Senin, 20 Agustus 2012

Mau Tangkap Teroris, Kerja samalah dengan Jamaah Tabligh !

05 Maret 2005 sebuah bom meledak di depan British International School di area City Center Doha Qatar. Seperti biasa, polisi bergerak cepat mengidentifikasi pelaku. Hasilnya, siapa pelaku dan gerombolannya akhirnya tertangkap.

Tentu ada yang berbeda dalam penanganan teroris di Qatar dan Indonesia. Kalau Polisi Qatar mengekor Polisi Indonesia dalam mengidentifikasi seperti apa “teroris”, tentu akan sangat kesulitan. Separuh penduduk Qatar, sehari-hari selalu bersorban dan tentunya berjanggut panjang. Para Wanitanya juga banyak yang bercadar. Lha apa semua harus dicurigai seperti statemen Pangdam Diponegoro.

Polisi Indonesia bukanlah semacam keledai yang selalu jatuh dilubang yang sama. Setiap ada kejadian bom, steoreotip yang kemudian muncul adalah, bahwa teroris itu bersorban, berjanggut dan berjubah. Stereotip semacam itu saya yakin bukan dari aparat kepolisian, tapi lebih dari media terutama televisi. :twisted:

Saya yakin, Pangdam Diponegoro pasti tidak hadir dan tidak melihat siaran berita televise ketika Kapolri Bambang Hendarso Danuri menunjukkan foto-foto para pelaku teror. Adakah diantara foto-foto yang dipaparkan Kapolri menunjukkan seorang yang bersurban, berjanggut bahkan berjubah. Ketika Imam Samudra, Ali Muklas dan Amrozi ditangkap dulu, adakah diantara mereka yang bersurban dan berjubah?.



Bukankah ketika ditangkap Imam Samudra sangat macho dengan kaos CONVERSE. Wah seharusnya orang berkaos CONVERSE-lah yang kudu diwaspadai. Iya to? :mrgreen:

Kembali ke Qatar
Pasca bom di City Center, Qatar sangat cerdik dalam memerangi teroris. Dan hasilnya, adalah tidak terulangnya lagi bom-bom meledak di Qatar. Padahal Qatar adalah target utama para militan di Bumi Arab, karena di Qatar lah pusat komando dan pangkalan militer Amerika dan terbesar di timur tengah.

Kerajaan Qatar tidak menjadikan Islam dan atributnya sebagai musuh, tapi justru menjadikannya sebagai kawan dalam memerangi kaum radikalis. Salah seorang pencetus kebijakan ini adalah Pangeran Fahd bin Hamad Al-Thani.

Beliau berhasil meyakinkan keluarga kerajaan, bahwa jamaah ini tidak akan mencampuri urusan politik. Dimana beliau memberi contoh pada praktik di India, Pakistan dan Bangladesh, dimana jamaah tabligh tak pernah sekalipun terlibat dalam politik praktis.

Pangeran Fahd sendiri adalah seorang simpatisan dan aktivis jamaah tabligh dan pernah berdakwah selama 40 hari di Papua.



Meskipun tidak memiliki nama resmi, symbol dan cirri-ciri sebagaimana lazimnya organisasi. Tapi sistem didalam jamaah tabligh sangat solid, efisien, dinamis dan accountable.

Saya yakin, tidak ada satu pun lembaga atau bahkan organisasi di tanah Jawa yang mengetahui dengan pasti jumlah masjid di Pulau Jawa. Tapi Jamaah Tabligh, mereka tidak hanya tahu berapa jumlahnya, tapi bahkan mendata dengan detil berapa jumlah orang yang sholat dan tidak sholat disekitar masjid. Mana yang pro dan kontra. Pokoknya data mengenai bagaimana kondisi dan situasi umat Islam setempat komplit sekomplitnya.

Kerajaan Qatar dengan cerdik memanfaatkan ketelitian Jamaah Tabligh ini. Selain untuk mematai-matai pergerakan faham Islam Teroris, juga untuk mempersempit ruang gerak mereka. Karenanya di Qatar ada sebuah nasehat umum “Ikut jamaah tabligh atau diam!”, karena mencerca jamaah tabligh berarti mencerca Kerajaan.

Orang-orang jamaah tabligh ini emang “kurang ajar”, jika mereka bergerak disuatu kampung, dan melihat ada orang yang potensial, mencurigakan, menentang bahkan orang asing, maka selama 2 atau 3 hari berturut-turut akan selalu “dikejar” oleh jamaah tabligh.

Lalu di malam hari mereka akan menyebut nama orang tersebut dalam do’a sholat tahajjud selama 3hari 3malam dengan tangisan yang menyayat hati.

Maka jangan heran, bila ada preman bisa berubah 100 derajat padahal hidup mereka sebagai jamaah tabligh juga masih sama saja secara ekonomi. Bukan karena doktrin, tapi doa yang dibumbui dengan keikhlasan. Dan bukan hanya seorang, tapi bisa belasan orang.

Percayalah, para kaum teroris itu tidak akan bisa jauh dari masjid. Terbukti, Dani sang bomber terbaru, direkrut oleh Saefuddin Jaelani di Masjid. Di Indonesia, memang tidak semua masjid mau menerima jamaah tabligh, tapi setidaknya itu tidak menghalangi kepolisian Indonesia untuk meniru kepolisian Qatar dalam mempersempit ruang gerak teroris.

Hasil kebijakan kerajaan Qatar bisa dilihat, tak ada lagi bom meledak di Qatar. Padahal arus imigran ke Qatar semakin deras, banyak diantara mereka yang berasal dari Pakistan, Afghanistan dan Mesir yang terkenal radikal.

Ditambah lagi kebijakan kerajaan juga semakin sekuler, terbukti dengan berdirinya Gereja Katolik Terbesar di Timur Tengah yang diresmikan pada tahun 2007. Ditambah lagi laju inflasi yang mencapai rata-rata 13% perbulan, sedangkan gaji dari perusahaan meskipun kelihatan banyak di negeri asal, tapi sangat tidak mencukupi untuk hidup di Qatar yang sangat mahal.
Tapi semua aktifitas para radikalis tersebut, selalu terekam oleh gerak jamaah tabligh, baik yang baru datang yang lama bermukim atau bahkan yang sering berpindah-pindah rumah pun terekam.
Melawan teroris dengan senjata hanya akan semakin menebalkan keyakinan mereka. Sedangkan berharap agar mereka berpindah faham ke yang lebih moderat lewat ceramah para da’i-da’i panggung juga percuma. Bagi mereka, dai – dai di televisi tak ubahnya badut…. oohh jamaah :mrgreen:
Maka jalan yang terbaik adalah, biarkan mereka tetap dalam ke-fundamentalisme-nya dan dalam jihadnya. Tapi jihad yang berbeda, yaitu Jihad Tabligh: Jihad tentang memikirkan Islam, menyampaikan Islam, menyebarkan Islam dan menghidupkan Islam. Bukan jihad perang atau jihad balas dendam atau jihad membela Tuhan sebagaimana faham teroris.

Ada hikmah menarik ketika Gus Dur duduk satu meja dengan Gus Ron salah seorang syura jamaah tabligh Indonesia. Gus Dur berkata bahwa tidak mungkin Indonesia akan menang bila perang melawan Amerika. Dijawab oleh Gus Ron, “makanya kita kirim jamaah dan berdakwah disana, kita Islamkan Amerika bukan malah kita perangi”

Mantan Kapolda Jawa Timur, Anton Bahrul Alam, memiliki kebijakan yang hampir serupa dengan kerajaan Qatar. Sebulan setelah dilantik dia telah mengunjungi hampir seratus masjid. Alasan dia kepada public adalah sederhana. “Ingin polisi yang seperti bandit atau polisi yang seperti malaikat?”.

Saya yakin, disamping bermaksud untuk bersilaturrahmi, beliau juga pasti ingin menghidupkan masjid sebagai sel-sel penting untuk menciptakan keamanan. Baik dari kejahatan maupun dari teroris.

Polisi seharusnya mencermati adanya permusuhan antara Jamaah Teroris dengan Jamaah Tabligh. Hemat saya, Bom JW.Marriot dan Ritz Carlton (2009) tidak hanya ditujukan untuk mengacaukan Pilpres dan Kedatangan MU. Tapi disaat yang bersamaan, juga sedang berlangsung pertemuan akbar jamaah tabligh yang dihadiri hampir 300.000 manusia di Serpong, Jakarta.
Hasilnya, hanya kedatangan MU yang berhasil digagalkan. Sedang acara di Serpong tetap jalan terus selama tiga hari tiga malam.

Untuk Pangdam Diponegoro atau Kapolda Jawa Tengah, jika ingin menangkap banyak-banyak jamaah tabligh. Tinggal tunggu saja malam jum’at, datangi markaz tabligh yang ada di Magelang, Solo dan Semarang lalu ciduk semua, beres to.
Tapi, kalau ingin mempersempit ruang gerak teroris di Jawa Tengah, Kapolda sama Pangdam nggak usah malu-malu. Minta saja kepada setiap markaz tabligh untuk menggerakkan jamaah ke setiap mahalla (daerah terkecil dalam administrasi jamaah tabligh).



Intinya, tirulah Kapolda Jawa Timur (waktu itu), Anton Bahrul Alam. Yang Sukses menggerakkan masjid sebagai mata dan telinga aparat bukan malah memasang mata dan telinga aparat mengawasi masjid.

source : RODA2

1 komentar:

  1. Mudah-mudahan kita pada sadar dan taat kepada Alloh SWT serta takut dengan azabNya.

    BalasHapus