Kalau bicara mengenai kemasyhuran dan keunikan, masjid ini mungkin salah satunya. Masjid ini bukan saja terkenal di Jakarta saja, tapi masyarakat dari berbagai daerah cukup banyak yang mengenalnya, bahkan tidak sedikit jamaahnya berasal dari penjuru dunia.
Masjid yang dimaksud adalah Masjid Kebon Jeruk. Letak masjid ini berada di Jalan Hayam Wuruk No. 85 Kelurahan Tamansari, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat.
Masjid Kebon Jeruk merupakan masjid pertama di kawasan perdagangan dan keramaian bisnis ibu kota, yakni Glodok.
Menurut data dari Dinas Museum dan Pemugaran Provinsi Jakarta, Masjid Kebon Jeruk didirikan oleh seorang Tionghoa Muslim, Chau Tsien Hwu di tahun 1786. Beliau adalah salah seorang pendatang dari Sin Kiang, Tiongkok yang kabur dari negerinya karena ditindas oleh pemerintah setempat.Setelah sampai di Batavia, ia menemukan sebuah surau yang tiangnya telah rusak serta tidak terpelihara lagi. Kemudian di tempat tersebut, ia dan teman-temannya, sesama pendatang dari Tionghoa mendirikan mesjid dan diberi nama Masjid Kebon Jeruk. Alasan diberinya nama Masjid Kebon Jeruk, menurut petugas Istiqbal (humas-red) Masjid Kebon Jeruk, Abdul Salam, karena memang pada waktu itu di daerah ini ditumbuhi banyak pohon jeruk.
“Kata orang-orang dulu, awalnya daerah ini bagus, banyak ditumbuhi pohon-pohon yang rindang. Nggak kayak sekarang, bising dan banyak polusi,” ceritanya kepada SH.
Mesjid Jami’Kebon Jeruk terletak di pinggir Jalan Hayam Wuruk. Menurut sejarahnya didirikan pada tahun 1718. Jauh sebelumnya, tahun 1448 Masehi, di lokasi ini telah berdiri sebuah mesjid kecil, yang lebih tepat disebut surau atau langgar. Bangunannya bundar, beratap daun nipah, bertiang empat, masing-masing penuh dengan ukiran. Siapa saja pendirinya tidak diketahui.
Pada tahun 1718, datanglah seorang Cina bernama Chan tsin Hwa beserta istrinya Fatima hwu ke daerah Kebon Jeruk sekarang ini. Rupanya mereka ini adalah rombongan muhajirin (pengungsi) yang memeluk agama Islam, yang terpaksa meninggalkan negrinya karena terdesak oleh penguasa Dinasti Chien yang menganut agama leluhur mereka, Budha.
Oleh karena itu mereka tidak berniat lagi untuk kembali ke negri leluhurnya, mereka bermukim di sini. Lalu Mendirikan mesjid di lokasi bekas mesjid mungil tersebut tadi. Itulah Mesjid Kebun Jeruk yang sekarang ini.
Menaranya sudah lama runtuh karena memang telah sangat tua. Mimbarnya yang antik terbuat dari kayu kembang, kini masih tersimpan di Museum Fatahillah.
Fatima hwu wafat tahun 1792, dimakamkan di halaman belakang mesjid. Pada nisan bergaya Cina, terdapat pahatan enam aksara cina yang berbunyi :”Hsienpi Chai Men Tsu Mow”, yang berarti “Inilah makam wanita dari keluarga Chai”.
Sedangkan Chan Tsin Hwu, menurut sejarah wafat di Cirebon dan dimakamkan di gunung Sembung.
Tidak berbeda dengan masjid-masjid tua yang lain di nusantara. Di halaman masjid ini juga terdapat sebuah makam. Seorang yang dimakamkan di tempat ini adalah Fatimah Hwu, istri dari Chiau Tsien Hwu. Namun yang unik dari makam ini adalah bentuk nisannya. Nisan ini berbentuk naga dengan tulisan Cina dan pertanggalan Arab.
Selain nilai historisnya, masjid ini menjadi terkenal karena Masjid Kebon Jeruk sebagai pusat kegiatan tabligh dan dakwah Islam di Indonesia. “Seluruh jamaah kami berkumpulnya di sini, lalu kami jadikan masjid ini sebagai markas kegiatan kita untuk wilayah Indonesia,” jelas Abdul Salam.
Ia menjelaskan kegiatan jamaahnya adalah melakukan penyebaran Islam dengan mengunjungi berbagai tempat di seluruh nusantara dan banyak negara. “Kami sama sekali tidak berniat politis. Kami hanya menjalankan kegiatan ini semata-mata mencari ridho Allah,” paparnya.
Makan bersama
Hal yang menarik, selama bulan Ramadhan, banyak jamaah dari berbagai daerah dan negara melakukan seluruh amal ibadahnya di Masjid Kebon Jeruk. Bukan itu saja, SH menjumpai para jamaah melakukan seluruh aktifitas hidupnya, seperti tidur, makan, dan mandi di masjid ini.
Salah satunya Syaefuddin (38), jamaah asal Pekan Baru, Riau, mengaku bahwa ia merasakan ibadahnya menjadi lebih khusu’ kalau beribadah di Masjid Kebon Jeruk.
“Bagi saya masjid ini (Masjid Kebon Jeruk-red) seperti Masjidil Haram yang ada di Mekkah. Banyak amalan yang bisa saya lakukan disini,” ceritanya.
Sedangkan pendapat yang berbeda diutarakan oleh jamaah yang lain. Menurut jamaah asal Brunei, Abdur Razak (31), alasannya melakukan perjalanan ke berbagai tempat di dunia karena diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, surat Attaubah, ayat 11.
“Dalam Al-Qur’an, Allah menyuruh kita untuk melakukan perjalanan di jalan-Nya. Saya senang bisa bertemu dengan saudara-saudara saya, dari berbagai tempat, di sini,” tuturnya.
Ia juga rela mengeluarkan biaya perjalanannya dari kantung pribadinya. “Kami ikhlas mengeluarkan sendiri, karena kami yakin, nantinya segala keikhlasan kita ini akan dibalas berlipat-lipat oleh Allah,” tambahnya.
Namun kegiatan yang paling unik adalah saat berbuka puasa. SH sempat pula mengikuti acara berbuka puasa yang diadakan oleh pihak masjid. Pada waktu berbuka puasa, ada sekitar puluhan kelompok secara bersama-sama menyantap hidangannya dalam satu tampah.
Menurut Abdul Salam, ritual tersebut dijalankan karena disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW. “Soalnya, Rasulullah sering menyantap hidangan berbuka puasa bersama-sama dengan para sahabatnya dalam satu wadah. Dengan cara ini, kita juga merasakan kebersamaan dan Ukhuwah Islamiyah,” jelasnya.
Selain ritual tersebut, ia juga menjabarkan ada dua amalan yang harus dikerjakan oleh para jamaahnya, yakni amalan Infiradhi dan Ijtima’i. Pada amalan infiradhi, setiap orang menjalankan ibadahnya secara sendiri-sendiri, seperti Shalat Dhuha, Shalat Tahajud, Shalat Isra’, membaca Al-Qur’an setiap harinya minimal satu Juz, dan melakukan dzikir sepanjang hari.
Sedangkan amalan Ijtima’i, adalah amalan yang dilakukan secara bersama-sama, seperti menjalankan shalat fardhu, Shalat Tarawih, berbuka puasa dan menghadiri berbagai majelis-majelis. Ia juga menambahkan ada dua majelis yang wajib dihadiri setiap jamaah, yakni Majelis Khurghazi dan Majelis Bayan.
Majelis Khurgazi adalah suatu majelis yang berupa kesaksian seseorang yang baru pulang dari perjalanannya di jalan Allah dan mengajak para jamaah untuk ikut melakukan perjalanan ini. “Biasanya majelis ini diadakan setelah Shalat Ashar sampai jam setengah lima sore,” ungkapnya.
“Setelah Shalat Shubuh dan Tarawih, Majelis Bayan digelar. Dan setiap jamaahnya wajib mendengarkan ceramah-ceramah para ustad. Isi ceramahnya mengenai pentingnya amal shaleh bagi kita,” paparnya.
Banyaknya aktifitas ibadah di Masjid Kebon Jeruk yang dilakukan oleh para jamaahnya, kita harapkan menjadi oase di tengah-tengah keringnya dan pongahnya kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya. (aya – Sinar Harapan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar