nugroho trisnu brata – trisnubrata@yahoo.com
(Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam 4th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia July 12-15, 2005 di UI Jakarta).
PENDAHULUAN
Makalah ini berusaha mengkaji fenomena gerakan dakwah Islam yang menamakan dirinya “Jama’ah Tabligh”. Komunikasi terjadi antara saya dengan anggota Jama’ah Tabligh ketika mereka secara sengaja mendatangi rumah saya di Yogyakarta. Dalam kurun waktu 8 tahun, sudah sekitar 4 kali Masjid di tempat saya tinggal didatangi oleh Jama’ah Tabligh. Setiap kali anggota Jama’ah Tabligh menginap di Masjid dekat rumah saya, mereka hampir tiap malam datang ke rumah saya dan rumah-rumah tetangga yang bergama Islam. Ada beberapa keunikan yang menjadi identitas Jama’ah Tabligh, mulai dari penampilan, cara berpakaian, kebiasaan keluar rumah untuk berdakwah selama berhari-hari, cara makan bersama, metode berdakwah, hingga menghindari politik dan kekerasan dalam berdakwah Islam.
“Jama’ah” secara harfiah sering disamakan dengan kelompok atau bersama-sama, misalnya sholat berjama’ah artinya sholat bersama-sama yang dipimpin oleh seorang imam dan diikuti oleh para makmum. Kata “tabligh” adalah salah satu sifat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW dari empat sifat beliau (sidiq = benar, amanah = bisa dipercaya, fathonah = cerdas, dan tabligh = menyampaikan). Tabligh atau menyampaikan dalam hal ini adalah menyampaikan dakwah ajaran-ajaran agama Islam kepada orang lain. Hal ini kalau kita bahas tentang asal kata dari Jama’ah Tabligh. Pada aspek penampilan, cara berpakaian para karkun (bhs. India) yaitu para aktifis Jama’ah Tabligh tampak khas.
Para lelaki biasanya berpakaian dominan warna putih dengan baju “Afghani clothes” atau baju Afghanistan yang biasa dipakai oleh orang-orang Afganistan, India, Pakistan, dan Banglades. Ada juga warna baju lain seperti coklat, biru, hitam, dll. Baju ini berlengan panjang, dan menjulur ke bawah sampai lutut dengan belahan disisi kiri bawah dan kanan bawah. Istilah model baju ini saya dengar dari laki-laki pedagang baju di Mekah saat kami sekeluaraga pergi haji ke Mekah pada tahun 1998. Menurut si pedagang baju itu, Afghani clothes berbeda dengan “gamis” yang biasa dipakai oleh para pria Arab. Gamis adalah baju yang menjulur ke bawah sampai hampir menutupi mata kaki, biasanya berwarna putih dan berlengan panjang. Para istri dari karkun ini biasanya berjilbab dan memakai cadar (penutup wajah), mereka lebih banyak tinggal di rumah dan menjadi manajer rumah tangga. Para suami lebih banyak berada di luar rumah untuk mencari rejeki dan berdakwah agama Islam.
Jama’ah Tabligh didirikan oleh Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy pada tahun 1920-an (?) di Uttar Pradesh, India. Sebagian besar pengikutnya berada di India, Pakistan, dan Bangladesh. Sejak 1980-an organisasi dakwah ini melebarkan sayapnya ke Timur Tengah, Asia Tenggara (terutama Indonesia, Malaysia, Thailand), Australia, dan Amerika (Majalah GATRA, 27 November 2004). Walaupun para pengikut Jama’ah Tabligh berasal dari berbagai negara akan tetapi gaya berpakaian mereka cenderung sama yaitu lebih suka memakai Afghani clothes, dari pada memakai gamis.
PEMBAHASAN
Berawal dari sebuah peristiwa saat mengikuti kursus persiapan masuk perguruan tinggi di Yogyakarta, salah satu tentor mengajak dan setengah memaksa kepada saya untuk mendatangi pengajian di Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang Yogya. Saat itu saya tidak mau. Lain waktu tetangga saya juga pernah mengajak dengan setengah memaksa untuk mendatangi pengajian di Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang Yogya. Saya tetap tidak mau dengan berbagai alasan yang saya sampaikan.
Mulai saat itu saya bertanya-tanya di dalam hati, sebenarnya pengajian di tempat itu model pengajian seperti apa ? Apakah sebuah pengajian Islam sempalan seperti yang banyak dibicarakan orang? Pertanyaan itu terjawab setelah beberapa tahun berlalu yaitu pada saat saya telah hampir selesai kuliah di Jurusan Antropologi UGM. Beberapa orang laki-laki dengan baju khas dan sebagian memakai sorban (ikat kepala) dengan membawa alat-alat masak serta perlengkapan makan mohon ijin kepada pemuka masyarakat untuk bermalam sekitar 3 hari di Masjid Kampung saya tinggal.
Ketua Takmir Masjid dan Ketua RW pada awalnya ragu-ragu karena penampilan para pendatang itu terlihat asing, mungkin ada perasaan khawatir dan curiga menghinggapi perasaan para tokoh masyarakat di kampung saya itu. Ketika wakil dari orang-orang asing itu datang ke rumah saya untuk minta ijin kepada saya karena saya sebagai ketua pemuda kampung, saya langsung mengijinkan. Dalam pikiran saya inilah kelompok pengajian yang dahulu setengah memaksa saya untuk bergabung dengan mereka, saat inilah saya bisa tahu lebih banyak keberadaan mereka.
Di depan jama’ah sholat magrib setelah sholat berlangsung, saya katakan bahwa “innamal mukminuna ikhwah, bahwa semua orang Islam itu bersaudara” sehingga saudara yang datang dari jauh perlu disambut kedatangannya. Akhirnya diterimalah mereka menginap di masjid kami, akan tetapi ada juga satu dua warga yang tetap curiga dan menolak mereka walaupun pendapat mereka ini tidak bisa diwujudkan. Kecurigaan terhadap sesama orang Islam ini karena didasari oleh ketidaktahuan, lebih dari itu adalah wacana yang dikembangkan pada jaman Orde Baru bahwa Islam di Indonesia hanya ada 2 yaitu Islam tradisional yaitu NU dan Islam modern yaitu Muhamadiyah.
Dikotomi Islam yang mengkutub pada Gerakan Muhamadiyah dan Nahdhatul Ulama yang menjadi simbol Islam Modernis dan Islam Tradisional selama puluhan tahun telah menjadi wacana baku dalam mengkaji Islam di Indonesia. Orang selalu saja mengkaitkan Islam dengan Muhamadiyah dan NU. Jika ada gerakan atau kelompok di luar Muhamadiyah dan NU maka akan segera dicap sebagai Islam sempalan, dan lebih ekstrem lagi dicap sebagai Islam aliran sesat yang harus dilarang dan dibubarkan. Mengapa Muhamadiyah dan NU menjadi mainstream wacana Islam di Indonesia? Apakah karena jumlah masa yang besar ?
Jawabannya, bahwa Muhamadiyah dan NU selain karena jumlah masanya yang besar, juga karena kedua organisasi Islam itu mau mendukung penguasa Orde Baru. Beberapa orang pemerintah ditempatkan menjadi pengurus di kedua organisasi itu. Penerimaan Pancasila oleh Muhamadiyah dan NU sebagai satu-satunya azas adalah simbol ketundukan kedua organisasi itu terhadap kekuasaan pemerintah Orde Baru. Dalam konteks ini Pancasila diposisikan sebagai totem, atau malah sebagai sebagai “agama” yang dipaksakan oleh oleh pemerintah untuk diterima oleh semua lapisan masyarakat. Pada sebagian orang muslim fenomena itu adalah proses pemusrikan pada orang Islam di Indonesia.
Sejak kekuasaan Orde Baru tumbang pada 21 Mei 1998 yang membuka kran keterbukaan termasuk dalam beragama Islam, mulailah bermunculan gerakan Islam di luar mainstraim NU dan Muhamadiyah. Contoh gerakan itu antara lain; Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi dengan Laskar Jihad-nya, FPI, Majlis Mujahidin, Jama’ah Tabligh, dll. Reformasi 1998 juga telah memutar pendulum wacana Islam di Indonesia dari wacana Islam tradisional vs Islam modern, bergeser menjadi wacana Islam kaaffah vs Islam moderat.
Berbagai kelompok Islam ini–walau tidak semuanya–mewakili sayap Islam kaffah yaitu berusaha mengimplementasikan syariat atau ajaran Islam ke dalam hidup sehari-hari secara kaaffah atau secara utuh dan menyeluruh. Ajaran Islam coba mereka aplikasikan dalam kehidupan di dalam rumah tangga, di dalam proses perdagangan/perniagaan, di kantor, atau di tempat-tempat umum seperti terminal atau bandar udara secara damai dan tidak mengganggu hak-hak orang lain. Sikap toleransi sosial (tasamuh) juga hidup subur di dalam komunitas Islam ini. Di sisi lain seperti NU dan Muhamadiyah dan yang lain menempatkan diri pada posisi Islam moderat, yang ingin menerapkan ajaran atau syariat Islam dengan menyesuaikan kondisi masyarakat kekinian. Gerakan Islam Liberal yang dipelopori oleh Ulil Absar Abdalla di Jakarta juga menjadi fenomena menarik untuk dikaji lebih mendalam pada kesempatan lain.
Jama’ah Tabligh dalam hal ini termasuk pada posisi Islam kaafah. Kelompok-kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia, Salafi, FPI, Majlis Mujahidin, atau Jama’ah Tabligh dll. tidak semuanya berdiri setelah Orde Baru tumbang. Sebagian sudah ada dan berdakwah secara bawah tanah serta melakukan kaderisasi secara intensif, misalnya Gerakan Tarbiyah yang sudah muncul sejak tahun 1970-an secara bawah tanah dan meminjam model pembinaan kader dari model gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Gerakan Tarbiyah ini pada awal kemunculannya di tahun 1998 melalui “wajah” KAMMI (Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia) dengan ketuanya Fahri Hamzah, kader jebolan Gerakan Tarbiyah.
KAMMI yang diback-up para senior Gerakan Tarbiyah bertransformasi menjadi Partai Keadilan (PK). PK tidak mencapai electoral thresshold pada pemilihan umum 1999 sehingga bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Organisasi Salafi juga sudah muncul sejak jaman Orde Baru dengan pusatnya di Pondok Pesantren Ihya’us Sunnah di Sleman Yogyakarta di bawah pimpinan Ustadz Ja’far Umar Tholib. Di bawah Ja’far Umar Tholib organisasi ini menjadi terkenal karena pembentukan Laskar Jihad Ahlus Sunah Wal Jama’ah (ASWJ) yang dikirim ke medan perang di Ambon dan Maluku.
Ada juga Salafi yang berpusat di Pondok Pesantren Jamilurrohman di Jalan Imogiri Bantul Yogyakarta di bawah Ustadz Abu Nida. Jama’ah Tabligh juga sudah muncul sejak jaman Orde Baru, di Yogyakarta pusat aktifitasnya adalah Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang di dekat kampus UGM Yogyakarta. Ini adalah contoh beberapa gerakan atau organisasi yang selamat dari tangan kejam pemerintah Orde Baru. Gerakan Islam atau kelompok Islam yang pernah dihancurkan oleh pemerintah karena dicap sebagai Islam sempalan misalnya adalah kelompok Islam di Lampung yang dipimpin oleh Warsidi. Kelompok ini kemudian diberi stigma sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi, diserbu oleh aparat keamanan dan yang masih hidup dibawa ke pengadilan.
Contoh lain adalah kelompok Haur Koneng di Jawa Barat juga dibubarkan oleh pemerintah, atau Islam Jama’ah yang kemudian berganti nama menjadi LEMKARI dan kini bernama LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Istilah GPK adalah stigma yang dipropagandakan oleh pemerintah orde baru sehingga berlanjut dengan terbentuknya public opinion, bahwa pihak yang dicap sebagai GPK memang musuh pemerintah, musuh negara, dan musuh masyarakat sehingga harus dihancurkan. Ternyata masyarakat biasanya mendukung sikap pemerintah itu. Stigma atau label sebagai GPK identik dengan istilah ekstrimis pada jaman perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949. Rakyat Indonesia yang melawan pemerintah kolonialis Belanda dengan mengangkat senjata dicap sebagai kaum ekstremis oleh penguasa kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia pasca Perang Dunia II.
Istilah ekstremis ini diadopsi oleh pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dengan munculnya stigma ekstrem kiri bagi pihak oposisi yang berbasis pada pemikiran sosialisme dan marxisme, dan ekstrem kanan bagi oposan dengan basis pemikiran dari ajaran Agama Islam. Pada era kekinian terjadi metamorfosis stigma yaitu kaum teroris bagi umat Islam yang berani melawan peradaban Barat dengan mengangkat senjata. Berbagai stigma di muka apabila kita lihat secara teliti ternyata terdapat pola yang sama. Stigma sebagai ektremis, ektrem kanan dan ekstrem kiri, Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), maupun teroris pada dasarnya diciptakan oleh pihak pemegang kekuasaan. Logika kekuasaan di mana kekuasaan yang ada di tangan mereka selalu terancam oleh pihak oposisi, memotivasi para penguasa untuk meniadakan penentangan dan perlawanan dengan cara yang keras dan kejam terhadap para penentang penguasa.
Kaum oposan yang telah berani melawan pemegang kekuasaan karena kekuasaan dianggap telah membelenggu dan menindas mereka, sebelum secara fisik dihancurkan oleh para penguasa maka terlebih dahulu dihancurkan citranya (image-nya) dengan membentuk opini publik. Apabila opini publik telah terbentuk di masyarakat secara luas maka penghancuran fisik seperti penyerbuan oleh aparat keamanan dan menyeret ke pengadilan terhadap para penentang pemerintah ke pengadilan. Di sini opini publik berfungsi sebagai alat legitimasi bagi penindasan oleh penguasa terhadap kaum oposan. Terbentuknya opini publik tidak bisa dilepaskan dari peran media massa baik media massa cetak maupun media massa elektronik. Media massa menjadi jembatan yang menghubungkan dan menyebarluaskan opini dari pembuat opini kepada khalayak.
Opini publik tentang Jama’ah Islamiah (JI) yang dibangun oleh pemerintah Amerika Serikat dan diamini oleh banyak penguasa di berbagai negara di Asia Tenggara, sedikit banyak ternyata mendapat counter opinion (opini tandingan) dari masyarakat Islam secara luas. Diksi atau pilihan kata Jama’ah Islamiyah mungkin saja terdapat maksud untuk menggiring memori masyarakat terhadap organisasi Islam Jama’ah yang berpusat di Kediri, Jawa Timur pada masa Orde Baru. Karena memiliki citra buruk maka Islam Jama’ah berganti nama menjadi LEMKARI, kemudian berubah lagi menjadi LDII sampai sekarang. Sebagai siasat untuk bisa tetap eksis maka LDII berlindung di bawah GOLKAR dan massa LDII menjadi underbow GOLKAR. Jama’ah Islamiyah berbeda dengan Islam Jama’ah yang citranya buruk.
