Seperti biasanya, menjelang Dzuhur, Sumaryono, aktivis Muhammadiyah di Kelurahan Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, pergi ke mushalla untuk shalat berjamaah. Yono datang lebih awal karena bertugas mengumandangkan adzan tepat waktu di mushalla yang hanya 500 meter dari rumahnya. Setiba di mushalla yang lokasinya di belakang Stasiun Kereta Api Pondok Kopi ini, Yono melihat buku saku bersampul kuning tergeletak di bawah pintu.
Awalnya, ia mengira buku berjudul “Jalan Tauhid Lurus ke Surga” itu adalah bacaan islami, karena banyak mengutip ayat-ayat al-Qur'an. Tapi setelah meneliti lebih seksama, ternyata isinya menyudutkan Islam, Allah dan Nabi Muhammad saw.
“Ini pasti buku Kristenisasi,” batin Yono. Maka, tanpa pikir panjang, ia mencari orang yang memasukkan buku ini ke mushalla. Di luar hanya ada anak-anak kecil yang memegang selebaran tentang kiamat.
Selebaran ini juga misterius, karena tidak mencantumkan nama dan alamat penerbit. Isinya juga banyak mengutip al-Qur'an dan hadits, tapi menyanjung Yesus sebagai Tuhan dan juruselamat. Maka, Yono menyimpulkan, ”Ini juga Kristenisasi.”
Menurut anak-anak yang sedang main di halaman mushalla itu, buku dan selebaran ditaruh orang yang tak mereka kenal. Anehnya, orang itu memakai baju koko dan peci.
Buku yang berjudul “Jalan Tauhid Lurus ke Surga” ini berisi ajakan untuk beribadah menyembah Yesus Kristus. Ini terlihat pada bagian yang mengajak pembaca untuk menyeleksi para nabi, dimulai dari Ibrahim, Musa, Yesus, sampai Muhammad saw.
Ia menulis, “Sebelum mengikuti satu tokoh, seharusnya dikenali lebih dulu watak tokoh itu, apalagi jika hendak menyembah tokoh tersebut.” (hlm 15).
Ajakan yang sarat kemusyrikan ini bertolak belakang dengan spirit judul yang menawarkan jalan tauhid yakni, beribadah hanya kepada Allah SWT. Memilih nabi manapun sebagai tokoh untuk dijadikan sebagai Tuhan adalah langkah yang salah dalam beragama. Sebab para nabi tak satupun yang memproklamirkan diri sebagai Tuhan. Semua nabi mengajak manusia beribadah dan menyembah pada satu-satunya Tuhan yang haq yaitu Allah SWT.
Nabi Ibrahim mengajak umatnya menyembah Allah yang Maha Menciptakan, Maha Memberi hidayah, Maha Memberi rezeki, Maha mengampuni, Maha menyembuhkan, menghidupkan dan mematikan (QS az-Zukhruf: 27-28, asy-Syu’ara: 78-82). Nabi Musa pun bertauhid pada Allah yang menciptakan bumi, langit dan seluruh isinya (QS asy-Syu’ara: 24, al-A’raf: 121-122). Bandingkan dengan Alkitab (Bibel) tentang ajaran tauhid Nabi Musa (Ulangan 4:35, 4:39, 6:4, dan 32:39).
Nabi Isa (Yesus) juga mengajak umatnya untuk bertauhid menyembah Allah tanpa mempersekutukan dengan sesuatu apapun. Dengan keras beliau menyatakan kafir bagi orang yang menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Semua orang yang mempersekutukan Allah itu haram masuk surga dan akan dimasukkan di neraka (QS al- Ma’idah: 72-73).
Jika berpikir objektif, semestinya penulis buku pemurtadan ini bisa menangkap ajaran tauhid Yesus dalam Bibel. Secara tegas Yesus mengajarkan kepada muridnya bahwa hukum yang paling utama adalah mengesakan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang benar, dan mengakui Yesus bukan sebagai Tuhan tapi utusan Tuhan (Markus 12: 29, Yohanes 17: 3).
Muhammad saw sebagai nabi pamungkas juga mengajarkan tauhid (QS Muhammad 19, as-Syuuraa: 11, al-An’aam: 163, al-Mukminun: 91, an-Nahl: 51, dan lainnya). Jadi, betapa pun hebatnya sang tokoh, tapi ia tidak boleh dijadikan sebagai Tuhan, karena sampai kapan pun tokoh itu adalah makhluk (ciptaan) Tuhan. Maka kekaguman pada seorang tokoh hendaklah dialamatkan pada Tuhan yang memberikan kehebatan (mukjizat) pada tokoh itu.
Mungkin saja, penginjil penulis brosur ini masih rabun imannya, sehingga tidak bisa membedakan antara manusia dengan Allah. Seyogianya ia menelaah buku “Perbedaan Allah dan Tuhan Rekayasa dalam Tinjauan Al-Qur'an.” Dalam buku ini, penulisnya, Muhammad Thalib, menjelaskan 20 karakteristik yang membedakan Allah SWT dengan Tuhan rekayasa atau ciptaan manusia.
Tapi penulis buku kristenisasi ini cukup licik dalam mengelabui pembaca. Agar tidak dituding Kristenisasi, ia tidak mau mengaku sebagai Kristen, melainkan seorang “Ahlul Injil” (penganut Injil). Injil yang dimaksud juga bukan kitab Injil, karena Yesus tidak membawa kitab dan tidak menerima wahyu (firman) Tuhan, karena Yesus itu adalah wujud dari firman Tuhan.
Menurutnya, Injil hanyalah berita suka cita yang disampaikan oleh Yesus (hlm 18).
Tipuan ini sebenarnya menipu diri sendiri, karena pada beberapa bagian ia tidak menutupi iman kekristenannya. Misalnya, ketika mengajak pembaca untuk mengakui doktrin Kristen tentang inkarnasi Tuhan menjadi Yesus:
“Janji setia Ahlul Injil berbunyi: ‘Saya menyembah Tuhan yang menciptakan diriku yakni, Pemilik surga.... yang tampil dalam wujud manusia Yesus Kristus. Amin” (hlm 20).
Menyatakan diri sebagai Ahlul Injil yang berbeda dengan Kristen karena berpedoman pada Injil Yesus, bukan Injil dalam Bibel, adalah kebohongan yang tidak lucu. Karena pada halaman terakhir, ia menyebutkan 7 sikap Ahlul Injil yang semua didasarkan pada Injil Matius, Markus, dan Yohanes. Lantas, apa bedanya Ahlul Injil dengan Kristen? Sami mawon, dong!
Keyakinan bahwa Yesus tidak menerima wahyu (firman) dari Tuhan, semakin membuktikan bahwa misionaris penulis buku saku ini hanyalah teolog abangan yang tidak memahami kitab sucinya sendiri. Apalagi terhadap kitab suci agama lain. Pasalnya, pernyataan misionaris ini dibantah oleh Yesus dalam Bibel: “Sebab segala firman yang Engkau sampaikan kepadaku telah kusampaikan kepada mereka dan mereka telah menerimanya,” (Yohanes 17:8).
Jika Yesus diyakini tidak pernah menerima firman Tuhan karena Yesus adalah wujud inkarnasi firman Tuhan, apakah sabda Yesus dalam Injil Yohanes tersebut harus digadaikan?
Aneh memang. (TIM FAKTA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar