* Oleh: H.Rd. Lasmono Dyar  
Pembaca yang budiman, setiap pergantian tahun, pencurahan harapan 
kepada sesuatu yang akan merubah keadaan tahun sebelumnya, dilimpahkan 
melalui pesta yang ramai yang merupakan kebiasaan dari masa ke masa. Apa
 sebenarnya makna dari pelimpahan kegembiraan itu, yang seakan-akan 
membawakan perubahan besar yang kita harapkan semua, tapi
 pada kenyataannya, hanya merupakan “batas waktu” yang “imajinatif” 
saja, dan tak dapat “dilihat” serta “dirasakan” kenyataannya.
Berabad-abad kita melalui kebiasaan-kebiasaan telah melaksanakan 
suatu kejadian, yang melalui waktu, dijadikan hal yang intinya sudah 
“kabur” dan hanya merupakan peristiwa memperingati yang indah pada masa 
lampau. Begitu peristiwa telah melewati titik kejenuhan, kehidupan akan 
jalan terus dengan masih terikatnya kita pada kejadian-kejadian masa 
lampau, yang masih memenuhi pikiran-pikiran kita. Disini dapat 
dipertanyakan, apakah sebenarnya yang digandrungi manusia pada peristiwa
 yang memberikan “angan-angan” dapat melepaskan diri dari kengkangan 
masa lalu ?
Dalam yang ditanggapi sebagai “Tahun Baru”, niat yang baik akan 
segera hilang, kabur dilanda oleh masalah “Tahun  Lalu” yang belum dapat
 diselesaikan. Dan hal itu akan terus berlangsung, apabila bentuk serta 
kekuatan “Niat” tidak dipupuk dengan suatu kekuatan “dahsyat” yang hanya
 bernuansa “positif” 
saja tanpa bisa pupus oleh godaan-godaan yang dari tahun ke tahun “tak 
dapat memperlihatkan niat seperti itu”. Membangun niat baru yang 
positif, memang tidak mudah, karena terkekang oleh suatu kebiasaan yang 
menjadi suatu “Budaya” umum kini, seperti penipuan dengan cara apapun, kebohongan, kedustaan dan lain-lain sifat yang akan selalu merugikan.
Kita kelihatan belum mampu untuk menanyakan pada diri sendiri, kapan 
akan berhenti dengan melaksanakan dan menggunakan sifat-sfat yang buruk 
seperti yang dikemukakan diatas itu. Kebiasaan memang dipupuk dari suatu
 percontohan yang berulang kali
 ditunjukan sebagai sesuatu yang mudah diperoleh. Antara lain memupuk 
harta yang berlebihan dengan cara-cara terang-terangan maupun 
tersembunyi.
Pada masyarakat yang masih ragu, maka korupsi dan kolusi dilaksanakan
 secara tersembunyi oleh mereka yang berkesempatan untuk itu. Masyarakat
 yang sudah terkontaminasi dengan kekotoran, maka tindakan-tindakan 
negatif itu dilaksanakan secara terbuka. Pada ukuran masyarakat yang 
mana bangsa kita kini bisa dikategorikan ? Dunia luar telah mempunyai tanggapan yang berkonotasi negatif untuk itu, serta membandingkannya dengan negara-negara disekeliling kita.
Dapatkah para pembaca menentukan sikap dalam hal seperti ini? 
 Beranikah ? Bersatukah ? Apa lalu tindakan yang harus kita laksanakan 
untuk memberantasnya ? Bagi mereka yang sedang berkuasa dan memegang 
tampuk pumpinan, tindakan keras yang dilaksanakan untuk mengadakan 
perlawanan pada yang tidak halal, akan dicap sebagai sesuatu yang 
“makar”, melawan keteraturan serta ketentraman yang ada. Apa lalu 
tindakan yang harus kita laksanakan untuk memberantasnya ? Demikianlah 
kejadiannya yang makin lama makin ditanggapi sebagai sesuatu yang !!!