Terlepas ada atau tidak organisasi Jama’ah Islamiyah (JI) di Asia Tenggara, di balik frase Jama’ah Islamiyah terkandung makna bahwa Jama’ah Islamiyah itu artinya adalah kelompok, golongan atau semua orang yang beragama Islam. Ketika Jama’ah Islamiyah yang maknanya secara luas adalah “semua orang Islam”, dicap sebagai kaum teroris maka banyak orang yang buta politik seperti saya, merasa sakit hati terhadap Amerika Serikat dan sekutunya. Umat Islam yang berusaha melaksanakan ajaran Islam secara baik dengan mencintai Allah (hablumminallah) dan mencintai sesama manusia (hablumminannas) mengapa dikatakan sebagai kaum teroris yang menghancurkan kehidupan manusia?
Jama’ah Tabligh yang menjadi sentra kajian tulisan ini juga telah membuktikan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai. Jamaah Tabligh di mata saya adalah sebuah gerakan penyebaran agama Islam yang berusaha terus menerus merekrut anggota dengan jalan persuasif. Selama kurun waktu 8 tahun kelompok jamaah Tabligh ini sudah sekitar 4 sampai 5 kali menginap di masjid kampung saya untuk menyebarkan dakwah Islam. Model dakwah mereka ada yang dinamakan “jaulah” dan “khuruj”. Jaulah adalah berkeliling mendatangi rumah-rumah orang Islam yang terletak di sekitar masjid tempat para karkun itu menginap. Mereka ini bersilaturahmi (menjalin hubungan persaudaraan) dan kemudian menyampaikan kebaikan-kebaikan ajaran Islam. Khuruj adalah keluar atau meninggalkan lingkungan sehari-hari dengan tujuan menyampaikan dakwah Islam. Bisa saja mereka meninggalkan lingkungan tempat tinggal dan keluarga, meninggalkan pekerjaan, dan secara berjamaah pergi ke luar kota, atau keluar propinsi atau bahkan ke luar dari batas negara. Biasanya mereka berkhuruj selama 3 hari dalam satu bulan, 40 hari dalam satu tahun, atau 4 bulan selama seumur hidup.
Para karkun yang sering mengunjungi rumah saya di Yogyakarta sering berdiskusi sampai larut malam tentang berbagai hal terutama yang berhubungan dengan Islam. Mereka ada yang datang dari Yogyakarta, dari Jakarta, dari Lampung, atau dari Medan Sumatera Utara. Mereka berpandangan bahwa Islam adalah sistem hidup yang paling baik, maka berbahagialah orang Islam yang menjalankan ajaran agamanya. Mereka selalu mengajak memeluk ajaran Islam secara kaaffah yaitu menyeluruh, utuh, atau tidak sepotong-sepotong yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. “Udkhullu fisilmi kaaffah = masuklah ke dalam Islam secara kaaffah”, kata mereka dengan mngutip salah satu ayat di dalam Al-Qur’an. Mereka selalu saja tidak henti-hentinya mengajak solat wajib berjamah di masjid bagi laki-laki, selalu berbuat baik kepada sesama manusia tanpa membedakan agama, meninggalkan larangan-larangan agama, dan mereka juga tidak pernah mengatakan bahwa mereka berasal dari organisasi dakwah bernama Jama’ah Tabligh, mereka selalu mengedepankan kesatuan Islam.
Mungkin saja dengan meminggirkan identitas golongan mereka, mereka bertujuan untuk tidak terjebak pada perdebatan antar kelompok-kelompok Islam. Dengan bahasa dan penampilan yang rendah hati dan mempesona lawan bicara, mereka ini selalu menghindarkan diri dari khilafiyah (beda pendapat) dan menghindarkan diri dari siyasah (politik praktis). Walaupun tidak berpolitik praktis, akan tetapi pada saat memilih pemimpin mereka bermusyawarah dan bermufakat. Pemimpin bisa dipilih dengan cara itu, dan bisa diganti dengan cara yang sama. Siapa saja bisa menjadi pemimpin asalkan memiliki sifat-sifat sidiq = benar, amanah = bisa dipercaya, fathonah = cerdas, dan tabligh = menyampaikan. Seperti halnya pada saat solat berjamaah maka siapa saja bisa menjadi imam asalkan bisa melafalkan ayat-ayat Qur’an, dalam kondisi yang baik, dan dianggap mampu oleh makmum.
Dari fenomena Jamaah Tabligh ini apabila ada yang mengatakan bahwa sistem kekuasaan Islam itu anti demokrasi dan otoriter, tentu itu adalah pendapat yang sangat keliru. Sistem demokrasi “masyarakat Barat” seharusnya berani membuka hati bahwa secara antropologis, masyarakat Islam juga memiliki tata cara dan sopan santun dalam berdemokrasi. Masyarakat Islam tidak perlu dipaksa-paksa untuk menganut sistem “demokrasi ala Barat”. Bahkan secara ekstrem mereka orang Islam dicap sebagai kaum teroris yang harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi, hanya karena berusaha mempertahankan identitas sebagai masyarakat muslim.
Untuk kasus ini tentu saja para antropolog sedunia harus ikut turun tangan untuk memberikan penjelasan-penjelasan rasional, sistematis, dan jernih kepada para “pendekar demokrasi” ala Barat mengenai kerangka berpikir masyarakat muslim. Masyarakat muslim tentu tidak akan memerangi masyarakat penganut demokrasi barat apabila masyarakat muslim tidak “diganggu” kehidupannya. Kasus Jamaah Tabligh menunjukkan bahwa mereka selalu menghindari perbedaan pendapat, apalagi yang menjurus pada benturan fisik.
Bayan (ceramah, pengajian) yang disampaikan oleh ustadz tiap sehabis solat berjamaah yang dilakukan secara rutin pada komunitas Jama’ah Tabligh, biasanya berisi 6 hal standar yaitu; 1) keutamaan Laaillahaillallah Muhamadarrosulullah, 2) membesarkan nama Allah dengan cara menjalankan sholat secara khusuk, 3) ilmu dan dzikir, 4) ikram atau memuliakan sesama manusia, 5) mengikhlaskan niat, dan 6) pentingnya setiap muslim melakukan dakwah dan tabligh (Majalah GATRA, 27 November 2004).
Dari materi dakwah ini kita bisa melihat bahwa Jama’ah Tabligh tidak mengajarkan ummat Islam untuk memusuhi orang lain, tetapi selalu mengajarkan kebaikan. Para antropolog jangan mengulangi kesalahan besar seperti yang dilakukan oleh Snouk Horgronye seorang antropolog dari Belanda. Dia menyumbangkan ilmu antropologinya untuk terjadinya pembantaian Rakyat Aceh dan berujung pada penindasan dan penjajahan oleh Belanda terhadap Rakyat Aceh. Penulisan buku “Pedang Samurai dan Bunga Seruni (The Chrysanthemum and The Sword)” oleh seorang antropolog wanita dari Amerika Ruth Benedict, yang kemudian menjadi awal penghancuran Bangsa Jepang pada Perang Dunia II, tidak perlu diulangi oleh para antropolog kekinian.
Para antropolog jangan bersedia menjadi ahli kebudayaan tentang masyarakat Muslim yang telah diberi stigma sebagai teroris, demi kepentingan pemerintah Amerika, yang bisa berujung pada penghancuran masyarakat Muslim.
KESIMPULAN
Jama’ah Tabligh adalah potret dari gerakan dakwah Islam kekinian yang bersifat lintas negara. Islam yang terlihat pada wajah Jama’ah Tabligh adalah santun, rendah hati, dan cenderung menghindari khilafiyah (beda pendapat). Para aktivis Jama’ah Tabligh (karkun) secara rajin dan kontinyu ber-khuruj untuk menyampaikan dakwah Islam dengan cara yang mempesona, agar Islam menjadi sistem hidup para pemeluknya di dalam kehidupan sehari-hari. Agar pemeluk agama Islam melaksanakan ajaran Islam secara kaaffah, secara menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong.