Selasa, 27 September 2011

Pesona Jamaah Tabligh Dalam Berdakwah

nugroho trisnu bratatrisnubrata@yahoo.com

(Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam 4th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia July 12-15, 2005 di UI Jakarta).

PENDAHULUAN

Makalah ini berusaha mengkaji fenomena gerakan dakwah Islam yang menamakan dirinya “Jama’ah Tabligh”. Komunikasi terjadi antara saya dengan anggota Jama’ah Tabligh ketika mereka secara sengaja mendatangi rumah saya di Yogyakarta. Dalam kurun waktu 8 tahun, sudah sekitar 4 kali Masjid di tempat saya tinggal didatangi oleh Jama’ah Tabligh. Setiap kali anggota Jama’ah Tabligh menginap di Masjid dekat rumah saya, mereka hampir tiap malam datang ke rumah saya dan rumah-rumah tetangga yang bergama Islam. Ada beberapa keunikan yang menjadi identitas Jama’ah Tabligh, mulai dari penampilan, cara berpakaian, kebiasaan keluar rumah untuk berdakwah selama berhari-hari, cara makan bersama, metode berdakwah, hingga menghindari politik dan kekerasan dalam berdakwah Islam.

“Jama’ah” secara harfiah sering disamakan dengan kelompok atau bersama-sama, misalnya sholat berjama’ah artinya sholat bersama-sama yang dipimpin oleh seorang imam dan diikuti oleh para makmum. Kata “tabligh” adalah salah satu sifat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW dari empat sifat beliau (sidiq = benar, amanah = bisa dipercaya, fathonah = cerdas, dan tabligh = menyampaikan). Tabligh atau menyampaikan dalam hal ini adalah menyampaikan dakwah ajaran-ajaran agama Islam kepada orang lain. Hal ini kalau kita bahas tentang asal kata dari Jama’ah Tabligh. Pada aspek penampilan, cara berpakaian para karkun (bhs. India) yaitu para aktifis Jama’ah Tabligh tampak khas.

Para lelaki biasanya berpakaian dominan warna putih dengan baju “Afghani clothes” atau baju Afghanistan yang biasa dipakai oleh orang-orang Afganistan, India, Pakistan, dan Banglades. Ada juga warna baju lain seperti coklat, biru, hitam, dll. Baju ini berlengan panjang, dan menjulur ke bawah sampai lutut dengan belahan disisi kiri bawah dan kanan bawah. Istilah model baju ini saya dengar dari laki-laki pedagang baju di Mekah saat kami sekeluaraga pergi haji ke Mekah pada tahun 1998. Menurut si pedagang baju itu, Afghani clothes berbeda dengan “gamis” yang biasa dipakai oleh para pria Arab. Gamis adalah baju yang menjulur ke bawah sampai hampir menutupi mata kaki, biasanya berwarna putih dan berlengan panjang. Para istri dari karkun ini biasanya berjilbab dan memakai cadar (penutup wajah), mereka lebih banyak tinggal di rumah dan menjadi manajer rumah tangga. Para suami lebih banyak berada di luar rumah untuk mencari rejeki dan berdakwah agama Islam.

Jama’ah Tabligh didirikan oleh Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy pada tahun 1920-an (?) di Uttar Pradesh, India. Sebagian besar pengikutnya berada di India, Pakistan, dan Bangladesh. Sejak 1980-an organisasi dakwah ini melebarkan sayapnya ke Timur Tengah, Asia Tenggara (terutama Indonesia, Malaysia, Thailand), Australia, dan Amerika (Majalah GATRA, 27 November 2004). Walaupun para pengikut Jama’ah Tabligh berasal dari berbagai negara akan tetapi gaya berpakaian mereka cenderung sama yaitu lebih suka memakai Afghani clothes, dari pada memakai gamis.

PEMBAHASAN

Berawal dari sebuah peristiwa saat mengikuti kursus persiapan masuk perguruan tinggi di Yogyakarta, salah satu tentor mengajak dan setengah memaksa kepada saya untuk mendatangi pengajian di Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang Yogya. Saat itu saya tidak mau. Lain waktu tetangga saya juga pernah mengajak dengan setengah memaksa untuk mendatangi pengajian di Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang Yogya. Saya tetap tidak mau dengan berbagai alasan yang saya sampaikan.

Mulai saat itu saya bertanya-tanya di dalam hati, sebenarnya pengajian di tempat itu model pengajian seperti apa ? Apakah sebuah pengajian Islam sempalan seperti yang banyak dibicarakan orang? Pertanyaan itu terjawab setelah beberapa tahun berlalu yaitu pada saat saya telah hampir selesai kuliah di Jurusan Antropologi UGM. Beberapa orang laki-laki dengan baju khas dan sebagian memakai sorban (ikat kepala) dengan membawa alat-alat masak serta perlengkapan makan mohon ijin kepada pemuka masyarakat untuk bermalam sekitar 3 hari di Masjid Kampung saya tinggal.

Ketua Takmir Masjid dan Ketua RW pada awalnya ragu-ragu karena penampilan para pendatang itu terlihat asing, mungkin ada perasaan khawatir dan curiga menghinggapi perasaan para tokoh masyarakat di kampung saya itu. Ketika wakil dari orang-orang asing itu datang ke rumah saya untuk minta ijin kepada saya karena saya sebagai ketua pemuda kampung, saya langsung mengijinkan. Dalam pikiran saya inilah kelompok pengajian yang dahulu setengah memaksa saya untuk bergabung dengan mereka, saat inilah saya bisa tahu lebih banyak keberadaan mereka.

Di depan jama’ah sholat magrib setelah sholat berlangsung, saya katakan bahwa “innamal mukminuna ikhwah, bahwa semua orang Islam itu bersaudara” sehingga saudara yang datang dari jauh perlu disambut kedatangannya. Akhirnya diterimalah mereka menginap di masjid kami, akan tetapi ada juga satu dua warga yang tetap curiga dan menolak mereka walaupun pendapat mereka ini tidak bisa diwujudkan. Kecurigaan terhadap sesama orang Islam ini karena didasari oleh ketidaktahuan, lebih dari itu adalah wacana yang dikembangkan pada jaman Orde Baru bahwa Islam di Indonesia hanya ada 2 yaitu Islam tradisional yaitu NU dan Islam modern yaitu Muhamadiyah.

Dikotomi Islam yang mengkutub pada Gerakan Muhamadiyah dan Nahdhatul Ulama yang menjadi simbol Islam Modernis dan Islam Tradisional selama puluhan tahun telah menjadi wacana baku dalam mengkaji Islam di Indonesia. Orang selalu saja mengkaitkan Islam dengan Muhamadiyah dan NU. Jika ada gerakan atau kelompok di luar Muhamadiyah dan NU maka akan segera dicap sebagai Islam sempalan, dan lebih ekstrem lagi dicap sebagai Islam aliran sesat yang harus dilarang dan dibubarkan. Mengapa Muhamadiyah dan NU menjadi mainstream wacana Islam di Indonesia? Apakah karena jumlah masa yang besar ?

Jawabannya, bahwa Muhamadiyah dan NU selain karena jumlah masanya yang besar, juga karena kedua organisasi Islam itu mau mendukung penguasa Orde Baru. Beberapa orang pemerintah ditempatkan menjadi pengurus di kedua organisasi itu. Penerimaan Pancasila oleh Muhamadiyah dan NU sebagai satu-satunya azas adalah simbol ketundukan kedua organisasi itu terhadap kekuasaan pemerintah Orde Baru. Dalam konteks ini Pancasila diposisikan sebagai totem, atau malah sebagai sebagai “agama” yang dipaksakan oleh oleh pemerintah untuk diterima oleh semua lapisan masyarakat. Pada sebagian orang muslim fenomena itu adalah proses pemusrikan pada orang Islam di Indonesia.

Sejak kekuasaan Orde Baru tumbang pada 21 Mei 1998 yang membuka kran keterbukaan termasuk dalam beragama Islam, mulailah bermunculan gerakan Islam di luar mainstraim NU dan Muhamadiyah. Contoh gerakan itu antara lain; Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi dengan Laskar Jihad-nya, FPI, Majlis Mujahidin, Jama’ah Tabligh, dll. Reformasi 1998 juga telah memutar pendulum wacana Islam di Indonesia dari wacana Islam tradisional vs Islam modern, bergeser menjadi wacana Islam kaaffah vs Islam moderat.

Berbagai kelompok Islam ini–walau tidak semuanya–mewakili sayap Islam kaffah yaitu berusaha mengimplementasikan syariat atau ajaran Islam ke dalam hidup sehari-hari secara kaaffah atau secara utuh dan menyeluruh. Ajaran Islam coba mereka aplikasikan dalam kehidupan di dalam rumah tangga, di dalam proses perdagangan/perniagaan, di kantor, atau di tempat-tempat umum seperti terminal atau bandar udara secara damai dan tidak mengganggu hak-hak orang lain. Sikap toleransi sosial (tasamuh) juga hidup subur di dalam komunitas Islam ini. Di sisi lain seperti NU dan Muhamadiyah dan yang lain menempatkan diri pada posisi Islam moderat, yang ingin menerapkan ajaran atau syariat Islam dengan menyesuaikan kondisi masyarakat kekinian. Gerakan Islam Liberal yang dipelopori oleh Ulil Absar Abdalla di Jakarta juga menjadi fenomena menarik untuk dikaji lebih mendalam pada kesempatan lain.

Jama’ah Tabligh dalam hal ini termasuk pada posisi Islam kaafah. Kelompok-kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia, Salafi, FPI, Majlis Mujahidin, atau Jama’ah Tabligh dll. tidak semuanya berdiri setelah Orde Baru tumbang. Sebagian sudah ada dan berdakwah secara bawah tanah serta melakukan kaderisasi secara intensif, misalnya Gerakan Tarbiyah yang sudah muncul sejak tahun 1970-an secara bawah tanah dan meminjam model pembinaan kader dari model gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Gerakan Tarbiyah ini pada awal kemunculannya di tahun 1998 melalui “wajah” KAMMI (Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia) dengan ketuanya Fahri Hamzah, kader jebolan Gerakan Tarbiyah.

KAMMI yang diback-up para senior Gerakan Tarbiyah bertransformasi menjadi Partai Keadilan (PK). PK tidak mencapai electoral thresshold pada pemilihan umum 1999 sehingga bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Organisasi Salafi juga sudah muncul sejak jaman Orde Baru dengan pusatnya di Pondok Pesantren Ihya’us Sunnah di Sleman Yogyakarta di bawah pimpinan Ustadz Ja’far Umar Tholib. Di bawah Ja’far Umar Tholib organisasi ini menjadi terkenal karena pembentukan Laskar Jihad Ahlus Sunah Wal Jama’ah (ASWJ) yang dikirim ke medan perang di Ambon dan Maluku.

Ada juga Salafi yang berpusat di Pondok Pesantren Jamilurrohman di Jalan Imogiri Bantul Yogyakarta di bawah Ustadz Abu Nida. Jama’ah Tabligh juga sudah muncul sejak jaman Orde Baru, di Yogyakarta pusat aktifitasnya adalah Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang di dekat kampus UGM Yogyakarta. Ini adalah contoh beberapa gerakan atau organisasi yang selamat dari tangan kejam pemerintah Orde Baru. Gerakan Islam atau kelompok Islam yang pernah dihancurkan oleh pemerintah karena dicap sebagai Islam sempalan misalnya adalah kelompok Islam di Lampung yang dipimpin oleh Warsidi. Kelompok ini kemudian diberi stigma sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi, diserbu oleh aparat keamanan dan yang masih hidup dibawa ke pengadilan.

Contoh lain adalah kelompok Haur Koneng di Jawa Barat juga dibubarkan oleh pemerintah, atau Islam Jama’ah yang kemudian berganti nama menjadi LEMKARI dan kini bernama LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Istilah GPK adalah stigma yang dipropagandakan oleh pemerintah orde baru sehingga berlanjut dengan terbentuknya public opinion, bahwa pihak yang dicap sebagai GPK memang musuh pemerintah, musuh negara, dan musuh masyarakat sehingga harus dihancurkan. Ternyata masyarakat biasanya mendukung sikap pemerintah itu. Stigma atau label sebagai GPK identik dengan istilah ekstrimis pada jaman perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949. Rakyat Indonesia yang melawan pemerintah kolonialis Belanda dengan mengangkat senjata dicap sebagai kaum ekstremis oleh penguasa kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia pasca Perang Dunia II.

Istilah ekstremis ini diadopsi oleh pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dengan munculnya stigma ekstrem kiri bagi pihak oposisi yang berbasis pada pemikiran sosialisme dan marxisme, dan ekstrem kanan bagi oposan dengan basis pemikiran dari ajaran Agama Islam. Pada era kekinian terjadi metamorfosis stigma yaitu kaum teroris bagi umat Islam yang berani melawan peradaban Barat dengan mengangkat senjata. Berbagai stigma di muka apabila kita lihat secara teliti ternyata terdapat pola yang sama. Stigma sebagai ektremis, ektrem kanan dan ekstrem kiri, Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), maupun teroris pada dasarnya diciptakan oleh pihak pemegang kekuasaan. Logika kekuasaan di mana kekuasaan yang ada di tangan mereka selalu terancam oleh pihak oposisi, memotivasi para penguasa untuk meniadakan penentangan dan perlawanan dengan cara yang keras dan kejam terhadap para penentang penguasa.

Kaum oposan yang telah berani melawan pemegang kekuasaan karena kekuasaan dianggap telah membelenggu dan menindas mereka, sebelum secara fisik dihancurkan oleh para penguasa maka terlebih dahulu dihancurkan citranya (image-nya) dengan membentuk opini publik. Apabila opini publik telah terbentuk di masyarakat secara luas maka penghancuran fisik seperti penyerbuan oleh aparat keamanan dan menyeret ke pengadilan terhadap para penentang pemerintah ke pengadilan. Di sini opini publik berfungsi sebagai alat legitimasi bagi penindasan oleh penguasa terhadap kaum oposan. Terbentuknya opini publik tidak bisa dilepaskan dari peran media massa baik media massa cetak maupun media massa elektronik. Media massa menjadi jembatan yang menghubungkan dan menyebarluaskan opini dari pembuat opini kepada khalayak.

Opini publik tentang Jama’ah Islamiah (JI) yang dibangun oleh pemerintah Amerika Serikat dan diamini oleh banyak penguasa di berbagai negara di Asia Tenggara, sedikit banyak ternyata mendapat counter opinion (opini tandingan) dari masyarakat Islam secara luas. Diksi atau pilihan kata Jama’ah Islamiyah mungkin saja terdapat maksud untuk menggiring memori masyarakat terhadap organisasi Islam Jama’ah yang berpusat di Kediri, Jawa Timur pada masa Orde Baru. Karena memiliki citra buruk maka Islam Jama’ah berganti nama menjadi LEMKARI, kemudian berubah lagi menjadi LDII sampai sekarang. Sebagai siasat untuk bisa tetap eksis maka LDII berlindung di bawah GOLKAR dan massa LDII menjadi underbow GOLKAR. Jama’ah Islamiyah berbeda dengan Islam Jama’ah yang citranya buruk.

Terlepas ada atau tidak organisasi Jama’ah Islamiyah (JI) di Asia Tenggara, di balik frase Jama’ah Islamiyah terkandung makna bahwa Jama’ah Islamiyah itu artinya adalah kelompok, golongan atau semua orang yang beragama Islam. Ketika Jama’ah Islamiyah yang maknanya secara luas adalah “semua orang Islam”, dicap sebagai kaum teroris maka banyak orang yang buta politik seperti saya, merasa sakit hati terhadap Amerika Serikat dan sekutunya. Umat Islam yang berusaha melaksanakan ajaran Islam secara baik dengan mencintai Allah (hablumminallah) dan mencintai sesama manusia (hablumminannas) mengapa dikatakan sebagai kaum teroris yang menghancurkan kehidupan manusia?

Jama’ah Tabligh yang menjadi sentra kajian tulisan ini juga telah membuktikan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai. Jamaah Tabligh di mata saya adalah sebuah gerakan penyebaran agama Islam yang berusaha terus menerus merekrut anggota dengan jalan persuasif. Selama kurun waktu 8 tahun kelompok jamaah Tabligh ini sudah sekitar 4 sampai 5 kali menginap di masjid kampung saya untuk menyebarkan dakwah Islam. Model dakwah mereka ada yang dinamakan “jaulah” dan “khuruj”. Jaulah adalah berkeliling mendatangi rumah-rumah orang Islam yang terletak di sekitar masjid tempat para karkun itu menginap. Mereka ini bersilaturahmi (menjalin hubungan persaudaraan) dan kemudian menyampaikan kebaikan-kebaikan ajaran Islam. Khuruj adalah keluar atau meninggalkan lingkungan sehari-hari dengan tujuan menyampaikan dakwah Islam. Bisa saja mereka meninggalkan lingkungan tempat tinggal dan keluarga, meninggalkan pekerjaan, dan secara berjamaah pergi ke luar kota, atau keluar propinsi atau bahkan ke luar dari batas negara. Biasanya mereka berkhuruj selama 3 hari dalam satu bulan, 40 hari dalam satu tahun, atau 4 bulan selama seumur hidup.

