Kamis, 28 Mei 2009

AKU, ORANG JAWA DAN JAMAAH TABLIGH

Masjid di kampungku kedatangan sebelas anggota Jamaah Tabligh dari Kediri yang menetap di ruang takmir entah selama berapa hari. Hal seperti ini sudah bukan asing lagi di mata kami, orang-orang kampung. Seperti waktu-waktu yang lalu, penampakan mereka tak berubah: memakai jubah, sorban, jenggot panjang, mata dengan celak, wangi-wangian yang khas, hidup sederhana dan ramah penuh persahabatan.

Sebagai orang yang lebih mementingkan akhlak atau budi pekerti dalam membina hubungan pergaulan antar manusia di atas identitas yang lain, maka aku cepat akrab dengan mereka. Aku yang suka menjenguk isi hati orang ini juga dibuat heran ketika diperlihatkan kenyataan bahwa kebaikan mereka kepada “golongan” selain mereka itu adalah tulus dari hati terdalam, tidak berpura-pura atau dibuat-buat. Aku tidak suka sesuatu yang dibuat-buat atau direkayasa karena itu kuanggap mengingkari isi hati, membohongi diri sendiri, tidak wajar dan tentu saja tidak alami. Jika mereka seperti itu, tentu aku sudah menghindar sejak dulu. Tapi tidak, mereka menganggap kami sebagai saudara.

Adab mereka tidak cuma lewat kata-kata dan keterbukaan pergulan, tapi juga dalam tindakan nyata sehari-hari. Ini kuamati ketika sekitar setengah tahun yang lalu, serombongan Jamaah Tabligh dari Klaten dan sekitarnya datang juga ke masjid kampungku, dengan penampilan yang tidak jauh berbeda tentunya. Mereka membawa kompor dan peralatan masak seadanya. Selama lima hari menetap di masjid mereka mengerjakan tugas-tugas keseharian masjid, termasuk bersih-bersih WC dan menjaga kebersihan dan kerapian masjid.

Setelah shalat maghrib berjamaah selesai, mereka akan mengambil duduk di depan dan mulai mengisi ceramah pendek dengan bahasa Jawa kromo. Isinya sangat umum, utamanya tentang amar ma’ruf nahi munkar, mengajak berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran. Setelah shalat isya’ mereka bertamu ke rumah-rumah di kampung dan dengan sopan mengulangi ajakan itu lagi. Kuamati gerak organisasi mereka ada kemiripan dengan setiap jamaah atau gerakan organisasi agama yang lain, atau pun juga organisasi yang beraliran kiri sekalipun: mengajak setiap orang untuk bergabung dengan kelompok mereka. Dari diskusi yang aku lakukan dengan mereka, aku jadi tahu seluk beluk organisasi mereka, kantor pusat mereka, hingga mata pencaharian dan kehidupan rumah tangga mereka serta alasan mengapa mereka meninggalkan rumah dan keluarga selama berbulan-bulan untuk melakukan perjalanan keliling seperti yang sedang mereka lakukan. Begitu mengharukan.

Di jogja base camp pusat mereka ada di Jalan Kaliurang km 5, dan ke sanalah aku dihimbaunya untuk besilaturahmi. Aku jawab ya, meski hingga kini masih belum aku lakukan dengan alasan-alasan tertentu. Aku tahu base camp mereka adalah sebuah masjid yang ketua takmir masjidnya tak lain adalah sahabat ibuku sendiri, Bapak Rasyid Baswedan, dosen Fakultas Ekonomi UII, ayah dari Anis Baswedan yang menjadi rektor Universitas Paramadina. Aku tahu sekali Pak Rasyid bukan anggota jamaah mereka, tapi dulu sekali, ketika jamaah tabligh itu mula-mula datang dan meminta izin untuk menempati masjid dan menjadikannya base camp, Pak Rasyid tak tega untuk menolaknya setelah menilai kelakuan mereka cukup beradab juga.

INI adalah tanggapan dari orang-orang kampungku, orang jawa ndeso saat kedatangan mereka dahulu. Di kampungku ada beberapa kelompok pengajian ibu-ibu yang dibina oleh ibuku. Melihat kedatangan mereka, diprakarsai oleh ibuku kelompok-kelompok itu kemudian berinisiatif memberi mereka makan sehari dua kali. Penduduk kampungku adalah masyarakat agraris, maka beras dan sayur tidak usah beli, sedangkan untuk biaya lauk-pauknya adalah sumbangan para donatur teman-teman ibuku. “Mereka adalah tamu kita, tamu yang baik dan sopan, wajib hukumnya untuk memperlakukan tamu dengan baik”, kata ibuku. Benar sekali, kataku.

Kini, pada kedatangan rombongan mereka yang kedua kalinya ini ibuku sedang ada urusan di Jakarta selama sebulan. Kuamati tidak ada lagi jamuan makan untuk para tamu itu. Tidak ada inisiatif dari penduduk kampungku, meski aku bisa maklum. Orang-orang Jawa pedesaan pada umumnya adalah orang-orang pasif, menerima, tidak akan bergerak jika tidak ada yang menggerakkan, sebab mereka terbiasa dengan istilah menunggu Satria Piningit atau Ratu Adil. Perilaku itu juga tergambarkan dalam irama musik tradisional Jawa, gamelan, di mana kenong, bonang dan alat musik yang lain dimainkan berputar-putar menunggu diakhiri dan dibuka kembali oleh gong, dan kemudian musik itu kembali ke awal lagi, berputar-putar dan diakhiri dan dibuka kembali dengan gong, begitu seterusnya. Orang-orang Jawa menunggu gong itu, menunggu datangnya seorang yang bisa memimpin segala gerak mereka menuju satu tujuan.

Di saat orang-orang Jawa itu telah mendapatkan pemimpinnya, mereka akan mengikutinya, setia sampai mati untuk mendukungnya. Ini juga bisa menjelaskan kenapa Gusdur, Megawati dan Sri Sultan HB X memiliki banyak pengikut, orang-orang setia yang akan membela dan menjadi pendukung sampai mati. Diantara para jamaah NU, Gusdur akan cukup menikmati anggapan mereka para pemujanya sebagai wali, yang anggapan itu sesungguhnya mula-mula bersumber dari siapa juga masih kurang ada kejelasan. Sedangkan megawati adalah anak Soekarno, bapak pendiri bangsa, yang oleh para pendukung fanatiknya akan dibanggakan sebagai titisan Soekarno dan diprasangkakan mewarisi kemampuan dan karisma bapaknya dalam menyatukan bangsa ini. (Namun agak mengherankan bahwa prasangka ini hanya dijatuhkan ke Megawati saja, tidak ke Fatmawati, Guruh atau anak Soekarno yang lain). Sedangkan Sultan jelas masih menjadi raja, secara de yure di Yogyakarta Hadiningrat, secara de facto di tanah Jawa. Maka pendukung fanatik Sultan adalah di DIY, Jateng, dan Jatim, tempat-tempat yang tradisi kejawennya masih kental yang meyakini bahwa sultan adalah hamengku buwono (pemangku/pusat bumi).

Fenomena ini sesungguhnya kerap terjadi di tanah Jawa, wilayah yang menganut budaya majapahit-an, budaya feodal, budaya yang menjalani hidup dengan pasrah pada keadaan, meski melarat dan ditindas tetap tidak ada inisiatif untuk melakukan perubahan, hanya menunggu saja hingga suatu saat datang ratu adil yang akan memimpin mereka menuju perubahan. Dengan budaya seperti ini maka sosok Gus Dur, Megawati dan Sultan akan dibenarkan sifat kewalian, keratuan dan kekesatriaan mereka.

Dari budaya ini pula ada konsensus tak tertulis bahwa pemimpin itu dipilih berdasar garis keturunan, bukan karena yang bersangkutan memiliki sesuatu (kesaktian, karomah, ilmu, kepandaian, keahlian) yang cukup beralasan untuk menjadikan mereka pemimpin. Dengan ini maka Gus Dur memang sudah seharusnya menjadi pemimpin NU sebab ia adalah cucu Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dan juga pemimpin bangsa sebab ia keturunan Joko Tingkir/Mas Karebet/Pangeran Hadiwijaya, pendiri dan raja pertama Kasultanan Pajang yang menguasai tanah Jawa. Untuk Megawati, semua orang sudah tahu ia anak Soekarno, bapak pendiri bangsa, dan Soekarno keturunan raja-raja majapahit yang bertahta di Bali. Sedangkan Sultan HB X adalah pewaris syah tahta Mataram, kerajaan terakhir di Jawa. Maka dengan mempertimbangkan garis keturunan, ketiga tokoh itu seolah adalah orang-orang terpilih yang memiliki wahyu untuk memimpin Indonesia.

Setidaknya sifat orang Jawa yang menunggu akan datangnya pemimpin itu membuat ibuku, warga pendatang, kemudian bisa memimpin ibu-ibu kampung, masyarakat yang berfalsafah nrima ing pandum itu untuk melakukan sebuah gerak nyata demi kebaikan bersama. Kedatangan ibuku untuk membawa perubahan di kampungku seolah telah ditunggu oleh mereka sejak lama. Ibuku memang datang membawa banyak perubahan, tapi budaya Jawa membuat sosok ibuku menjadi semacam wali perempuan yang bisa memberikan pencerahan. Maka tak heran aku saat melihat beberapa orang kampung bertamu ke rumahku, bapak atau ibu, meminta doa untuk kesehatan mereka atau kebaikan anak-anak mereka. Saat panen besar tiba, rumahku akan mendapat kiriman beras, sayuran atau buah-buahan. Saat ada hajatan, kendurenan atau tasyakuran, secara rutin rumahku akan mendapat kiriman nasi, sayur dan lauk-pauk untuk porsi tiga sampai lima orang.

Aku renungkan kemudian, betapa budaya seperti ini akan dengan mudah mengangkat segelintir orang di singgasana yang setinggi-tingginya, dan pada giliran lain merendahkan sebagian besar rakyat jelata di tempat yang serendah-rendahnya, melata menggelesot di tanah, dengan alat yang namanya mitos, tradisi dan keyakinan yang tak jelas asal-usulnya. Aku tersenyum saat melintasi Jalan Sagan; ketika motorku berhenti di perempatan karena lampu merah, kulihat di seberang Galeria Mall ada tembok tinggi yang dilukisi mural bergambar tukang becak yang di atasnya ada pesawat dan Superman sedang terbang, dihiasi tulisan “glinding duwur iso mabur, glinding ngisor mung iso ndlosor” (berjalan di atas bisa terbang, berjalan di bawah cuma bisa merangkak).

Sumber: http://amrodhi.blog.friendster.com/2008/08/aku-orang-jawa-dan-jamaah-tabligh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar