Rabu, 30 November 2011

Kemewahan Tidak Selalunya Menyenangkan Dan Mendamaikan


Banyak manusia mengartikan bahwa kebahagiaan hidup akan terasa sangat sempurna saat kelezatan kemewahan itu sudah berada digenggaman. Ketika kemewahan hadir,maka kekayaan, kehormatan, dan kesenangan pun menglingkari hari-harinya. Ya, memang begitulah sifat manusia yang pasti menginginkan segalanya tercukupi, segalanya serba tersedia dan lengkap untuknya.

Namun sayangnya, banyak diantara mereka yang menghabiskan hari -harinya dengan begitu saja hanya untuk berpeluh demi menggapai semua itu. Bahkan ada yang sampai menghalalkan segala cara demi mengumpulkan harta atas rujukan gengsi dan nafsu mereka. Perlombaan mereka sungguh hebat dan dahsyat mulai dari yang menggelikan hingga yang begitu mengerikannya. Bahkan kemewahan hidup bisa menggiring manusia bertingkah polah lebih hina daripada hewan.

...Atas rujukan gengsi dan nafsu, kemewahan menjadikan mereka sebagai peserta "Perlombaan" yang sungguh hebat dan dahsyat mulai dari yang menggelikan hingga yang begitu mengerikannya. Tak jarang pula, kemewahan menggiring manusia bertingkah polah lebih hina daripada hewan...

Sebuah kemewahan nyatanya menjadi magnet yang sangat ampuh dalam memberikan godaan dan melalaikan. Salah satunya adalah lewat penghormatan. Kemewahan memberikan mereka citra dan kebanggan tersendiri bagi para pemiliknya. Orangpun akan dianggap memandang segan kepadanya. Namun beberapa manusia tidak menyadari, betapa semunya semua itu. Penghormatan yang mereka dapatpun akan segera hilang seiring dengan terkikisnya kemewahan hidup mereka. Ketika diri tak lagi memiliki apapun, maka siapa yang akan memandang dan mengagungkannya. Sungguh sangat menyedihkan sekali.

Kemewahan telah menghipnotis mereka dalam tidur lelap diatas kasur yang empuk dan nyamannya ruangan, sehingga sholat malam merekapun berlalu begitu saja. Atau malah sebaliknya, kemewahan telah mencuri waktu berharga dalam istirahat mereka lewat insomnia. Mereka kesulitan bahkan untuk hanya sekedar tidur gara-gara takut kekayaannya diambil dicuri.

...Kemewahan telah mengisolasi mereka dalam tingginya pagar rumah dan sempitnya hati, sehingga mereka merasa sudah sangat cukup dengan diri sendiri dan melupakan silaturahmi. Kasihan sekali, karena faktanya mereka adalah sendiri, dan hanya sendiri. Hanya ditemani harta mereka yang hanya sebuah benda mati..

Kemewahan telah mengisolasi mereka dalam tingginya pagar rumah dan sempitnya hati, sehingga mereka merasa sudah sangat cukup dengan diri sendiri dan melupakan silaturahmi. Kasihan sekali, karena faktanya mereka adalah sendiri, dan hanya sendiri. Hanya ditemani harta mereka yang hanya sebuah benda mati.

Kemewahan telah menghabiskan investasi yang begitu berharga dalam hidupnya, waktu. Karena kemauan nafsu untuk terus mengumpulkan harta, maka jatah umur merekapun habis tanpa mereka menyadarinya. Waktu, sesuatu yang jika telah pergi tak akan pernah bisa kembali, dan sangat disayangkan ketika mereka sadar di akhir usia bahwa mereka telah menukar sikap mereka tersebut dengan sesuatu yang justru sangat lebih berharga dari kemewahan yang mereka perjuangkan. Kebersamaan, sikap rendah hati, dan kasih sayang nyatanya tidak terbeli oleh harta mereka.

...Mendewakan duniawi dan sebagainya hanyalah menjadikan kita budak. Ya, budak atas nafsu dan keinginan yang tidak akan pernah ada batasnya...

Lalu mengapa kita lalu tidak mengubah pola pikir kita bahwa kekayaan adalah bukan segala-galanya.Mendewakan duniawi dan sebagainya hanyalah menjadikan kita budak. Ya, budak atas nafsu dan keinginan yang tidak akan pernah ada batasnya.Ketika manusia sudah dapat memenuhi sebuah jurang dengan kekayaannya, maka pasti mereka akan menginginkan jurang yang lain untuk terisi dengan hal yang sama.

Maka kesyukuran menjadikan kita pribadi yang bijak dalam keadaan kita bergelimang kemewahan atau kekurangan sekalipun. Ketika kita memiliki mobil,kita sangat bersyukur dibanding melihat yang berpanas-panas naik motor.Ketika naik motor kita bersyukur dibanding orang yang berpeluh karena mengayuh sepeda,Ketika naik sepeda kita bersyukur daripada orang yang berjalan kaki.Ketika berjalan kaki,kita bersyukur daripada melihat orang yang naik kursi roda dan didorong oleh seseorang dibelakangnya.hmmm..itulah hidup.

...Ada kalanya hedonisme itu menyenangkan,tetapi lebih menyenangkan lagi jika kita dapat mensyukuri karunia NYA dan dapat hidup sederhana nisacaya hal itu yang akan lebih kekal. Kehidupan hedonisme terkadang sangat mengenakkan untuk beberapa saat,tapi yakinlah hal itu takkan berlangsung lama....

Memang segala- galanya butuh uang, tapi uang bukanlah segala-galanya. Dan ternyata banyak hal didunia ini justru terlalu banyak hal yang tidak bisa dibeli walaupun kita bergelimang kemewahan. Dan ternyata juga, kesyukuran atas apapun yang Allah berikan kepada kita menjadikan kita sangat tercukupi dan damai. Jangan berfikir bahwa hedonisme itu buruk dan anti hedonisme itu yang terbaik. Ada kalanya hedonisme itu menyenangkan,tetapi lebih menyenangkan lagi jika kita dapat mensyukuri karunia NYA dan dapat hidup sederhana nisacaya hal itu yang akan lebih kekal. Kehidupan hedonisme terkadang sangat mengenakkan untuk beberapa saat,tapi yakinlah hal itu takkan berlangsung lama.

Bahasa Kedamaian Hati Manusia


Bahasa seperti apa yang dapat menjadi nasehat untuk pengobat rasa sakit hati ketika sudah sampai dipuncaknya? Ketika kita dihadapkan pada sebuah pengkhianatan manusia yang nyata- nyata sudah kita titipkan kepercayaan kepadanya.

Logika seperti apa yang bisa menjelaskan tentang kesedihan manusia ketika telah melingkupi kehidupannya. Sesuatu yang disayang, dijaga dan dirawatnya...suaminya... hilang begitu saja. Tiba- tiba seperti mimpi, dia dihadapkan pada kenyataan bahwa bukan saja kita harus kehilangan, tapi kita juga harus berbagi. Perasaan wanita yang memang sangat mendominasi pikirannya akan mengatakan, bahwa ini sangat tidak masuk akal. Dalam pikirannya, pernikahan adalah tentang kamu dan aku, kita, dan bukan dia. Bagaimana kiranya sebuah rumah tangga bisa bahagia ketika ada orang ketiga yang memasukinya?

Kalimat apa yang bisa menyegarkan kembali kepedihan seorang ibu yang harus kehilangan anaknya? Anak yang begitu disayang dan dikasihinya terbujur kaku didepan matanya terbungkus dalam kain kafan, dan siap untuk berkalang tanah.

Bahasa manusia seperti apapun tak dapat menjangkau dan menampung semua itu. Kesedihan, sakit hati dan kehilangan sering kali secara nyata menghilangkan akal sehat manusia. Hal itu pula yang menghapus kalimat- kalimat arif dalam pikiran dan hatinya sebagai sarana pelipur dukanya.

Dalam keterpurukan seperti itu, ternyata masih ada sedikit asa yang membahagiakan. Bahasa iman dapat merangkulnya kembali menuju kebenaran dan logika yang menentramkan. Bahasa iman ternyata adalah melampaui batas nalar berpikir manusia. Karena iman kita menjadikan sesuatu yang sangat tidak logis menjadi logis, karena iman kita tetap tak bergeming untuk tetap berjalan menggerakkan sendi kehidupan walaupun menurut orang lain hal itu sangatlah aneh atau tidak lazim. Bahasa iman bukan tentang selera, tapi tentang pengabdian kepada yang Maha hidup dan pelepasan ego manusia.

Tapi ajaibnya, iman tidak menjadikan manusia terisolasi dalam dunia aneh yang sempit. Iman membawa kita justru kepada sebuah kedamaian.Dengan iman manusia mengerti sesungguhnya hakekat kebahagiaan dan pengabdian. Ketika kita berlari menjauhinya, bisa saja kita bertahan, tapi sampai kapan? Sesuai fitrahnya, hati manusia akan selalu berkata dan berjalan untuk selalu dekat dengan tuhannya, kecuali bagi hati yang keras dan atau dikunci mati oleh Allah Subhanahu Wata`ala.

Bahasa iman mengantarkan kita pada pemikiran di luar kotak masalah tersebut. Bahasa iman menawarkan sudut pandang yang lain dalam melihat sebuah problema hidup. Tapi pada akhirnya, bahasa iman tetap berakhir di stasiun kedamaian. Karena imanlah kita mengenal dan mempercayai Allah, dan kepada Allah lah semuanya berasal dan akan kembali.

Manusia akan terasa terbebas dari beban, dan dengan enteng bernafas dan melangkah dimuka bumi ini, ketika dia punya iman. Semua masalah dan kepenatan dunia hanyalah sebagai pembelajaran penaikan level derajat kemuliaannya. Hatinya begitu luas walaupun berada dalam tempat yang sempit. Sebagai akibatnya ketenangan dan ketajaman berpikir serta mengolah rasapun didapatnya. Manusia berbondong- bondong mengasihinya, dan rejekipun mengalir kepadanya. Lalu dimana letak kejelekan bahasa iman tersebut sehingga kita tidak lagi mengakrabinya kini?

Kecantikan Wanita Itu Bernama Pengabdian


Ketika seorang wanita memasuki gerbang pernikahan, maka kehidupan "normalnya" akan sedikit mengalami perubahan. Bagi yang sebenarnya belum siap, maka seiring dengan berjalannya waktu,mereka akan merasa bahwa banyak hal yang akan atau telah terampas selama mereka menjadi seorang istri dan pendamping. Namun bagi yang melangkah dengan ilmu dan dengan dasar beribadah dengan Allah, betapapun berat jalan ke depannya, hal itu akan dilalui dengan tenang dan ikhlas.

Pernahkah kita melihat seorang istri yang menyuguhkan wajah kurang sopan setelah mengetahui hal yang dilakukannya kurang mendapat penghargaan dari suami?. Ternyata disinilah cara cantik Allah dalam mengajarkan indahnya keikhlasan kepada para wanita. Keikhlasan dalam pengabdian. Dan hasil akhirnya tergantung para istri itu sendiri, tetap bersabar, ikhlas dan tawakkal, ataukah memilih jalan emosi dan perasaannya saja. Namun, satu hal yang pasti, Allah adalah yang maha membalas atas pilihan hidup yang kita jalankan.

Subhanallah, pernahkah kita berpikir betapa indah cara mendidik Allah yang tetuang dalam sebuah pengabdian kepada para suami kita?. Tidak bisa kita pungkiri bahwa para laki laki, adalah pemimpin para wanita. Namun, walaupun beliaunya adalah seorang pemimpin, mereka tetaplah manusia biasa. Para suami bukanlah seorang tanpa cela, adakalanya pula mereka berbuat kesalahan yang sama dengan yang dilakukan para istri. Bukankah tiada yang sempurna kecuali Allah subhana wata'ala. Jika sebuah kekurangan dalam diri suami tersebut disikapi dengan kehangatan sikap sebagai sebuah pengabdian sang istri, maka hal tersebut justru menjadikan Puncak dan sekaligus landasan bagi segala daya tarik seorang istri.

Ketika suami yang melihat ketekunan istrinya menjalankan ibadah dan mengikhlaskan segala cinta, aktifitas dan kerja-kerjanya semata untuk mengharapkan keridhoan Ilahi, tentu saja akan semakin menghangat hatinya, dan keinginan untuk menjadi lebih baik dalam segala halpun InsyaAllah akan semakin menguat. Dan, yang terindah dari semua itu, sang istri akan menggapai kemuliaan dirinya di hadapan Allah Penguasa Alam Semesta dan di hadapan segenap makhlukNya.

Ternyata memanglah benar, mengabdi bukan berarti membungkam kekuatan wanita. Lewat sikap ini, wanita menunjukkan bahwa dia bukan hanya mahluk yang memiliki kelembutan hati dan tutur serta sikap santun, akan kekuatan tersembunyi yang luar biasa.

Pahit getir kehidupan serta kepedihan seringkali dihadapi istri dalam mendampingi suami. Tidak jarang pula cobaan-cobaan tersebut terkadang serasa di luar batas kesanggupannya sebagai individu untuk menghadapinya, namun ketika pengabdian sudah terpatri dalam hati, maka siapapun akan terperangah, bagaimana mahluk yang kita pandang lemah lembut dan ringkih, wanita, bisa menghadapi semua itu.

Dalam pengabdian, juga terkandung makna menutupi aib dan atau kekurangan pasangan kita.Susah memang untuk tetap tersenyum menghadapi kenyataan yang mungkin bahkan jika kekurangan suami kita telah diketahui begitu banyak manusia di luar sana.

Memanglah tidak semudah mengatakan untuk selalu tersenyum sambil menceritakan kebaikan-kebaikan suami kita sedangkan disisi lain kitapun mengetahui segala keburukannya. Namun sekali lagi, jika hal tersebut disikapi dengan kehangatan sikap sebagai sebuah pengabdian sang istri, maka hal tersebut justru menjadikan Puncak dan sekaligus landasan bagi segala daya tarik seorang istri.

Bukan main ternyata akhlak yang dimiliki wanita yang benar-benar mengabdi pada suami mereka atas dasar beribadah kepada Allah subhanahu wata'ala.

Kamis, 24 November 2011

Karena Istri Adalah Wanita Yang Ingin Dipahami


Banyak dari suami yang belum mengetahui atau bahkan tidak mengerti tentang bagaimana seharusnya memperlakukan istri sebagai wanita. Sebagian lain belum tahu bagaimana istri ingin diperlakukan. walaupun sebagian dari mereka merasa cukup tahu tentang teori-teori komunikasi dengan lawan jenis. Intinya wanita itu sangat kompleks dan sulit dipahami, tapi di lain sisi malah wanita yang menganggap laki-laki lah yang sebenarnya sulit untuk dipahami.

Suami adalah makhluk lelaki dengan tipikal yang tidak suka dan tidak terbiasa berbasa-basi. Kalau pun terpaksa harus melakukannya, akan sangat kentara sekali kalau mereka sedang berbasa-basi. Bagi mereka ketika seseorang mengatakan ‘tidak’ berarti ‘tidak’ dan ‘ya’ berarti ‘ya’. Suami tidak terbiasa "bermain-main" dengan ‘bahasa simbol’. dan atau jika mereka mengerti dengan ’simbol’ tersebut, mereka akan tetap mengartikannya secara harfiah dan mencukupkan diri dengan arti yang harfiah itu.

Sebaliknya, bukan rahasia lagi, bagi sebagian suami, istri sebagai wanita terkesan berbelit-belit dalam menyelesaikan masalah, karena seringkali melibatkan perasaan. Hal-hal yang menurut suami sebetulnya sederhana, seringkali jadi ribet. Belanja yang oleh para istri lakukan hanya bisa dilakukan 5 menit, bisa jadi 50 menit. Bahkan terkadang disertai dengan "adegan" tawar menawar yang lama. Atau Gara-gara salah ucap, si istri bisa seharian ngambek, meskipun suami sudah minta maaf. Istri sebagai wanita juga terkesan lebih romantis dengan mengingat hari hari special bahkan sampai detail tanggalnya dan kejadian yang waktu itu terjadi.

Satu lagi bahasa wanita yang sangat terkenal dan terlampau sulit untuk dipahami bagi sebagian suami , yaitu Menangis. Bahkan ada sebagian berpendapat bahwa menangis adalah salah satu bentuk egoisme wanita. Marah sedikit, nangis. Kurang suka sesuatu, nangis. Kalau sedih, pasti nangis. Tidak setuju, nangis. Tersinggung sedikit, nangis. Malu sedikit, nangis. Bahkan, dalam keadaan bahagia pun juga "terharu" (baca:menangis juga). Namun yang mengherankan sebagian besar suami takluk oleh tangisan semacam ini, luar biasa. Bisa jadi suami akan memilih salah satu dari pilihan berikut ini : mengalah dan berusaha merayu istrinya tersebut, atau…bingung! Jika suami yang meninggalkan istri menangis sendirian, bisa jadi dia termasuk kategori yang kedua, suami yang bingung. Atau mungkin ada satu lagi yang akan mereka lakukan membelikan sesuatu sebagai hadiah supaya istrinya tidak menangis lagi.

Memang terkadang wanita tidak mudah untuk dimengerti. Entah karena kemisteriusannya. Diam ataupun tidak, keras atau lembut, wanita tetap sulit dimengerti. Namun seperti sebuah teori perang " pahami musuhmu, sehingga kau tau kelemahannya" Begitu juga dalam memahami istri, suami diharapkan harus lebih dulu mengerti tentang karakter, sifat dan kebiasaan istri

Memang terkadang wanita tidak mudah untuk dimengerti karena kemisteriusannya. Diam ataupun tidak, keras atau lembut, wanita tetap sulit dimengerti. Bahkan bagi mereka yang sudah menikah seorang istripun masih selalu meninggalkan misteri. Akan lebih baik bagi suami jika hal ini diambil sisi positifnya saja, karena justru di situ gregetnya berumah tangga...menggali sedikit demi sedikit. Seperti sebuah teori perang " pahami musuhmu, sehingga kau tau kelemahannya". Begitu juga dalam memahami istri, untuk memahaminya suami diharapkan harus lebih dulu mengerti tentang karakter, sifat dan kebiasaan istri itu sendiri, karena sebagai suami, mau tidak mau akan sangat membutuhkan pendamping. Untuk itu suami harus mencoba untuk bersabar atas segala "kelemahan" istri sebagai makhluk wanita yang berasal dari tulang rusuk lelaki.

Karakter tulang rusuk ini sendiri memang unik. Dibiarkan ia akan bengkok alias melengkung. Ditarik terlalu keras ia akan patah. Cukup pahami istri secara sederhana, dan gunakan bukan cara dalam kaca mata wanita. Gunakan saja cara lelaki. Tak perlu memikirkan sesuatu secara berlebihan karena jika tidak tepat dengan apa yang dipikirkan istri, maka akan terjadi kesalahpahaman yang begitu jauh antara suami dan istri sedangkan jika kita memikirkan secara sederhana, akan mudah memperbaiki kesalahan yang mungkin terjadi.

Seluruh kesulitan suami saat menghadapi beratnya persoalan memahami istri akan hilang seketika begitu ia mempersembahkan ketulusan dan kesucian cintanya. Maksudnya, sejumlah ketidakmengertian akan segera terkalahkan manakala cara pandang yang digunakan tidak sekedar ingin mengerti dan ingin memahami semata. Justru kerelaan berkorban, berbagi serta kemauan memuliakan istri akan meluluhkan kekakuan hubungan yang terjalin. Tetaplah mencintai istri dengan apa adanya, tulus dan penuh kesucian. Karena jika seorang istri diperlakukan seperti itu, maka nanti pasti akan terbuka pintu-pintu perasaan, pikiran, keinginan serta kesetiaan pada para suami, dan itu akan terjadi dan dilakukan oleh istri dengan penuh suka rela.

source : http://usahatasiman.blogspot.com/2011/09/karena-istri-adalah-wanita-yang-ingin.html

Suami Realistis Idaman Wanita


UNTUK dicintai suami, ada yang bilang bahwa seorang istri harus pandai memasak dan berdandan. Apakah itu artinya para istri yang tak pandai memasak apalagi berdandan tak bisa mendapatkan cinta suami? Hmm…nanti dulu. Idealnya seorang istri memang bisa memasak dan berdandan untuk suami, tapi apabila tak bisa keduanya, apakah seorang perempuan tak bisa menjadi istri yang baik di mata suami?

Bagi suami yang suka memanjakan selera makan, pandai memasak mungkin menjadi ‘keharusan’ bagi istrinya. Begitu juga bagi para suami yang mempunyai kecenderungan melirik ‘barang bagus’ di jalan, pandai berdandan juga menjadi hal yang mutlak bagi istrinya. Tapi di luar kedua kepandaian di atas, tidak adakah kepandaian lain yang bisa dihadirkan seorang istri pada suaminya?

ADA. Tidak semua laki-laki terpesona oleh kepandaian seorang perempuan memasak atau berdandan. Ada juga sosok laki-laki yang mencintai istrinya apa adanya dengan segenap potensi yang ada pada diri si belahan jiwa. Laki-laki ini tak menuntut si istri untuk pintar memasak apalagi berdandan. Tipe suami jenis ini sudah merasa bersyukur dengan keberadaan istri yang mampu menjadi partner diskusi dan tempat berbagi yang asyik.

….Sosok laki-laki yang bersyukur dan mencintai istri apa adanya dengan segenap potensi yang ada pada diri si belahan jiwa….

Suami jenis ini tak meributkan rasa makanan yang ada. Biarpun sayur yang disajikan istri rasanya terlalu asin atau bahkan terlalu manis, ia selalu tersenyum dan mengucap terima kasih. Bilapun tak menyukai masakan jenis tertentu, ia tak mencela. Ia selalu menjaga perasaan istri dan berusaha membahagiakan semampunya.

Ia tak pernah menuntut istri berdandan karena menurutnya si istri sudah terlihat cantik dengan pesona shalihah yang ada pada dirinya. Tampil alami tanpa riasan membuatnya semakin cinta pada istri karena di luar sana, ia sudah muak dengan tebalnya riasan para wanita. Lagipula bukan karena riasan, dandanan atau ‘make up’ itu yang membuatnya mencintai si istri, tapi keutuhan pribadi sebagai seorang muslimah shalihahlah yang telah menawan hatinya. Jadi cukup itu saja yang ia mau dari perempuan yang telah menjadi belahan jiwanya itu.

….Laki-laki shalih yang menjadikan Muhammad sebagai cermin hidupnya, akan memuliakan perempuan terutama istrinya dengan seluruh kelebihan dan kekurangannya….

Jadi, untuk para muslimah yang saat ini masih belum terampil memasak dan berdandan, tak usah berkecil hati. Masih ada stock laki-laki shalih yang tak menuntut pada istri. Sebaliknya, ia menghargai sekali keistimewaan pada diri pasangannya yang itu tidak selalu berupa kepandaian memasak dan berdandan. Kualitas seperti ini hanya ada pada diri laki-laki yang menjadikan Muhammad sebagai cermin hidupnya. Laki-laki shalih yang akan memuliakan perempuan terutama istrinya dengan seluruh kelebihan dan kekurangannya. Berdoa saja semoga di antara kalian mendapat salah satu dari laki-laki (suami) idaman ini. Insya Allah

Panggilan Sepenuh Cinta Untuk Kekasih Hati


“Suami suka memanggil saya dengan panggilan Nil, Nil,” kata salah seorang teman.

“Artinya apa tuh, Mbak?” tanya saya polos.

“Singkatan dari Kuda Nil, hehehe….” katanya sambil tertawa-tawa.

Sobat muslimah, nama panggilan bagi seseorang bukanlah perkara sepele. Apalagi di antara pasangan suami istri, nama panggilan adalah ungkapan hati. Tak jarang, nama panggilan ini jauh lebih terkenal daripada nama asli seseorang. Apa jadinya nilai diri kita dan pasangan apabila ada orang yang tahu atau bahkan ikut memanggil kita dengan nama binatang? Belum lagi apabila ada anak yang masih balita, tentu dia akan keheranan ibunya dipanggil dan disamakan dengan kuda Nil yang buruk rupa itu.

Mungkin bukan sesuatu yang serius, begitu sebagian orang berpikir tentang nama panggilan bagi suami atau istri. Bahkan beberapa orang menjadikan nama panggilan ini sebagai bahan olok-olok saja. Tapi pernahkah kita berpikir, bagaimana perasaan pasangan ketika kita dengan cueknya memanggilnya dengan seenak sendiri? Bagaimana pula bila nama panggilan binatang itu ditimpakan pada yang memanggil sendiri?

Perempuan setelah menikah, memang berpotensi untuk mekar kondisi tubuhnya. Tapi itu bukan alasan bagi seorang suami untuk ‘melecehkan’ istrinya dengan panggilan nama hewan atau nama apapun yang tidak pantas disematkan untuk ibunya anak-anak. Dari pihak perempuan sendiri, seharusnya dia bisa mengajukan keberatan apabila suami sudah kelewatan.

Dalam sebuah pernikahan, perempuan bukan pihak yang kalah atau dikalahkan. Masing-masing pasangan antara suami dan istri adalah partner dalam kebaikan. Begitu juga dalam hal memanggil nama pasangan, alangkah jauh lebih indah apabila julukan yang dipilih adalah sesuatu yang indah pula.

….pasangan suami dan istri adalah partner dalam kebaikan. Dalam memanggil nama pasangan, lebih indah apabila julukan yang dipilih adalah sesuatu yang indah pula….

Rasulullah memanggil Aisyah dengan panggilan ‘Humairah’ yang artinya kurang lebih ‘yang berpipi kemerah-merahan’. Itu karena Aisyah mudah sekali merasa malu dan bila malu maka pipinya akan langsung bersemu merah merona. Cantik sekali.

Salah seorang teman dipanggil oleh suaminya dengan panggilan ‘Inez’ padahal namanya sama sekali bukan itu. Usut punya usut ternyata suaminya mencomot kosakata entah darimana yang arti dari Inez itu adalah baik hati. Suaminya memuji istrinya dengan nama panggilan itu karena meskipun dia laki-laki miskin dan kekurangan, pengabdian istri padanya tidak pernah kurang. Makanya dia menganugerahi si istri dengan panggilan khusus tersebut. Hmm…so sweet ya.

Lalu ada juga seorang teman yang dipanggil oleh suaminya ‘Beauty’ atau si cantik. Lucunya teman ini kadang suka ketawa-ketiwi sendiri bila suami memanggilnya begitu karena dia sendiri merasa jauh dari cantik yang kategori sinetron. Tapi apa pun itu semua, ada satu hal yang bisa diambil hikmahnya di sini yaitu dalam hal memberi nama julukan pada pasangan, alangkah jauh lebih enak didengar telinga dan dirasakan oleh hati apabila nama indah pula yang diberikan. Karena dalam nama, sesungguhnya ada makna di sana. Dan semoga makna sayang dan cinta yang tergambar di sana, ketika seorang suami memanggil istrinya. Wallahu a’lam.

Dakwah Jalan Kaki Pemuda Ethiopia

Hidayatullah.com–Puluhan pemuda Ethiopia berjalan kaki ratusan kilometer untuk berdakwah di berbagai tempat. Dalam pengembaraannya, mereka mampir di masjid-masjid untuk mengajarkan orang tentang Islam.

Ethiopia, yang sebagian wilayahnya kini dilanda kelaparan, merupakan salah satu negara di Afrika yang paling padat penduduknya. Populasi negara itu mencapai 80 juta orang. Muslim dan penganut Kristen sampai saat ini bisa hidup berdampingan.

Meskipun data resmi menyebutkan bahwa warga Ethiopia yang menganut agama Islam hanya sekitar 35 persen, tapi diyakini jumlah Muslim saat ini sudah melebihi 50 persen.

Kenaikan jumlah pemeluk Islam itu tidak lepas dari usaha para pemuda yang berdakwah dari satu tempat ke tempat lain dan menjelaskan Islam di masjid-masjid.

Para pemuda yang menyebut diri mereka “pengembara” itu, semakin menggiatkan dakwahnya pada bulan Ramadhan ini.

Mereka melaksanakan shalat lima waktu bersama warga setempat di daerah yang dikunjungi. Para pengembara itu juga mengajarkan tentang Islam kepada para pemuda.

Mereka pun tidak sungkan melakukan dialog dengan warga yang beragama lain.
Tidak diketahui berapa jumlah pasti para pemuda pengembara itu. Namun, menurut data sebuah lembaga swadaya masyarakat, jumlah mereka sekitar 250 orang pada hari-hari biasa dan melonjak jadi 1.000 pada bulan Ramadhan.*

sumber : hidayatullah

Berjalan Kaki Ratusan Kilometer, Pemuda Ethiopia Dakwahkan Agama Islam

Puluhan anak muda di Ethiopia selama bulan suci Ramadhan kali ini melakukan kegiatan positif dengan mengajarkan masyarakat tentang kebenaran Islam.
Para anak muda ini melakukan perjalanan kaki selama ratusan kilometer dan memberikan pendidikan agama Islam di masjid-masjid yang mereka singgahi, koresponden AA melaporkan Kamis kemarin (11/8).

Kristen dan Muslim hidup tanpa masalah di Ethiopia, salah satu negara yang paling padat di Afrika dengan jumlah penduduk sekitar 80 juta jiwa.

Meskipun menurut tingkat pendaftaran formal Muslim di Ethiopia hanya berkisar 35 persen, namun dinyatakan bahwa jumlahnya meningkat baru-baru ini dan mencapai lebih dari 50 persen. Dengan banyaknya jumlah muslim Ethiopia sejumlah anak muda di sana berusaha mengabdikan diri mereka untuk sebuah misi suci, menampilkan contoh pengorbanan diri dalam upaya mendakwahkan tentang Islam.

Para anak muda, yang menyebut diri mereka sebagai “itinerants” mengintensifkan upaya dakwah mereka terutama di bulan Ramadhan. Mereka melakukan shalat dengan warga di desa-desa yang mereka kunjungi dan memberikan pendidikan agama kepada kalangan pemuda setempat.

Para “itinerants” ini juga bertemu warga non-Muslim dan menjelaskan Islam kepada mereka.

Meskipun jumlah pasti dari itinerants tidak diketahui, menurut perwakilan LSM jumlah mereka sekitar 250 pada waktu normal, tetapi mereka mencapai 1.000 orang di bulan Ramadhan.

sumber : eramuslim

Rabu, 02 November 2011

Keeping Busy On the Path of Allah The Self-Organisation (Intizam) of the Tablighi Jama’at

In recent years the Islamic missionary movement of the Tablighi Jama’at has attracted increasing attention, not only in South Asia, but around the globe. This is partly to do with the huge number of followers assembling at its annual congregations in India, Bangladesh or Pakistan, often counting between one and two millions. This attention is also generated by the fact that traditional Islam did not know an organised proselytising movement until the Tablighi Jama’at was formed. The by now global network of its activities is another instance where Southasian Islam has contributed to the evolution of global Islamic activism.

While their congregations - ijtima - create much publicity and the groups of their travelling preachers are widely known and recognised among Muslims, little is known outside the movement about the way it operates on a daily basis, how it organises its activities on a mass scale. This self-organisation in daily parlance is called intizam (administration). But in writing it is rarely admitted to exist. The current paper is based on interviews with informants in Aligarh, Bhopal and Delhi in December 2001 - January 2002, unless mentioned otherwise. It seeks to highlight the practical dimensions of the Tabligh work which is rarely documented in academic publications. So far mostly the hagiographic and propagandist literature of the movement has served as the basis for analysis (Anwarul Haq 1972; Masud 2000). The movement has often successfully deflected investigative attempts by non-Muslim scholars. However, lately the number of case studies has increased. They concentrate on the movement’s transnational activities in countries such as Bangladesh, Britain, and Morocco (Yoginder Sikand 2002; Faust 2001); or on local branches such as in the Indian state of Orissa (Zainuddin 2001). The internal workings of the Tablighi Jama’at still await definitive treatment.

The philosophy of the movement has been discussed in the academic literature extensively. It is summarised in the famous six points, demanding to focus attention on (1) the confession of faith by reciting the kalima; (2) praying regularly and correctly (salat); (3) acquiring religious knowledge and remembering God (ilm, zikr); (4) respecting fellow-Muslims (ikram); (5) reforming one’s inner self through pure intentions (niyyat) and (6) going out in the way of God (nafr) (Faridi 1997: 114-116).

The movement’s self-declared objective is the so-called internal mission, to make Muslims better Muslims, as the Tablighis say. It strongly denies any political ambitions. Yet its efforts to ‘re-islamize’ large numbers of Muslims cannot but have political consequences if only by providing a fertile ground for the activities of Islamic political parties and radical or militant groupings. The movement is pre-dominantly male-oriented, although it does organise women’s activities on a limited scale in ways strictly conforming to prescriptions of dress and modesty by Islamic law. Women’s activity may partly be regarded as emancipatory, if compared with traditional gender roles in South Asia or in other Islamist movements (See Barbara Metcalf in: Jeffery, Basu et al. 1999; Masud 2000).

The travelling preachers

The Tablighi movement came into being in 1926 when Muhammad Ilyas (1885-1944) started preaching correct religious practices and observance of rituals to Muslim tribes in the region of Mewat around Delhi (Cf. Mayaram 1997). In this Ilyas joined other Muslim activists and groups who opposed the Arya Samaj preachers since the early 1920s. The area had become a battle ground for the souls of the local tribal population whose ancestors had converted from Hinduism to Islam. Since then the tribesmen had retained a number of earlier non-Islamic customs. The reformist Hindu movement of the Arya Samaj aimed at reclaiming these tribes for the Hindu faith into which they would be readmitted after ritual “purification” - Shuddhi - the name by which the campaign became known. Contacting local elders, Ilyas aimed at reorganising the religious and social life of the tribals creating new facilities for religious education and improving social communication through regular council meetings in villages. His main innovation, however, pertained to the introduction of travelling lay preachers who were being dispatched to other Muslim regions in India. Their objective was twofold: the participants should reform themselves on these tours and they should carry the faith to other fellow-Muslims who so far had remained passive or disinterested in the observance of religious practices. Those preaching tours became the hallmark of the Tablighi movement. Today Tablighi lay preachers practically cover the whole Islamic world and all western countries where Muslims live.

The groups are formed at the local Tablighi centre which is usually attached to a Deobandi mosque or madrasa. Starting with Ilyas’ personal association with the Dar al-Ulum of Deoband, the movement has been supported by religious scholars, ulama, propagating the purist teachings of this seminary located in the north Indian state of Uttar Pradesh (U.P.) (Metcalf 1982). The Tablighi movement also kept close contact with the Nadwa seminary from Lucknow, the capital of U.P. (Malik 1997). Lists of volunteers are being kept at the Tablighi centres where destinations and routes of preaching groups are decided and reports are submitted afterwards.

The groups are expected to take care of their own travel expenses. This condition puts a ceiling on the travelling ambitions of some members as groups may travel to other countries and even continents. Yet there has always been some speculation that part of the travelling expenses, as well as of the cost of running the organisation, is borne by unnamed benefactors who may be private citizens from the business community, but also from sympathetic countries such as the Gulf States.

The association of followers with the movement is mostly a temporary one, lasting for the duration of the particular preaching tour. Those counted among the regulars would spend three days or more per month on Tabligh activities. Regulars would make up between 10 and 25 % of Tablighi followers. Some give up their worldly pursuits entirely to spend their life in the service of the movement, either at its administrative and religious centre, the “Bungalow Mosque” in the Nizamuddin area of Delhi or at some local centre. They would lead a pious and ascetic life not dissimilar to the Hindu holy men, living on donations by family members or fellow Tablighis. This may occasionally create problems for the families of these lifetime Tablighis who lose their bread-winner. It is therefore officially discouraged but occasionally condoned.

The travelling groups would usually arrive at a local, mostly Deobandi mosque. There they would stay for two to three days and sleep inside the mosque - which is a practice not fully accepted by all ulama. They always are self-sufficient with their bedding and cooking utensils which they carry with them. After prayer they go out and tour the local Muslim community. They knock on doors of most houses to invite people to come for the next prayer to the mosque. While responses vary, between 2 and 10 % of those approached may turn up at the mosque out of which some might have come anyway to say their regular prayer there. After a joint prayer they are given an inspirational religious talk (bayan), reciting religious principles, instances from the Quran and the Prophetic traditions (hadith). Usually a session of religious education follows (ta’alim). This consists of reading from a book written by one of its founding fathers, Maulana Muhammad Zakariya (1898-1982), “The Virtues of Good Deeds” (Faza’il-A’mal), which the movement has adopted as standard educational reference material (Zakariya, 1994). It presents a compilation of religious texts, mainly Prophetic traditions. Then those present are called upon to volunteer for future preaching tours (tashkil). People stand up and give their name and local association which is being noted down in a special register or book kept at the mosque. Later the new volunteers will be taken up on these pledges and reminded to live up to them. When the group returns to its home base it will report to the local Tabligh centre either in oral or written form (karguzari).

Derived from the travelling practice as its main form of activity, the official arrangements for the work of the movement are kept deliberately provisional and temporary. It is part of the self-image of the movement that it is wholly based on voluntary work with little or no administrative input. The movement keeps no official publications, no formalised leadership structure, no written set of rules or objectives. Yet this self-representation carefully camouflages a different reality of a highly hierarchical leadership which exerts significant moral and social pressure for compliance, a reality that comprises a wide range of unofficial publications detailing the guidelines and the rules by which the work has to proceed, a reality that includes a differentiated and well-defined administrative structure. There is an unwritten constitution of the movement that determines in great detail what issues are confronted in what way and how the work, that is organising the preaching tours, is being conducted, how new members are being attracted and how issues of leadership and guidance are being solved.

The congregations

Next to the preaching tours, its congregations (ijtima) constitute the most well-known feature of the Tablighi movement. They are of various scope: local, regional, national or international/global. A sub-variety is constituted by student or youth ijtimas. On one side they take up the tradition of the weekly Friday prayer congregation at the local mosque, on the other they represent a kind of community ‘orientation’ meeting, which perhaps has grown out of the initial local community meetings in Mewat with religious scholars and tribal elders.

Basically their programme closely follows the itinerary of the preaching tours, consisting of joint prayers, inspirational talks, readings from the Zakariya volumes, calls for volunteers to register for future preaching tours, and in addition a concluding prayer of supplication (du’a).

Ijtimas are being held regularly on fixed days at the local Tabligh centre, usually once a week. They are held at or around prayer times to induce the faithful of the area who come to the mosque for prayers to participate in the Tabligh meeting as well. These ijtimas facilitate social communication and networking among followers.

From these, the grand national meetings stand out in a category of their own. The annual congregations of the Tablighis in Bangladesh, India and Pakistan are remarkable for the huge numbers they attract and the amount of publicity they generate, among the local population, but also on a wider scale in national newspapers and international media. Tablighis use to stress that these meetings represent the second-largest congregation of Muslims after the Hajj. Reports assume that up to two million people participate in the Bangladesh meeting in Tongi, between one and one and a half million in India and Pakistan each. The latter usually takes place at Raiwind, the location of the Pakistani centre of the movement near Lahore. In India, major annual congregations were held at different places, although now they seem to have settled on the longstanding Bhopal ijtima. For about 50 years it was held at its huge mosque Taj ul-Masajid (crown of the mosques) but has shifted recently to open fields outside the city for want of space. The congregations seem to be important venues for mobilising support not only among Muslims, but also among Non-Muslims and secular elites, notably politicians. The Presidents and Prime Ministers of Bangladesh and Pakistan have repeatedly used the meetings to rub shoulders with the praying millions on occasions that are bound to attract mass media attention.[1] The former head of the Afghan Taliban regime, Mulla Omar, was also reported to have attended the Pakistan congregation. In India cooperation with state authorities is smooth and traditional, although less publicity-oriented. Tablighi leaders seem divided over the merits of such huge meetings. Muhammad Yusuf (1917-1965), second Amir of the Indian Tablighi Jama’at, had already emphasised that the regular work in propagating Islam was more important than the meetings. There are attempts made in India nowadays to scale back the national congregations in favour of the regular work.

At the national congregation local Tablighi organisations are represented by formal delegations squatting on the prayer ground behind signboards indicating their place of origin. Also attendance from other countries is a regular feature now as the movement has become truly global. Contrary to assertions made by members of the preparatory committees, a huge organisational effort constitutes the backbone of these congregations. Special departments are created for logistical support (food, sound system, medical services, fire services, security, transport), usually in close cooperation with state authorities for which the organisers are often not charged. Local businesses also provide their services often for free, regarding it as a moral duty and an effective form of ‘product placement’. A huge department takes charge of coordinating the routes of all participants for preaching tours as the congregation winds up with sending off all participants on their respective tours having recharged their motivation and energy.

The increasing social function of the movement is displayed in staging mass marriages (nikkah) celebrated by prominent luminaries of the movement. Also the concluding act, the prayer of supplication (du’a) apparently holds an enormous social importance. It is this prayer which attracts huge additional crowds from among the local population seeking benediction (barakat). It is they who swell the participating numbers to the millions making clear that the actual number of participating Tablighis is significantly less than generally assumed.

The local mosque scheme

The Tablighi activists devote growing attention to a scheme that has slowly but steadily evolved over the past decades, the formation and operation of a local ‘mosque group’ (masjidwar jama’at) in contrast to the travelling preaching group, the Tablighi Jama’at. It considers the local mosque as the basic unit of operation. The details of this scheme have been fixed in a rigid grid of demands that are made on its participants on a daily basis. It rests on the understanding that every potential follower of the movement is always and first member of his local mosque group. This makes the scheme somewhat akin to ideological structures of mobilisation. In particular, one comes to think of the basic units of the Communist movement. In reality, it is only the regulars who are involved in it. It requires

  • to attend all five prayer sessions at your local mosque which are used to fulfil specific functions for the movement;
  • to form a council (shura) which meets daily, and to attend its sessions at one of the prayer times;
  • to spend 2 1/2 hours daily of dedicated Tabligh activities in meeting fellow-Muslims and inviting them on to the path of Allah in an individual capacity which is called ‘meetings’ (mulaqat);
  • to conduct two educational sessions (ta’alim) daily by reading from the Zakariya volumes for about 30 to 45 minutes, one at the mosque and one at home;
  • make two rounds of preaching walks (gasht) per week, around the immediate neighbourhood on one day — which is fixed for every local mosque
  • and around the adjacent mosque area on their fixed day.

As a faithful follower of the movement you will also want to attend the ijtima of your locality which comprises several mosque areas (as mentioned above). Once you engage in all these activities you are certainly counted among the regulars. You will then want to consider also the other obligations which are prescribed for regulars in ascending order one in addition to the other. These in particular suggest to spend a fixed amount of time on Tabligh tours, beside the daily 2 1/2 hours and the weekly two days in your own and the adjacent locality as mentioned above, that is

  • to three days per months on a full preaching tour to another locality in your home region;
  • 40 days per year, called by the Sufi term chilla, generally a longer period of withdrawal or seclusion for contemplation and prayer, which could be to other states or provinces of your country, but also to other countries;
  • the ‘grand chilla ’, consisting of 3 consecutive chillas, once during your lifetime, which equals four months (120 days);
  • for the ardent there are even longer chillas, mostly when going abroad, for a period like 7 months, or on foot across the country for a whole year (Cf. Hasan, 1982: 772).

Committing yourself to these activities puts a heavy burden on the shoulders of every regular. It is not uncommon that those doing so tend to neglect their worldly engagements. At the same time, the mobilising efforts can also have affirmative results. A survey made at Aligarh University in India was said to have shown that the academic achievements of Muslims students who were Tablighi regulars significantly surpassed those of their co-students.

Yet a regular can hardly pursuit his predilection for Tabligh work unless he makes it his lifetime occupation and doesn’t count the hours. This also entails social consequences with regard to Tablighi family life. Several informants suggested during interviews that those families where both partners were actively involved in Tabligh work tended to have fewer children. They would have more simple marriage ceremonies - because they shun ostentatious expenditure – and they have easier divorces - because they don’t ask for bride money, both under the influence of reformist teachings.[2] Young Tablighi activists even seek out the advice of their elders in questions of finding suitable partners tolerant of the demanding Tabligh work.

The leadership question

In its self-representation the movement stresses its egalitarian character. Outgoing preaching groups (jama’at) elect a leader (amir) from among themselves whose orders would be obeyed unquestioningly. Yet he could be any of them, and more important, he is expected to lead through his personal example in his devotion to preaching, praying, religious education, but also in his humble demeanour towards other members of the group, in his readiness to take over ordinary daily chores of cooking or cleaning. Beside this leader of the basic preaching group, the only other leader who is known in public is the national leader of the Tablighis in India or Pakistan (or any other country). The middle rung of leadership is hardly visible to outside observers and not even to irregular participants. Yet the movement is ruled by a clearly defined command structure at every level being both flexible and rigid in turns. It is based on the shura principle gleaned from the Qur’an and the hadith, lead by an amir or a responsible person of varying designation. It is assumed that the Prophet’s practice of consultation with his companions is the example. Council is held in open accessible by all member or interested people, at least in theory. In practice though there is a selection of those attending. And not all business of the movement is conducted in public, if only in the presence of their own followers. There definitely is a closed or secret part of business of the movement which is deliberately kept away from the public eye.

Taking India as an example, where the movement started and its global headquarters are located, the leadership structure comprises the following levels:

  • The lowest level is the travelling preaching group, the Tablighi Jama’at. Leadership here is a temporary assignment for the duration of the tour. As the size of the groups rarely exceeds ten, fifteen people, there is no shura formed here. At this level always an amir is selected, or sometimes appointed.
  • Next comes the mosque group where a shura is formed and in operation. But its composition varies. The regulars of the locality take turns in sharing responsibilities. Its leader would be the ‘decider’ – faisal. While his appointment may be confirmed by higher-standing authorities in the movement, the assignment rotates, even at short intervals like after two or three months.
  • The next higher up level would be the locality where a local shura is in operation. In a city like Aligarh there are two Tablighi centres, one in the university area at the Sir Sayyid Hall Mosque and the other at the old town mosque. The shura has four to five members. Its composition and more so the function of faisal is usually confirmed by the higher up Tablighi leaders, either at the state/provincial level or even at the national level. In the case of Aligarh’s university shura due to its eminent status in the Tablighi movement as a centre of learning and the seat of the most prominent Muslim university it was confirmed by the very leaders of the Tablighi movement in India, the Nizamuddin shura at Delhi. The shura members often keep their post until they die. Age in the Tablighi understanding only adds to authority. This shura would also meet every day, but hold council on the more important affairs of the movement in the locality on the day of the ijtima which for the university area was Sundays.
  • There are also shuras in operation at the level of the Indian states and Pakistani provinces. Some of their leaders were formally designated amir. They conduct the affairs of the movement in their state or province fairly independently. Nowadays the new heads of the shura are preferred to be called by the less formal and presumptuous title faisal.
  • Then there is the central Tablighi shura at Nizamuddin. This name is applied to the current collective leadership and also to a larger ruling council. Ilyas was succeeded as amir first by his son Muhammad Yusuf and than by his grand-nephew In’am al-Hasan (1918-1995). After the latter’s death, a collective leadership took over as the movement could not decide on a single successor. It consisted of the Maulanas Saad al-Hasan (grandson of Yusuf and great-grandson of Ilyas), Zubair al-Hasan (son of Inam) and Izhar al-Hasan (maternal nephew of Ilyas). Inam al-Hasan himself was reported to have contributed to the ‘democratisation’ of the movement as he moved to strengthen the role of the shura against the amir and the role of the daily work (within the mosque group) against ostentatious congregations. After Izhar died, this collective leadership or small shura now only consists of two persons. Among these it is Maulana Saad who has now clearly moved to the centre of the movement. He is seen as the new theoretical, spiritual, and symbolic head of the movement. He seems to be immensely popular with followers as can be judged from reactions to his appearance at the 2002 Bhopal congregation. Maulana Zubair apparently concentrates more on the internal structure and organisation of the movement.

Beside the small circle of collective leadership there is a larger shura in operation at Nizamuddin which consists of elders (buzurg or bare) from all over India and counts approximately 15 members. While it meets daily it holds open council on Thursdays on the occasion of their version of the weekly ijtima. Not all its members attend all its sessions. There is a rotation and sharing of responsibilities at work guaranteeing that issues concerning the reception of incoming or preparation of outgoing preaching groups are not left undecided.

On questioning the impression is given by the movement’s representatives that all issues are decided impromptu. While this may often be the case, a certain amount of paper work is apparently still generated and regular offices are also in operation at the centre. Paper work mainly relates to requests (taqaza) from outlying mosques or madrasas for preachers to be sent to them to strengthen the propagation (tabligh) of Islam for whatever momentary local reason. A number of activists runs regular administrative offices at the centre dealing with incoming and outgoing groups, coordination of their travelling destinations and overseeing the work in the regions and provinces. The role of Chhote Sayyid Bhai (’the younger Sayyid’) may serve as an example, a ‘nom de guerre’ by which a Maulana from Nizamuddin went who was in charge of coordinating travel routes for outgoing preaching groups. He also was a member of the preparation team for the Bhopal ijtima 2002, attended by the author. While he explicitly denied any role of regular administrative work in the running of the movement, he was reported to have his own permanent office at Nizamuddin where he kept a huge oversize chart of all possible destinations of preaching tours in the world, complete with the names and schedules of train and bus stations.

A third group of regular full-timers is indispensable for the running of the movement at the Nizamuddin centre. They occupy no formal office yet they attach themselves to certain leading elders and assist them in carrying out their functions. They are sort of religious ‘interns’. The author talked to some who had graduated from universities and now took time out from their civic life supporting themselves on contributions from family members or sharing meagre resources with other Tablighis to be able to devote their full time to the movement. The less sophisticated among them work as ushers there making sure every incoming or outgoing Tablighi or visitor finds his group or stays in touch with his programme. They also shield the centre’s core activities from stray visitors, particularly non-Tablighis and non-Muslims, foreigners, journalists.

Remarkable is the rather strict spatial separation between local/Indian or South Asian Tablighi and foreign Tablighis both at the centre and at the congregation. At the centre they are directed to different levels in the building, at the Bhopal congregation foreign Tablighis were interned in a separate tent camp on the mosque ground for ‘hygienic and security reasons’. For the foreign Tablighis there are always volunteers around who help with translations and organisation. Many foreign visitors who come on a preaching tour to South Asia not for the first time, have picked up Urdu which evolves as a global lingua franca of the Tablighi community.

The movement’s impact cannot be judged uniformly. While it apparently contributes to a strengthening of religious attitudes, and inculcates even bigotry in some followers, it links many aspiring lower middle class Muslims in South Asia with a moralistic version of modernity. In this it can contribute to the moral and cultural emancipation of selected Muslim strata both in a minority setting such as India or in a Muslim majority society such as Pakistan. It can also prepare the ground for groups professing Sunni radicalism or pursuing some form of militancy. Generally it promotes a quietist, value-laden outlook on life, which can be healing and invigorating for many but debilitating for some. Its most worrisome feature is perhaps its closed character, which can generate enormous pressure on participants, although in an open-society context such as India people find it still easy to withdraw from it if they want to. It is difficult to see that it can expand much further and may have reached its peak. Where it will go from here, whether moving into decline or towards a new quality, will be fascinating to watch for political analysts and religious studies experts alike.

Notes

[1] For the 2000 congregation, see Dawn, 5-7 November 2000; for Bangladesh, see AFP: ‘Muslims stream into Bangladesh for the 34th Biswa Ijtema’, dateline 29 January 2000.

[2] This refers to the Puritanism of the concept of islah, a movement for Quran-based reform of behaviour that emerged in Egypt at the end of the nineteenth century and spread to the whole Islamic world.

Quelle: Dieser Artikel von Dietrich Reetz erschien bereits in: Bredi, Daniela (Hg.) (2004): Islam in South Asia. Roma (= Oriente Moderno, 84:1), S. 295-305.

All teks from : http://www.suedasien.info/analysen/1464