Para karkun yang sering mengunjungi rumah saya di Yogyakarta sering berdiskusi sampai larut malam tentang berbagai hal terutama yang berhubungan dengan Islam. Mereka ada yang datang dari Yogyakarta, dari Jakarta, dari Lampung, atau dari Medan Sumatera Utara. Mereka berpandangan bahwa Islam adalah sistem hidup yang paling baik, maka berbahagialah orang Islam yang menjalankan ajaran agamanya. Mereka selalu mengajak memeluk ajaran Islam secara kaaffah yaitu menyeluruh, utuh, atau tidak sepotong-sepotong yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. “Udkhullu fisilmi kaaffah = masuklah ke dalam Islam secara kaaffah”, kata mereka dengan mngutip salah satu ayat di dalam Al-Qur’an. Mereka selalu saja tidak henti-hentinya mengajak solat wajib berjamah di masjid bagi laki-laki, selalu berbuat baik kepada sesama manusia tanpa membedakan agama, meninggalkan larangan-larangan agama, dan mereka juga tidak pernah mengatakan bahwa mereka berasal dari organisasi dakwah bernama Jama’ah Tabligh, mereka selalu mengedepankan kesatuan Islam.

Mungkin saja dengan meminggirkan identitas golongan mereka, mereka bertujuan untuk tidak terjebak pada perdebatan antar kelompok-kelompok Islam. Dengan bahasa dan penampilan yang rendah hati dan mempesona lawan bicara, mereka ini selalu menghindarkan diri dari khilafiyah (beda pendapat) dan menghindarkan diri dari siyasah (politik praktis). Walaupun tidak berpolitik praktis, akan tetapi pada saat memilih pemimpin mereka bermusyawarah dan bermufakat. Pemimpin bisa dipilih dengan cara itu, dan bisa diganti dengan cara yang sama. Siapa saja bisa menjadi pemimpin asalkan memiliki sifat-sifat sidiq = benar, amanah = bisa dipercaya, fathonah = cerdas, dan tabligh = menyampaikan. Seperti halnya pada saat solat berjamaah maka siapa saja bisa menjadi imam asalkan bisa melafalkan ayat-ayat Qur’an, dalam kondisi yang baik, dan dianggap mampu oleh makmum.

Dari fenomena Jamaah Tabligh ini apabila ada yang mengatakan bahwa sistem kekuasaan Islam itu anti demokrasi dan otoriter, tentu itu adalah pendapat yang sangat keliru. Sistem demokrasi “masyarakat Barat” seharusnya berani membuka hati bahwa secara antropologis, masyarakat Islam juga memiliki tata cara dan sopan santun dalam berdemokrasi. Masyarakat Islam tidak perlu dipaksa-paksa untuk menganut sistem “demokrasi ala Barat”. Bahkan secara ekstrem mereka orang Islam dicap sebagai kaum teroris yang harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi, hanya karena berusaha mempertahankan identitas sebagai masyarakat muslim.

Untuk kasus ini tentu saja para antropolog sedunia harus ikut turun tangan untuk memberikan penjelasan-penjelasan rasional, sistematis, dan jernih kepada para “pendekar demokrasi” ala Barat mengenai kerangka berpikir masyarakat muslim. Masyarakat muslim tentu tidak akan memerangi masyarakat penganut demokrasi barat apabila masyarakat muslim tidak “diganggu” kehidupannya. Kasus Jamaah Tabligh menunjukkan bahwa mereka selalu menghindari perbedaan pendapat, apalagi yang menjurus pada benturan fisik.

Bayan (ceramah, pengajian) yang disampaikan oleh ustadz tiap sehabis solat berjamaah yang dilakukan secara rutin pada komunitas Jama’ah Tabligh, biasanya berisi 6 hal standar yaitu; 1) keutamaan Laaillahaillallah Muhamadarrosulullah, 2) membesarkan nama Allah dengan cara menjalankan sholat secara khusuk, 3) ilmu dan dzikir, 4) ikram atau memuliakan sesama manusia, 5) mengikhlaskan niat, dan 6) pentingnya setiap muslim melakukan dakwah dan tabligh (Majalah GATRA, 27 November 2004).

Dari materi dakwah ini kita bisa melihat bahwa Jama’ah Tabligh tidak mengajarkan ummat Islam untuk memusuhi orang lain, tetapi selalu mengajarkan kebaikan. Para antropolog jangan mengulangi kesalahan besar seperti yang dilakukan oleh Snouk Horgronye seorang antropolog dari Belanda. Dia menyumbangkan ilmu antropologinya untuk terjadinya pembantaian Rakyat Aceh dan berujung pada penindasan dan penjajahan oleh Belanda terhadap Rakyat Aceh. Penulisan buku “Pedang Samurai dan Bunga Seruni (The Chrysanthemum and The Sword)” oleh seorang antropolog wanita dari Amerika Ruth Benedict, yang kemudian menjadi awal penghancuran Bangsa Jepang pada Perang Dunia II, tidak perlu diulangi oleh para antropolog kekinian.

Para antropolog jangan bersedia menjadi ahli kebudayaan tentang masyarakat Muslim yang telah diberi stigma sebagai teroris, demi kepentingan pemerintah Amerika, yang bisa berujung pada penghancuran masyarakat Muslim.

KESIMPULAN

Jama’ah Tabligh adalah potret dari gerakan dakwah Islam kekinian yang bersifat lintas negara. Islam yang terlihat pada wajah Jama’ah Tabligh adalah santun, rendah hati, dan cenderung menghindari khilafiyah (beda pendapat). Para aktivis Jama’ah Tabligh (karkun) secara rajin dan kontinyu ber-khuruj untuk menyampaikan dakwah Islam dengan cara yang mempesona, agar Islam menjadi sistem hidup para pemeluknya di dalam kehidupan sehari-hari. Agar pemeluk agama Islam melaksanakan ajaran Islam secara kaaffah, secara menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong.

Selasa, 20 September 2011

Pentingnya Memuliakan Sesama Muslim

Pada bab ini saya ingin menyampaikan suatu hal penting yang harus diperhatikan oleh para mubaligh, yaitu agar betul-betul mengikuti tata-tertib dalam menyampaikan agama. Jika tata tertib ini sedikit dilalaikan, maka dapat menimbulkan suatu keburukan. Oleh sebab itu hendaknya berhati-hati. Banyak orang yang terlalu bersemangat dalam menyampaikan agama sehingga tidak mempedulikan harga diri sesama muslim. Padahal, kehormatan seorang muslim sangat penting. Perhatikanlah sabda Nabi saw.:
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah menutupi (aibnya) di dunia dan akhirat. Dan Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya." (Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah - At Targhib).
Dari Ibnu Abbas r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, "Barangsiapa menutupi aib saudaranya (muslim), maka Allah akan menutupi aibnya pada hari Kiamat, dan barangsiapa membuka aib saudaranya yang muslim, maka Allah pasti akan membuka aibnya, sehingga Allah mempermalukannya di rumahnya karena aibnya itu." (Ibnu Majah - At Targhib).
Masih banyak hadits yang semakna dengan hadits di atas. Oleh sebab itu, para mubaligh hendaknya selalu menjaga kehormatan dan menutupi aib saudaranya. Sebuah hadits menyebutkan, "Barangsiapa tidak menolong saudaranya muslim ketika sedang dihina, maka Allah tidak akan mempedulikannya ketika ia sangat memerlukan bantuan-Nya." Juga disebutkan, "Riba yang paling buruk ialah mencemarkan nama baik seorang muslim."
Banyak riwayat yang menyatakan ancaman keras karena mencemarkan nama baik seorang muslim. Para mubaligh hendaknya berhati-hati dalam masalah ini. Cara menyampaikan nasihat yang benar adalah menasihati manusia secara tertutup untuk kesalahan yang dilakukan secara tersembunyi, dan menasihati secara terbuka untuk kesalahan yang dilakukan secara terang-terangan. Bagaimanapun juga, kehormatan seseorang tetap kita pedulikan sedapat mungkin. Jangan sampai karena rusaknya kebaikan, akhirnya dosa yang timbul. Dan agar nasihat itu tidak berakibat buruk, nasihat-nasihat itu harus disampaikan dengan cara yang baik, yang tidak akan membuat orang yang melakukannya merasa malu. Lebih jelasnya, sesuai dengan perintah Allah, bahwa yang bersalah tetap harus diperingatkan dengan tegas, tetapi jangan sekali-kali mengabaikan sopan santun dan adab yang baik.
Seorang mubaligh hendaknya menerapkan adab yang baik ketika menyampaikan ajaran agama kepada pendengarnya. Jika terjadi kemaksiatan, hendaklah ia menegur dengan kata-kata yang halus. Pernah seseorang memberi nasihat dengan kasar kepada khalifah Ma'mun Al-Rasyid, sehingga ia berkata, "Bersopan-santunlah dan gunakanlah adab terhadapku, karena Fir'aun lebih kejam daripadaku, sedangkan Musa dan Harun lebih baik daripadamu. Ketika mereka akan berdakwah kepada Fir'aun, Allah swt. berfirman kepada keduanya:
"Berkatalah kamu berdua kepadanya dengan lemah lembut agar ia mengikuti jalan yang benar atau agar ia takut kepada-Ku." (Q.s. Thaha: 44).
Seorang pemuda datang kepada Nabi saw. dan berkata, "Izinkanlah aku berzina!" Mendengar itu, marahlah para sahabat, tetapi beliau bersabda kepada pemuda itu, "Kemarilah, apakah kamu suka jika orang lain berzina dengan ibumu?" Jawabnya, "Tidak!" Sabda beliau, "Orang lain pun tidak mau ibunya dizinahi. Apakah kamu suka jika orang lain berzina dengan anak perempuanmu?" Jawabnya, "Tidak!" Sabda beliau, "Orang lain pun tidak mau anak perempuannya dizinahi."
Demikianlah Nabi saw. menanyakan hal yang sama mengenai saudara perempuannya, sepupunya, dan sebagainya. Lalu beliau meletakkan tangannya di atas dada pemuda itu dan berdoa, "Ya Allah, sucikan hatinya, ampunilah dosanya, dan lindungilah ia dari zina." Para perawi berkata bahwa setelah kejadian tersebut, tidak ada perbuatan yang paling dibenci pemuda itu kecuali zina. Kesimpulannya, para mubaligh hendaknya selalu bersopan santun, menasihati secara halus, rendah hati, dan memperlakukan orang lain dengan cara yang kita sendiri senang jika diperlakukan demikian. ***

Source : JamaahTablighOnline

Pentingnya Ikhlas, Iman, dan Ihtisab

Secara khusus, saya memohon kepada para mubaligh agar ikhlas dalam setiap ceramah, tulisan, dan amal perbuatannya. Allah memberi pahala yang besar terhadap amal shalih yang dilakukan dengan ikhlas, walaupun amalan itu ringan. Sebaliknya, amal shalih tanpa keikhlasan tidak akan berpengaruh di dunia dan tidak akan menghasilkan pahala di akhirat. Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak memandang tubuhmu dan bentuk rupamu, tetapi Dia memandang hatimu." (Muslim - At-Targhib).
Rasulullah saw. pernah ditanya mengenai arti iman, beliau menjawab, "Artinya ikhlas." Di dalam kitab At-Targhib banyak ditulis riwayat tentang ikhlas, sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa ketika Mu'adz r.a. diutus ke Yaman sebagai hakim, ia meminta nasihat kepada Nabi saw.. Kemudian beliau bersabda, "Dalam setiap amalmu, jagalah keikhlasan, karena dengan keikhlasan, walaupun amal itu sedikit akan mencukupi." Hadits lainnya menyebutkan, "Allah hanya akan menerima amal seorang hamba-Nya yang dilandasi dengan keikhlasan." Sebuah hadits Qudsi menyebutkan:
"Akulah Yang Mahakaya dari seluruh sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang menyekutukan-Ku, akan Aku serahkan ia kepada sekutunya." Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku terlepas darinya, dan baginya apa yang ia lakukan." (Muslim - Misykat).
Sebuah hadits menyebutkan, "Pada hari Kiamat akan terdengar pengumuman di padang Mahsyar, 'Barangsiapa yang menyekutukan Allah dalam amalannya, hendaklah ia menuntut pahala dari sekutu itu, karena Allah tidak menghendaki satu sekutu pun bagi-Nya.'" Sebuah hadits lain menyebutkan:
"Barangsiapa shalat karena riya (ingin dilihat orang lain), sungguh ia telah syirik. Barangsiapa berpuasa karena riya, sungguh ia telah syirik. Dan barangsiapa bersedekah karena riya, sungguh ia pun telah syirik." (Ahmad - Misykat).
Apabila seseorang beramal tanpa keikhlasan, yakni bukan untuk mencari ridha Allah tetapi berniat memamerkannya agar dihargai oleh manusia, secara tidak langsung ia telah menyekutukan Allah, sehingga seluruh amalnya tidak akan diterima oleh Allah swt.. Amal itu hanya akan sampai kepada orang yang ia harapkan pujian dan penghargaannya. Sebuah hadits berbunyi:
"Sesungguhnya orang yang pertama akan diadili pada hari Kiamat adalah orang yang telah mati syahid, ia akan dihadapkan kepada Allah. Maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengakui kenikmatan itu. Allah bertanya, "Apa yang kamu perbuat dengannya? Ia menjawab, "Aku berperang karena-Mu sehingga aku mati syahid." Allah berfirman, "Kamu dusta! Kamu berperang karena ingin disebut pahlawan, dan itu telah kamu dapatkan." Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir  kemudian dicampakkan ke neraka. Kemudian seseorang yang belajar dan mengajar ilmu agama dan suka membaca Al-Quran dihadapkan kepada Allah, maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengenal nikmat tersebut. Allah bertanya, "Apa yang kamu perbuat dengannya?" Jawabnya, "Aku belajar dan mengajar ilmu dan membaca Al-Quran karena Engkau." Allah berfirman, "Kamu dusta! Kamu belajar dan mengajar agar disebut ulama, dan kamu membaca Al-Quran agar disebut qari, dan itu telah kamu dapatkan." Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir lalu dicampakkan ke neraka. Dan terakhir adalah seseorang yang dikaruniai kekayaan oleh Allah. Maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengenal kenikmatan itu. Lalu Allah bertanya, "Apa yang telah kamu perbuat dengan kekayaanmu itu?" Ia menjawab, "Aku tidak membiarkan satu jalan pun yang patut diberi infak kecuali aku infakkan hartaku karena Engkau." Allah berfirman, "Kamu dusta! Kamu berbuat demikian agar disebut dermawan dan kamu telah mendapatkannya!" Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir lalu dicampakkan ke neraka." (Muslim - Misykat).
Oleh sebab itu, sangat penting bagi para mubaligh agar selalu bertujuan mencari ridha Allah dalam menyampaikan kegiatannya dan dalam menyebarkan agama dengan mengikuti sunah Rasulullah saw.. Jangan sampai beramal untuk mencari ketenaran, mencari nama, atau agar dihargai orang lain. Jangan biarkan niat-niat tersebut ada di dalam hati kita. Jika terlintas dalam pikiran kita seperti itu, segeralah membaca, "Laa haula wala quwwata illa billah," dan beristighfarlah sebagai upaya untuk memperbaiki diri kita.
Dengan kelembutan kasih sayang Allah, kebenaran Rasul-Nya, dan keberkahan Kalam-Nya, saya memohon semoga Allah memberikan taufik kepada saya dan para pembaca untuk dapat berbakti kepada agama-Nya sedaya upaya kita dengan ikhlas. Amin. 
Source : JamaahTablighOnline

Perhiasan Dunia Terindah Adalah Wanita Sholehah

Sebuah berita gembira datang dari sebuah hadits Rosul bahwa Rosulullah Saw. Bersabda :

”Seluruh dunia ini adalah perhiasan dan perhiasan terbaik di dunia ini adalah wanita yang sholehah.” (HR. an-Nasa’I dan Ahmad)

Di dalam Islam, peranan seorang istri memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan berumah-tangga dan peranannya yang sangat dibutuhkan menuntutnya untuk memilih kualitas yang baik sehingga bisa menjadi seorang istri yang baik. Pemahamannya, perkataaannya dan kecenderungannya, semua ditujukan untuk mencapai keridho’an Allah Swt., Tuhan semesta Alam. Ketika seorang istri membahagiakan suaminya yang pada akhirnya, hal itu adalah untuk mendapatkan keridho’an dari Allah Swt. sehingga dia (seorang istri) berkeinginan untuk mengupayakannya.

Kualitas seorang istri seharusnya memenuhi sebagaimana yang disenangi oleh pencipta-Nya yang tersurat dalam surat Al-Ahzab. Seorang Wanita Muslimah adalah seorang wanita yang benar (dalam aqidah), sederhana, sabar, setia, menjaga kehormatannya tatkala suami tidak ada di rumah, mempertahankan keutuhan (rumah tangga) dalam waktu susah dan senang serta mengajak untuk senantiasa ada dalam pujian Allah Swt.

Ketika seorang Wanita Muslimah menikah (menjadi seorang istri) maka dia harus mengerti bahwa dia memiliki peranan yang khusus dan pertanggungjawaban dalam Islam kepada pencipta-Nya, Allah Swt. menjadikan wanita berbeda dengan pria sebagaimana yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an:

”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” (QS. An Nisaa’ , 4:32)

Kita dapat melihat dari ayat ini bahwa Allah Swt. membuat perbedaan yang jelas antara peranan laki-laki dan wanita dan tidak diperbolehkan bagi laki-laki atau wanita untuk menanyakan ketentuan peranan yang telah Allah berikan sebagaimana firman Allah:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab, 33:36)

Karenanya, seorang istri akan membenarkan Rasulullah dan akan membantu suaminya untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’ah (hukum Islam) dan memastikan suaminya untuk kembali melaksanakan kewajiban-kewajibannya, begitupun dengan kedudukan suami, dia juga harus memenuhi kewajiban terhadap istrinya.

Diantara hak-hak lainnya, seorang istri memiliki hak untuk Nafaqah (diberi nafkah) yang berupa makanan, pakaian dan tempat untuk berlindung yang didapatkan dari suaminya. Dia (suami) berkewajiban membelanjakan hartanya untuk itu walaupun jika istri memiliki harta sendiri untuk memenuhinya. Rasulullah Saw. Bersabda :

”Istrimu memiliki hak atas kamu bahwa kamu mencukupi mereka dengan makanan, pakaian dan tempat berlindung dengan cara yang baik.” (HR. Muslim)

Ini adalah penting untuk dicatat bahwa ketika seorang istri menunaikan kewajiban terhadap suaminya, dia (istri) telah melakukan kepatuhan terhadap pencipta-Nya, karenanya dia (istri yang telah menunaikan kewajibannya) mendapatkan pahala dari Tuhan-Nya. Rasulullah Saw. mencintai istri-istrinya karena kesholehan mereka.

Aisyah Ra. suatu kali meriwayatkan tentang kebaikan kualitas Zainab Ra., istri ketujuh dari Rosulullah Saw.,
”Zainab adalah seseorang yang kedudukannya hampir sama kedudukannya denganku dalam pandangan Rasulullah, dan aku belum pernah melihat seorang wanita yang lebih terdepan kesholehannya daripada Zainab Ra., lebih dalam kebaikannya, lebih dalam kebenarannya, lebih dalam pertalian darahnya, lebih dalam kedermawanannya dan pengorbanannya dalam hidup serta mempunyai hati yang lebih lembut, itulah yang menyebabkan ia lebih dekat kepada Allah”.

Seperti kebesaran Wanita-wanita Muslimah yang telah dicontohkan kepada kita, patut kiranya bagi kita untuk mencontohnya dengan cara mempelajari kesuciannya, kekuatan dari karakternya, kebaikan imannya dan kebijaksanaan mereka. Usaha untuk mencontoh Ummul Mukminin yang telah dijanjikan surga (oleh Allah) dapat menunjuki kita kepada karunia surga.

Abu Nu’aim meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda :

“Ketika seorang wanita menunaikan sholat 5 waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan mematuhi suaminya, maka dia akan masuk surga dengan beberapa pintu yang dia inginkan.” (HR. Al Bukhari, Al Muwatta’ dan Musnad Imam Ahmad)

Wahai Muslimah yang tulus, perhatikan bagaimana Nabi Saw. menjadikan sikap ta’at kepada suami sebagai dari bagian amal perbuatan yang dapat mewajibkan masuk surga, seperti shalat, puasa; karena itu bersungguh-sungguhlah dalam mematuhinya dan jauhilah sikap durhaka kepadanya, karena di dalam kedurhakan kepada suami terdapat murka Allah Swt.

Wallahu a’lam bish showab..

Source : Usaha Atas Iman

Indahnya Hidayah Allah

Dalam Tafsir Munir karya Dr. Wahbah Az Zuhaily, hidayah ada lima macam. Adapun kelima hidayah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Hidayah ilhami. Hidayah ini adalah fitrah yang Allah SWT berikan kepada semua makhluk ciptan-Nya. Dalam bahasa kita, hidayah ilhami ini adalah insting, yang merupakan tingkat inteligensi paling rendah.Contohnya, Allah SWT memberikan hidayah ilhami kepada lebah yang suka hinggap di bunga untuk mengambil saripatinya, atau seorang bayi yang lapar diberi hidayah ilhami oleh Allah SWT untuk menangis dan merengek-rengek pada ibunya agar diberi ASI.

2.Kedua, hidayah hawasi. Hidayah hawasi adalah hidayah yang membuat makhluk Allah SWT mampu merespon suatu peristiwa dengan respon yang sesuai. Contohnya adalah, ketika manusia mendapatkan kebahagiaan maka ia akan senang dan jika mendapatkan musibah maka ia akan sedih. Dalam istilah kita, hidayah hawasi ini adalah kemampuan inderawi.

3.Ketiga, hidayah aqli (akal). Hidayah akal adalah hidayah yang diberikan khusus pada manusia yang membuatnya bisa berfikir untuk menemukan ilmu dan sekaligus merespon peristiwa dalam kehidupannya dengan respon yang bermanfaat bagi dirinya. Hidayah akal akan bisa kita miliki manakala kita selalu mengambil pelajaran dari segala sesuatu, segala peristiwa, dan seluruh pengalaman hidup kita ataupun orang lain.

4.Hidayah dien (agama). Hidayah agama adalah sebuah panduan ilahiyah yang membuat manusia mampu membedakan antara yang hak dan yang batil, antara yang baik dan yang buruk. Hidayah agama ini merupakan standard operating procedure (SOP) untuk menjalani kehidupan. Tentunya yang membuatnya adalah yang Maha segala-galanya, yang menciptakan manusia itu sendiri, yaitu Allah SWT. Karena yang Allah SWT tentukan, pastilah itu yang terbaik.

5 Hidayah taufiq. Hidayah taufiq adalah adalah hidayah yang membuat manusia hanya akan menjadikan agama sebagai panduan hidup dalam menjalani kehidupannya. Hidayah taufiq ibarat benih yang Allah SWT semaikan di hati yang tidak hanya bersih dari segala hama penyakit, tetapi juga subur dengan tetesan robbani.

Hidayah Allah SWT memerlukan perjuangan untuk mendapatkannya. Semakin besar perjuangan dan kesungguhan kita, maka insya Allah kita akan semakin mudah mendapatkannya, karena semuanya tergantung kepada usaha kita. Hidayah Allah SWT ibarat sinar matahari yang menyinari seluruh alam ini, dan kita adalah penerima sinar tersebut. Jika kita membuka diri dengan hati yang bersih maka kita akan mudah untuk mendapatkan sinar hidayah Allah SWT. Tapi jika kita menutupi hati dan diri kita dengan kotoran dan hama penyakit hati maka kita akan sulit untuk mendapatkan sinar hidayah-Nya.

Wallahu a’lam.

Sahabat Rahimakumullah, mari ajak sahabat yang lainnya untuk bergabung dalam group ini..
Jazakumullah khairan :) 

Source : Usaha Atas Iman

Jujur Itu Indah

Sejatinya seorang muslim adalah pengemban risalah dalam kehidupan, oleh karenanya hendak-lah bermuamalah dengan akhlaq yang mulia nan tinggi, dengannya niscaya jelaslah kemuliaan seorang muslim dari yang lainnya.

Di antara akhlaq mulia yang semestinya menghiasi seorang muslim, namun kerap ditinggalkan, padahal dengannyalah seseorang merasakan hakikat cinta, dengan nya pula terbangun persahabatan yang sejati nan diridhoi.

Akhlaq itu adalah jujur dalam berkata dan beramal, karenanya seorang muslim akan merasa tentram, dan menghantarkankan kepada kehidupan harmonis yang berakhir di jannatullah.

Namun begitulah manusia, terkadang amalnya tidak sejalan dengan fitrah yang salimah (lurus), pemandangan ironi pun kerap terjadi, ya!.. tanggal 01 April dunia mengenalnya dengan [April Fools Day] yang di Indonesia akrab dikenal dengan April Mop [hari penghalalan ber bohong] innalillahi wainna ilaihi rajiun! inilah pembatalan syari’at yang sejalan dengan fitrah, sungguh agama Islam yang hanif ini memerintahkan hambanya untuk jujur, dan meninggalkan bohong.

Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu bersama orang yang benar [jujur]” (QS. at-Taubah:119), dalam ayat yang lain, “Agar Allah memberikan balasan kepada yang jujur karena kejujurannya dan mengazab orang munafiq jika ia menghendakinya.” (QS. al-ahzab: 24)

Syaikh al-utsaimin rahimahullah berkata, “Itu semua menunjukkan bahwasanya kejujuran adalah perkara yang mulia dan akan mendapat balasan dari Allah, oleh karenanya wajiblah bagi kita untuk jujur, terbuka dan tidak menyembunyikan sesuatu karena basa-basi atau berdebat”

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kalian berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran menghantarkan kepada kebaikan,dan sesungguhnya kebaikan menghantarkan kepada surga, dan apabila seseorang senantiasa berlaku jujur niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta’ala sebagai seorang yang jujur, dan janganlah kalian berdusta karena sesungguhnya dusta menghantarkan kepada kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan menghantarkan kepeda neraka, dan apabila seseorang senantiasa berlaku dusta niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta’ala sebagai seorang pendusta.” (Muttafaqun ‘alaih)

Maka, dari pemaparan di atas jelaslah akan kewajiban berlaku jujur dalam berbagai segi kehidupan, baik dalam konteks sebagai hamba yang berhubungan dengan sang Khaliq, ataupun dalam konteks sebagaimana layaknya manusia dengan sesamanya, seperti jujur dalam memegang amanah kepemimpinan, dalam jual beli, berumah tangga,ber patner dalam bekerja, baik di instansi pemerintahan ataupun swasta, dll. Sehingga tertutuplah pintu kecurangan, penipuan, kecemburuan, prasangka buruk, bahkan KKN sekalipun.

Bahkan lebih dari itu, dalam canda dan tawapun kita dituntut untuk jujur, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Celakalah bagi orang yang berbicara kemudian berdusta agar manusia tertawa dengannya, maka celakalah kemudian celakalah.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh al-Albani.), oleh karena itu kita harus berhati-hati.

Adapun buah dari kejujuran adalah, berikut ini;

Bahwasanya ia menghantarkan kepada kebaikan yang bertepi di surga Allah Ta’ala, mendapat pujian dari Rabb semesta alam, selamat dari sifat munafiq yang selalu berdusta apabila bicara, mendapatkan kepercayaan dari sesamanya, terbentuknya kehidupan yang tentram dan selamat yang tiada penyesalan, Oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggalkanlah yang membuatmu ragu kepada yang tidak ragu. Sesungguhnya jujur itu ketenangan, dan bohong itu keragu-raguan” (HR. at-tirmizi)

Jujur dalam niat dan lisan akan menghantarkan seseorang ke derajat yang tinggi, yaitu derajat syuhada. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa meminta kepada Allah mati syahid dengan penuh kejujuran, niscaya Allah menghantarkannya ke derajat syuhada, walaupun dia mati di atas kasurnya.” (HR. Muslim). Dan faidah lainnya yang tak terhitung.

Berikut ini salah satu contoh yang nyata tentang buah dari kejujuran; kita dapati dalam kitab tarikh, bahwasanya suatu hari sebagaimana biasanya Umar -Amirul Mu’minin- berjalan di malam hari mengontrol keadaan rakyatnya, hingga sampailah dia di dekat suatu rumah, tanpa disengaja beliau mendengar percakapan antara seorang ibu -penjual susu- dengan anak gadisnya, “Tuangkanlah air ke dalam susu ini,” tukas ibu kepada anak gadisnya. Maka sang gadis pun menjawab dengan penuh tatakrama, “Wahai ibu! bukankah Amirul Mu’minin melarang kita dari perbuatan ini?” Sang ibu pun lantas berkilah, “Bukankah tidak ada seorang pun yang mengetahui perbuatan ini? Apalagi Amirul Mu’minin!” Sang gadis pun berusaha meyakinkan sang ibu, “Wahai ibu!, kalaulah seandainya Amirul Mu’minin tidak mengetahui, bukankah Rabbnya Amirul mukminin mengetahui.” Lantas sang ibu pun terdiam. Maka Umar kaget dan bahagia, lantas ia bergegas menuju rumahnya dan menawarkan anaknya untuk menikahi gadis tersebut. Maka dinikahilah anak tersebut oleh ‘Ashim bin umar dan terlahirlah dari pasangan ini seorang anak perempuan yang kelak dinikahi oleh Abdul Malik bin Marwan, dan terlahirlah dari pasangan ini seorang alim yang disebut-sebut sebagai khalifah yang kelima sebagai buah dari kejujuran, dialah Amirul Mu’minin Umar bin Abdul aziz, khalifah yang alim, bertaqwa, zuhud dan adil.

Source : Usaha Iman Yakin