Selasa, 07 Januari 2014

Kebiasaan Hiruk Pikuk Perayaan Tahun Baru yang Kehilangan Makna Intinya

* Oleh: H.Rd. Lasmono Dyar  

Pembaca yang budiman, setiap pergantian tahun, pencurahan harapan kepada sesuatu yang akan merubah keadaan tahun sebelumnya, dilimpahkan melalui pesta yang ramai yang merupakan kebiasaan dari masa ke masa. Apa sebenarnya makna dari pelimpahan kegembiraan itu, yang seakan-akan membawakan perubahan besar yang kita harapkan semua, tapi pada kenyataannya, hanya merupakan “batas waktu” yang “imajinatif” saja, dan tak dapat “dilihat” serta “dirasakan” kenyataannya.

Berabad-abad kita melalui kebiasaan-kebiasaan telah melaksanakan suatu kejadian, yang melalui waktu, dijadikan hal yang intinya sudah “kabur” dan hanya merupakan peristiwa memperingati yang indah pada masa lampau. Begitu peristiwa telah melewati titik kejenuhan, kehidupan akan jalan terus dengan masih terikatnya kita pada kejadian-kejadian masa lampau, yang masih memenuhi pikiran-pikiran kita. Disini dapat dipertanyakan, apakah sebenarnya yang digandrungi manusia pada peristiwa yang memberikan “angan-angan” dapat melepaskan diri dari kengkangan masa lalu ?

Dalam yang ditanggapi sebagai “Tahun Baru”, niat yang baik akan segera hilang, kabur dilanda oleh masalah “Tahun  Lalu” yang belum dapat diselesaikan. Dan hal itu akan terus berlangsung, apabila bentuk serta kekuatan “Niat” tidak dipupuk dengan suatu kekuatan “dahsyat” yang hanya bernuansa “positif” saja tanpa bisa pupus oleh godaan-godaan yang dari tahun ke tahun “tak dapat memperlihatkan niat seperti itu”. Membangun niat baru yang positif, memang tidak mudah, karena terkekang oleh suatu kebiasaan yang menjadi suatu “Budaya” umum kini, seperti penipuan dengan cara apapun, kebohongan, kedustaan dan lain-lain sifat yang akan selalu merugikan.

Kita kelihatan belum mampu untuk menanyakan pada diri sendiri, kapan akan berhenti dengan melaksanakan dan menggunakan sifat-sfat yang buruk seperti yang dikemukakan diatas itu. Kebiasaan memang dipupuk dari suatu percontohan yang berulang kali ditunjukan sebagai sesuatu yang mudah diperoleh. Antara lain memupuk harta yang berlebihan dengan cara-cara terang-terangan maupun tersembunyi.

Pada masyarakat yang masih ragu, maka korupsi dan kolusi dilaksanakan secara tersembunyi oleh mereka yang berkesempatan untuk itu. Masyarakat yang sudah terkontaminasi dengan kekotoran, maka tindakan-tindakan negatif itu dilaksanakan secara terbuka. Pada ukuran masyarakat yang mana bangsa kita kini bisa dikategorikan ? Dunia luar telah mempunyai tanggapan yang berkonotasi negatif untuk itu, serta membandingkannya dengan negara-negara disekeliling kita.

Dapatkah para pembaca menentukan sikap dalam hal seperti ini?  Beranikah ? Bersatukah ? Apa lalu tindakan yang harus kita laksanakan untuk memberantasnya ? Bagi mereka yang sedang berkuasa dan memegang tampuk pumpinan, tindakan keras yang dilaksanakan untuk mengadakan perlawanan pada yang tidak halal, akan dicap sebagai sesuatu yang “makar”, melawan keteraturan serta ketentraman yang ada. Apa lalu tindakan yang harus kita laksanakan untuk memberantasnya ? Demikianlah kejadiannya yang makin lama makin ditanggapi sebagai sesuatu yang !!!

Adakah cara lain ? Apakah kita hanya berpedoman pada suatu tindakan fisik ? Pencetusan mental yang diterjemahkan dalam atau bentuk susunan kata-kata,, apakah hal itu ampuh ? Kita telah mengenal banyak perdebatan-perdebatan disuatu kelompok manusia yang akhirnya menjadi peristiwa baku hantam. Begitukah penyelesaian ingin dicapai melalui paksaan ? Bagaimana lalu ? Tindakan apa lagi yang dapat dipengaruhkan kepada mereka yang sedang dan karena jiwanya sudah setengah bobrok atau bobrok sama sekali, segala “pola emosi negatif” yang timbul dalam dirinya, melaksanakan hal-hal yang bertentangan dengan semua ajaran budi pekerti ?

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang ditimbulkan oleh sebagian besar mesyarakat yang  ingin merubah situasi tapi tidak mempunyai kekuasaan untuk itu.....dan tak pula pada diri sendiri. Hal rasa tidak kuasa itulah yang memberikan kita >stres< dan akan berakhir menjadi “depresi”. Seorang yang depressif, tidak mempunyai gairah untuk hidup dan juga sangat rentan terhadap gejala ingin bunuh diri.

Satu hal yang harus kita akui, yaitu bahwa Otak Kiri, dengan segala kemampaun serta keterbatasannya, sudah tidak akan mungkin menyelesaikan banyak masalah yang ditimbulkan, karena adanya salah pengelolaan dari dalam diri kita. Suatu pengelolaan atau “management” dari arus pencetusan pikiran, memang juga tergantung erat dari kesadaran kita, melalui suatu kepekaan untuk mengetahui unsur-unsur yang ditimbulkan dalam arus pemikiran itu. Tanpa mendapatkan pendikan yang sifatnya “subyektif”, mustahil akan terdapat kebersihan dari pengelolaan itu.

Terkadang, memang kita mempunyai saat-saat berada dalam kondisi Alpha atau santai mendalam, yang ditandai dengan suatu kejernihan dalam menentukan arus pikiran. Karena tidak ada >pengendalian<, maka hal itu tak dapat diandalkan berlangsung lama, karena juga dipengaruhi oleh adanya usulan-usulan yang bisa memberikan kita rasa bingung dengan akibat melepaskan hal-hal yang tadinya telah dirasakan baik. Hal itu membuktikan, bahwa manusia memang mempunyai kelemahan dalam kondisi bangun sadar, karena kemampuan dan kekuatan kondisi Beta, tidak setegar bila kondisinya adalah Alpha.

Apalagi adanya banyak gangguan-gangguan yang dinamakan “provokasi”, yang dapat mengalihkan tjuan positif menjadi kebalikannya. Melatih suatu kebiasaan secara >sadar< dan >sengaja<, akan memberikan kita suatu cara yang sangat berharga serta ampuh, dalam merubah diri untuk mengatur kewaspadaan kita pada suatu tingkatan yang opitmal. Banyak diantara kita memang mengetahui dan menginginkan adanya kualitas seperti itu pada diri masing-masing, tapi belum mengetahui cara yang sebenarnya dan yang berlaku bagi setiap manusia atau umum.

Dari penyelidikan atau investigasi yang seksama, banyak cendekiawan kini sudah memahami, bahwa segala sesuatu yang menyangkut kesehatan, keterampilan berfikir, intuisi dan kepekaan serta banyak hal yang memberikan kejelasan mengenai hal bagaimana seharusnya menjalankan kehidpan itu, tergantung dari manusia itu sendiri, yang mampu meningkatkan unsur-unsur pengawasan pada diri sendiri. Disinilah >Pendidikan Jiwa< sangat berperan!

Karena, tidak mampu melaksanakan pengawasan itu, terletak pada suatu “Motivasi” yang didukung oleh keinginan besar, keyakinan tuntas serta harapan pasti, yang kini secara luas dan umum digerogoti dengan kata-kata mudah-mudahan. Apakah efek dari kata-kata itu pada diri kita ? Efeknya adalah maju-mundurnya suatu usaha yang sedang dialankan, yang menjadi “tidak pasti”. Takut mendahului Tuhan? Ketanuilah, para pembaca bahwa tak seorang pun yang akan mampu melaksanakan pendahuluan itu.

Sejak kecil kita diberi tahu, bahwa kita tidak bisa apa-apa bila tidak mendapatkan IZIN dari Beliau, seakan-akan kita tidak di-Ciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan suatu kemampuan dalam menentukan NASIB. Hal itu masih kurang difahami mengenai makna serta kenyataannya. Bila kita tidak ingin mandi untuk beberapa hari, misalnya, maka hal itu bukan merupakan sesuatu yang diurusi oleh Yang Maha Kuasa. Contoh yang sederhana, tapi nyata, bahwa hasilnya adalah badan yang gatal-gatal, rasa lesu seharian, merasa tidak nyaman, bau dan lain sebagainya.

Suatu pemeliharaan tergantung dari kita, manusaitu sendiri, bukan   Tuhan. Dapatkah para pembaca memahami hal yang penulis ungkapkan ini ? Juga menentukan hendak makan, tergantung dari manusia serta mendapatkan  kesempatan-kesempatan untuk kita dalam menentukan nasib, kodrat dan takdir. Kodrat memberikan kita kesempatan-kesempatan yang sesuai dengan BAKAT yang akan memenuhi “Urut-duduk takdir” yang memang telah diciptakan oleh Tuhan dalam Hukum Alam dengan keteraturan serta ketentuan-Nya melalui timbal-balik yang menjadi sesuatu yang akan menyangkut semua tindakan makhluk, tanpa pandang bulu, sejak manusia di-Ciptakan ratusan jutaan tahun yang lau pada planet bumi ini.

Kurang mewaspadai ketentuan itu serta meremehkan ketidak percayaan akan efeknya, bisa menjerumuskan kita pada lembah kesengsaraan, karena ulah kita sendiri, bukan merupakan “cobaan” dari Tuhan. Bila kita terus menerus melaksanakan pernyataan kita, maka sepertinya kita menyalahkan Maha Pencipta kita dalam memberikan kita suatu cobaan. Persepsi serta pengertian seperti itu, lambat laun akan ketahuan dan akan memberikan kebenarannya, bila kita sudah mampu meningkatkan kesadaran kita dalam menggunakan secara . Dengan demikian akan mengadakan penggunaan fungsi Otak bagian Kanan yang konotasinya selalu positif dan tidak pernah kebalikanya. Bila diantara para pembaca belum juga bisa memahami hal itu, maka sudah pasti berfikir dengan kondisi ketidak seimbangan, karena belum mampu mengendalikan fungsi Otak bagian Kanan.

Kita semua diciptakan dengan kesempurnaan yang tak dapat disangsikan lagi oleh Maha Pencipta serta Yang Maha Sempurna. Bangunkanlah keberhasilan kita dengan lebih mengenal serta mengetahui, dimana sebenarnya Yang Maha Kuasa berada. Tidakkah kita merasakan hati nurani kita yang selalu “berbicara” , memberikan kita bimbingan melalui intuisi yang sering kali kita tak acuhkan atau remehkan, dengan demikian menjerumuskan kita pada perhitungan, analisa serta perekayasaan dari penangkapan kita yang sangat terbatas, yang ditimbulkan oleh fungsi Otak bagian Kiri.

Waspadailah dan sadarilah hal itu, dan Anda akan melangkah lebih maju daripada masa lalu. Apapun yang diputuskan untuk bertindak, pada intinya adalah menentukan nasib Kita sendiri. Demikianlah kenyataan yang selama ini terjadi pada diri manusia masing-masing.(Ijs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar