05 Maret 2005 sebuah bom meledak di depan
British International School di area City Center Doha Qatar. Seperti
biasa, polisi bergerak cepat mengidentifikasi pelaku. Hasilnya, siapa
pelaku dan gerombolannya akhirnya tertangkap.
Tentu ada yang
berbeda dalam penanganan teroris di Qatar dan Indonesia. Kalau Polisi
Qatar mengekor Polisi Indonesia dalam mengidentifikasi seperti apa
“teroris”, tentu akan sangat kesulitan. Separuh penduduk Qatar,
sehari-hari selalu bersorban dan tentunya berjanggut panjang. Para
Wanitanya juga banyak yang bercadar. Lha apa semua harus dicurigai
seperti statemen Pangdam Diponegoro.
Polisi
Indonesia bukanlah semacam keledai yang selalu jatuh dilubang yang
sama. Setiap ada kejadian bom, steoreotip yang kemudian muncul adalah,
bahwa teroris itu bersorban, berjanggut dan berjubah. Stereotip semacam
itu saya yakin bukan dari aparat kepolisian, tapi lebih dari media
terutama televisi.
Saya
yakin, Pangdam Diponegoro pasti tidak hadir dan tidak melihat siaran
berita televise ketika Kapolri Bambang Hendarso Danuri menunjukkan
foto-foto para pelaku teror. Adakah diantara foto-foto yang dipaparkan
Kapolri menunjukkan seorang yang bersurban, berjanggut bahkan berjubah.
Ketika Imam Samudra, Ali Muklas dan Amrozi ditangkap dulu, adakah
diantara mereka yang bersurban dan berjubah?.
Bukankah
ketika ditangkap Imam Samudra sangat macho dengan kaos CONVERSE. Wah
seharusnya orang berkaos CONVERSE-lah yang kudu diwaspadai. Iya to?
Kembali ke Qatar
Pasca
bom di City Center, Qatar sangat cerdik dalam memerangi teroris. Dan
hasilnya, adalah tidak terulangnya lagi bom-bom meledak di Qatar.
Padahal Qatar adalah target utama para militan di Bumi Arab, karena di
Qatar lah pusat komando dan pangkalan militer Amerika dan terbesar di
timur tengah.
Kerajaan Qatar tidak menjadikan Islam dan
atributnya sebagai musuh, tapi justru menjadikannya sebagai kawan dalam
memerangi kaum radikalis. Salah seorang pencetus kebijakan ini adalah
Pangeran Fahd bin Hamad Al-Thani.
Beliau berhasil meyakinkan
keluarga kerajaan, bahwa jamaah ini tidak akan mencampuri urusan
politik. Dimana beliau memberi contoh pada praktik di India, Pakistan
dan Bangladesh, dimana jamaah tabligh tak pernah sekalipun terlibat
dalam politik praktis.
Pangeran Fahd sendiri adalah seorang simpatisan dan aktivis jamaah tabligh dan pernah berdakwah selama 40 hari di Papua.
Meskipun
tidak memiliki nama resmi, symbol dan cirri-ciri sebagaimana lazimnya
organisasi. Tapi sistem didalam jamaah tabligh sangat solid, efisien,
dinamis dan accountable.
Saya yakin, tidak ada satu pun lembaga
atau bahkan organisasi di tanah Jawa yang mengetahui dengan pasti
jumlah masjid di Pulau Jawa. Tapi Jamaah Tabligh, mereka tidak hanya
tahu berapa jumlahnya, tapi bahkan mendata dengan detil berapa jumlah
orang yang sholat dan tidak sholat disekitar masjid. Mana yang pro dan
kontra. Pokoknya data mengenai bagaimana kondisi dan situasi umat Islam
setempat komplit sekomplitnya.
Kerajaan Qatar dengan cerdik
memanfaatkan ketelitian Jamaah Tabligh ini. Selain untuk mematai-matai
pergerakan faham Islam Teroris, juga untuk mempersempit ruang gerak
mereka. Karenanya di Qatar ada sebuah nasehat umum “Ikut jamaah tabligh
atau diam!”, karena mencerca jamaah tabligh berarti mencerca Kerajaan.
Orang-orang
jamaah tabligh ini emang “kurang ajar”, jika mereka bergerak disuatu
kampung, dan melihat ada orang yang potensial, mencurigakan, menentang
bahkan orang asing, maka selama 2 atau 3 hari berturut-turut akan
selalu “dikejar” oleh jamaah tabligh.
Lalu di malam hari mereka
akan menyebut nama orang tersebut dalam do’a sholat tahajjud selama
3hari 3malam dengan tangisan yang menyayat hati.
Maka jangan
heran, bila ada preman bisa berubah 100 derajat padahal hidup mereka
sebagai jamaah tabligh juga masih sama saja secara ekonomi. Bukan
karena doktrin, tapi doa yang dibumbui dengan keikhlasan. Dan bukan
hanya seorang, tapi bisa belasan orang.
Percayalah, para kaum
teroris itu tidak akan bisa jauh dari masjid. Terbukti, Dani sang
bomber terbaru, direkrut oleh Saefuddin Jaelani di Masjid. Di
Indonesia, memang tidak semua masjid mau menerima jamaah tabligh, tapi
setidaknya itu tidak menghalangi kepolisian Indonesia untuk meniru
kepolisian Qatar dalam mempersempit ruang gerak teroris.
Hasil
kebijakan kerajaan Qatar bisa dilihat, tak ada lagi bom meledak di
Qatar. Padahal arus imigran ke Qatar semakin deras, banyak diantara
mereka yang berasal dari Pakistan, Afghanistan dan Mesir yang terkenal
radikal.
Ditambah lagi kebijakan kerajaan juga semakin sekuler,
terbukti dengan berdirinya Gereja Katolik Terbesar di Timur Tengah yang
diresmikan pada tahun 2007. Ditambah lagi laju inflasi yang mencapai
rata-rata 13% perbulan, sedangkan gaji dari perusahaan meskipun
kelihatan banyak di negeri asal, tapi sangat tidak mencukupi untuk hidup
di Qatar yang sangat mahal.
Tapi semua aktifitas para radikalis
tersebut, selalu terekam oleh gerak jamaah tabligh, baik yang baru
datang yang lama bermukim atau bahkan yang sering berpindah-pindah
rumah pun terekam.
Melawan teroris dengan senjata hanya akan
semakin menebalkan keyakinan mereka. Sedangkan berharap agar mereka
berpindah faham ke yang lebih moderat lewat ceramah para da’i-da’i
panggung juga percuma. Bagi mereka, dai – dai di televisi tak ubahnya
badut…. oohh jamaah
Maka
jalan yang terbaik adalah, biarkan mereka tetap dalam
ke-fundamentalisme-nya dan dalam jihadnya. Tapi jihad yang berbeda,
yaitu Jihad Tabligh: Jihad tentang memikirkan Islam, menyampaikan Islam,
menyebarkan Islam dan menghidupkan Islam. Bukan jihad perang atau
jihad balas dendam atau jihad membela Tuhan sebagaimana faham teroris.
Ada
hikmah menarik ketika Gus Dur duduk satu meja dengan Gus Ron salah
seorang syura jamaah tabligh Indonesia. Gus Dur berkata bahwa tidak
mungkin Indonesia akan menang bila perang melawan Amerika. Dijawab oleh
Gus Ron, “makanya kita kirim jamaah dan berdakwah disana, kita
Islamkan Amerika bukan malah kita perangi”
Mantan Kapolda Jawa
Timur, Anton Bahrul Alam, memiliki kebijakan yang hampir serupa dengan
kerajaan Qatar. Sebulan setelah dilantik dia telah mengunjungi hampir
seratus masjid. Alasan dia kepada public adalah sederhana. “Ingin
polisi yang seperti bandit atau polisi yang seperti malaikat?”.
Saya
yakin, disamping bermaksud untuk bersilaturrahmi, beliau juga pasti
ingin menghidupkan masjid sebagai sel-sel penting untuk menciptakan
keamanan. Baik dari kejahatan maupun dari teroris.
Polisi
seharusnya mencermati adanya permusuhan antara Jamaah Teroris dengan
Jamaah Tabligh. Hemat saya, Bom JW.Marriot dan Ritz Carlton (2009)
tidak hanya ditujukan untuk mengacaukan Pilpres dan Kedatangan MU. Tapi
disaat yang bersamaan, juga sedang berlangsung pertemuan akbar jamaah
tabligh yang dihadiri hampir 300.000 manusia di Serpong, Jakarta.
Hasilnya, hanya kedatangan MU yang berhasil digagalkan. Sedang acara di Serpong tetap jalan terus selama tiga hari tiga malam.
Untuk
Pangdam Diponegoro atau Kapolda Jawa Tengah, jika ingin menangkap
banyak-banyak jamaah tabligh. Tinggal tunggu saja malam jum’at, datangi
markaz tabligh yang ada di Magelang, Solo dan Semarang lalu ciduk
semua, beres to.
Tapi, kalau ingin mempersempit ruang gerak
teroris di Jawa Tengah, Kapolda sama Pangdam nggak usah malu-malu.
Minta saja kepada setiap markaz tabligh untuk menggerakkan jamaah ke
setiap mahalla (daerah terkecil dalam administrasi jamaah tabligh).
Intinya,
tirulah Kapolda Jawa Timur (waktu itu), Anton Bahrul Alam. Yang Sukses
menggerakkan masjid sebagai mata dan telinga aparat bukan malah memasang
mata dan telinga aparat mengawasi masjid.
source :
RODA2