Adakah cara lain ? Apakah kita hanya berpedoman pada suatu tindakan 
fisik ? Pencetusan mental yang diterjemahkan dalam atau bentuk susunan 
kata-kata,, apakah hal itu ampuh ? Kita telah mengenal banyak 
perdebatan-perdebatan disuatu kelompok manusia yang akhirnya menjadi 
peristiwa baku hantam. Begitukah penyelesaian ingin dicapai melalui 
paksaan ? Bagaimana lalu ? Tindakan apa lagi yang dapat dipengaruhkan 
kepada mereka yang sedang dan karena jiwanya sudah setengah bobrok atau 
bobrok sama sekali, segala “pola emosi negatif” yang timbul dalam 
dirinya, melaksanakan hal-hal yang bertentangan dengan semua ajaran budi
 pekerti ?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang ditimbulkan oleh sebagian besar 
mesyarakat yang  ingin merubah situasi tapi tidak mempunyai kekuasaan 
untuk itu.....dan tak pula pada diri sendiri. Hal rasa tidak kuasa 
itulah yang memberikan kita >stres< dan akan berakhir menjadi 
“depresi”. Seorang yang depressif, tidak mempunyai gairah untuk hidup 
dan juga sangat rentan terhadap gejala ingin bunuh diri.
Satu hal yang harus kita akui, yaitu bahwa Otak Kiri, dengan segala 
kemampaun serta keterbatasannya, sudah tidak akan mungkin menyelesaikan 
banyak masalah yang ditimbulkan, karena adanya salah pengelolaan dari 
dalam diri kita. Suatu pengelolaan atau “management” dari arus 
pencetusan pikiran, memang juga tergantung erat dari kesadaran kita, 
melalui suatu kepekaan untuk mengetahui unsur-unsur yang ditimbulkan 
dalam arus pemikiran itu. Tanpa mendapatkan pendikan yang sifatnya 
“subyektif”, mustahil akan terdapat kebersihan dari pengelolaan itu.
Terkadang, memang kita mempunyai saat-saat berada dalam kondisi Alpha
 atau santai mendalam, yang ditandai dengan suatu kejernihan dalam 
menentukan arus pikiran. Karena tidak ada >pengendalian<, maka hal
 itu tak dapat diandalkan berlangsung lama, karena juga dipengaruhi oleh
 adanya usulan-usulan yang bisa memberikan kita rasa bingung dengan 
akibat melepaskan hal-hal yang tadinya telah dirasakan baik. Hal itu 
membuktikan, bahwa manusia memang mempunyai kelemahan dalam kondisi 
bangun sadar, karena kemampuan dan kekuatan kondisi Beta, tidak setegar 
bila kondisinya adalah Alpha.
Apalagi adanya banyak gangguan-gangguan yang dinamakan “provokasi”, 
yang dapat mengalihkan tjuan positif menjadi kebalikannya. Melatih suatu
 kebiasaan secara >sadar< dan >sengaja<, akan memberikan 
kita suatu cara yang sangat berharga serta ampuh, dalam merubah diri 
untuk mengatur kewaspadaan kita pada suatu tingkatan yang opitmal. 
Banyak diantara kita memang mengetahui dan menginginkan adanya kualitas 
seperti itu pada diri masing-masing, tapi belum mengetahui cara yang 
sebenarnya dan yang berlaku bagi setiap manusia atau umum.
Dari penyelidikan atau investigasi yang seksama, banyak cendekiawan 
kini sudah memahami, bahwa segala sesuatu yang menyangkut kesehatan, 
keterampilan berfikir, intuisi dan kepekaan serta banyak hal yang 
memberikan kejelasan mengenai hal bagaimana seharusnya menjalankan 
kehidpan itu, tergantung dari manusia itu sendiri, yang mampu 
meningkatkan unsur-unsur pengawasan pada diri sendiri. Disinilah 
>Pendidikan Jiwa< sangat berperan!
Karena, tidak mampu melaksanakan pengawasan itu, terletak pada suatu 
“Motivasi” yang didukung oleh keinginan besar, keyakinan tuntas serta 
harapan pasti, yang kini secara luas dan umum digerogoti dengan 
kata-kata mudah-mudahan. Apakah efek dari kata-kata itu pada diri kita ?
 Efeknya adalah maju-mundurnya suatu usaha yang sedang dialankan, yang 
menjadi “tidak pasti”. Takut mendahului Tuhan? Ketanuilah, para pembaca 
bahwa tak seorang pun yang akan mampu melaksanakan pendahuluan itu.
Sejak kecil kita diberi tahu, bahwa kita tidak bisa apa-apa bila 
tidak mendapatkan IZIN dari Beliau, seakan-akan kita tidak di-Ciptakan 
oleh Yang Maha Kuasa dengan suatu kemampuan dalam menentukan NASIB. Hal 
itu masih kurang difahami mengenai makna serta kenyataannya. Bila kita 
tidak ingin mandi untuk beberapa hari, misalnya, maka hal itu bukan 
merupakan sesuatu yang diurusi oleh Yang Maha Kuasa. Contoh yang 
sederhana, tapi nyata, bahwa hasilnya adalah badan yang gatal-gatal, 
rasa lesu seharian, merasa tidak nyaman, bau dan lain sebagainya.
Suatu pemeliharaan tergantung dari kita, manusaitu sendiri, bukan   
Tuhan. Dapatkah para pembaca memahami hal yang penulis ungkapkan ini ? 
Juga menentukan hendak makan, tergantung dari manusia serta mendapatkan 
 kesempatan-kesempatan untuk kita dalam menentukan nasib, kodrat dan 
takdir. Kodrat memberikan kita kesempatan-kesempatan yang sesuai dengan 
BAKAT yang akan memenuhi “Urut-duduk takdir” yang memang telah 
diciptakan oleh Tuhan dalam Hukum Alam dengan keteraturan serta 
ketentuan-Nya melalui timbal-balik yang menjadi sesuatu yang akan 
menyangkut semua tindakan makhluk, tanpa pandang bulu, sejak manusia 
di-Ciptakan ratusan jutaan tahun yang lau pada planet bumi ini.
Kurang mewaspadai ketentuan itu serta meremehkan ketidak percayaan 
akan efeknya, bisa menjerumuskan kita pada lembah kesengsaraan, karena 
ulah kita sendiri, bukan merupakan “cobaan” dari Tuhan. Bila kita terus 
menerus melaksanakan pernyataan kita, maka sepertinya kita menyalahkan 
Maha Pencipta kita dalam memberikan kita suatu cobaan. Persepsi serta 
pengertian seperti itu, lambat laun akan ketahuan dan akan memberikan 
kebenarannya, bila kita sudah mampu meningkatkan kesadaran kita dalam 
menggunakan secara . Dengan demikian akan mengadakan penggunaan fungsi 
Otak bagian Kanan yang konotasinya selalu positif dan tidak pernah 
kebalikanya. Bila diantara para pembaca belum juga bisa memahami hal 
itu, maka sudah pasti berfikir dengan kondisi ketidak seimbangan, karena
 belum mampu mengendalikan fungsi Otak bagian Kanan.
Kita semua diciptakan dengan kesempurnaan yang tak dapat disangsikan 
lagi oleh Maha Pencipta serta Yang Maha Sempurna. Bangunkanlah 
keberhasilan kita dengan lebih mengenal serta mengetahui, dimana 
sebenarnya Yang Maha Kuasa berada. Tidakkah kita merasakan hati nurani 
kita yang selalu “berbicara” , memberikan kita bimbingan melalui intuisi
 yang sering kali kita tak acuhkan atau remehkan, dengan demikian 
menjerumuskan kita pada perhitungan, analisa serta perekayasaan dari 
penangkapan kita yang sangat terbatas, yang ditimbulkan oleh fungsi Otak
 bagian Kiri.
Waspadailah dan sadarilah hal itu, dan Anda akan melangkah lebih maju
 daripada masa lalu. Apapun yang diputuskan untuk bertindak, pada 
intinya adalah menentukan nasib Kita sendiri. Demikianlah kenyataan yang
 selama ini terjadi pada diri manusia masing-masing.(Ijs)
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar