulkan; kalian meminta kepada-Ku, tetapi Aku tidak akan memberimu, dan kalian memohon pertolongan dari-Ku, tetapi Aku tidak akan menolongmu.'" Beliau pun tidak menambah khutbahnya hingga beliau turun (dari mimbar)." (Ibnu Majah, Ibnu Hibban - At-Targhib).

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan tercabut darinya kehebatan Islam. Dan jika mereka sudah meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar, maka mereka akan terhalang dari keberkahan wahyu. Dan jika umatku sudah saling menghina, maka jatuhlah mereka dari pandangan Allah." (Hakim, Tirmidzi - Durrul Mantsur).

Jika hadits-hadits di atas direnungkan, maka dapat diketahui bahwa meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar akan menyebabkan laknat dan murka Allah swt.. Dan apabila umat Muhammad saw. meninggalkan tugas ini, maka mereka akan ditimpa banyak musibah, kesusahan, kehinaan, dan akan terjauh dari nushrah ghaibiyah dari Allah swt. dalam setiap masalah mereka. Penyebab dari semua ini karena kita tidak mengenal apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita sebagai umat Muhammad saw., dan sebagai akibat dari kelalaiannya dari tanggung jawab ini. Inilah penyebabnya, mengapa Rasulullah saw. mendudukkan amar ma'ruf nahi mungkar pada bagian iman yang istimewa dan diikrarkan kelazimannya. Sedangkan jika kita meninggalkannya, itu menunjukkan kelemahan iman serta kemalasan kita, sebagaimana disebutkan di dalam hadits Abu Said r.a. berikut ini:

Dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a., ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lidahnya. Jika tidak mampu, maka bencilah dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman." (Muslim,Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa'i - At-Targhib).

Ringkasnya, jika membenci kemaksiatan adalah derajat yang terendah dan menunjukkan iman yang terlemah, demikian pula tingkat pertama adalah kesempurnaan dakwah sebagai kesempurnaan iman. Untuk lebih jelasnya disebutkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Mas'ud r.a.:

"Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus sebelumku, melainkan ia memiliki pengikut dan para sahabat pilihan dari umatnya yang setia kepada sunahnya dan mengikuti perintahnya. Yaitu mereka menjaga syariat Ilahi sebagaimana keadaan dan bentuk yang diajarkan oleh Nabi mereka, dan tidak membiarkan ada perbedaan sedikit pun. Kemudian datanglah setelah mereka masa yang penuh fitnah dan kerusakan, sehingga muncullah satu generasi berikutnya yang membicarakan apa yang tidak mereka amalkan, beramal tetapi bukan yang diperintahkan. Barangsiapa bersungguh-sungguh (mencegah mereka) dengan tangannya, maka ia seorang mukmin, barangsiapa bersungguh-sungguh (mencegah mereka) dengan lidahnya, maka ia seorang mukmin, dan barangsiapa bersungguh-sungguh (mencegah) mereka dengan hatinya, maka ia juga seorang mukmin. Sedangkan setelah itu tidak ada lagi derajat iman walau hanya sebesar biji sawi." (Muslim).

Keutamaan dan pentingnya dakwah ini juga telah disebutkan oleh Imam Ghazali rah.a., ia berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa amar ma'ruf nahi mungkar adalah inti yang paling agung dalam agama, sesuatu yang paling penting, yang demi tugas tersebut Allah mengutus seluruh Anbiya a.s.. Apabila penyebarannya dihentikan, ilmu dan amalnya ditinggalkan; tentu kenabian akan sia-sia, keagamaan akan melemah, sifat bermalas-malas akan menyebar, jalan-jalan kesesatan akan terbuka, kebodohan akan merajalela, kerusakan akan terjadi di dalam setiap pekerjaan, akan timbul perpecahan di antara manusia, perkampungan, dan negara, sehingga akan hancur dan binasa seluruh makhluk. Sedangkan mereka tidak menyadari kehancurannya kecuali pada hari Kiamat ketika dibawa dihadapan Allah swt.. Dan apa yang kita khawatirkan tampaknya akan benar-benar terjadi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Tanda-tanda ilmu dan amalnya tiang ini telah terhapus. Keberkahan serta hakikatnya pun telah tiada. Sikap meremehkan dan menghina orang lain telah mengakar di dalam hati. Hubungan hati dengan Allah swt. telah terhapus. Dan manusia bebas mengikuti hawa nafsu dan syahwat sebagaimana hewan melata. Sulit didapati seorang mukmin yang benar demi agama Allah yang tidak terpengaruh dengan celaan orang-orang yang mencelanya. Dengan demikian, barangsiapa yang berusaha menghilangkan kehancuran ini dan berusaha menghidupkan sunnah Rasulullah saw., dan ia berdiri memikul beban ini, bangkit untuk mengembannya serta menyingsingkan lengan untuk menghidupkannya, maka di antara manusia, dialah pemilik kemuliaan dan orang pilihan."

Kata-kata Imam Ghazali rah.a. yang menerangkan pentingnya dan perluan kerja ini sebenarnya telah cukup sebagai peringatan untuk membangunkan dan menyadarkan kita.