Kamis, 28 Mei 2009

BERKELANA MENEBAR RAHMAT

Tanpa banyak bicara, anggota Jamaah Tabligh berkelana ke berbagai penjuru Nusantara, bahkan ke seluruh dunia. Hanya satu tujuannya, mengajak ke jalan Allah.

Masjid tua Kebon Jeruk, Jakarta Selatan itu seperti tidak pernah mati. Ia selalu hidup dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Apalagi setiap hari Kamis, sekitar 2000 laki-laki berkumpul di masjid yang didirikan tahun l718 oleh seorang ulama dari negeri Cina ini. Mereka dengan khusyuk mengikuti ceramah yang disampaikan seorang ustadz. Ada yang berpakaian takwa (koko) warna-warni dan berkopiah haji putih. Ada pula yang berpakaian gamis --baju panjang yang biasa dipakai orang Arab. Tak sedikit di antara mereka yang memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Tapi mereka penuh dengan senyum dan menyapa akrab setiap orang.

Mereka adalah anggota Jamaah Tabligh (JT) yang datang tidak hanya dari Jakarta. Melainkan juga dari Jawa Barat, Jawa Timur dan daerah lain di Indonesia. Bahkan ada pula yang dari India, Pakistan, Malaysia dan Thailand. Umumnya mereka membawa tas-tas besar berisi pakaian dan perbekalan lainnya.

Pengajian yang dimulai usai shalat ashar berjamaah itu disebut takrir, yang berisi soal-soal agama yang muncul selama khuruj (dakwah keluar). Dan juga diadakan evaluasi selama di lapangan, kemudian mendiskusikannya bersama-sama. Usai shalat maghrib, seorang ustadz berdiri di mimbar, dan berkhutbah tentang pentingnya amal shalih bagi setiap Muslim. Bila sang ustadz mengutip hadist atau ayat Al Qur'an berupa ancaman, serempak jamaah berucap istighfaaar "astaghfirullahaladzzim." Jika yang dikutip berupa kebesaran Allah serempak jamaah menyahut dengan tasbih "subhanallah."

Usai khutbah ada tasykil, tawaran khuruj secara berombongan. Lamanya dakwah berfariasai mulai 3 hari, 7 hari, 10 hari, 40 hari sampai 4 bulan. "Ayo saudara-saudara kita dakwah, masya Allah, masya Allah. Allah yang akan menjaga anak, istri, keluarga atau harta kita," katanya. Banyak jamaah antusias menerima ajakan itu. Mereka lalu didaftar dan diseleksi oleh Ahli Syura. Hanya yang memenuhi syarat yang bisa khuruj.

Rangkaian ibadah itu ditutup dengan shalat isya' berjamaah. Setelah itu jamaah mengisi waktu istirahat dengan berbagai cara. Ada yang berdiskusi dengan kelompoknya tentang persiapan keluar esok harinya atau bertukar pengalaman dengan peserta dari kelompok lain. Ada juga yang tidur-tiduran atau makam malam. Uniknya, makannya memakai tempayan. Satu tempayan dikepung 4-5 orang.

Tengah malam mereka bangun melaksanakan shalat tahajut. Setelah shalat subuh diadakan ceramah kembali hingga matahari terbit. Setelah usai barulah mereka siap-siap untuk khuruj sesuai tujuan masing-masing kelompok. Pelepasan mereka dilakukan oleh Ahli Syura yang terdiri dari tujuh orang: H Ahmad Zulfaqar, H Cecep Firdaus, Muhammad Muslihuddin, Dr AA Noor, Syamsuddin Abdullah, Ir. Aminuddin Noor, dan M Sani Ilyas.

Begitu sampai di tempat sasaran dakwah, mereka menyebar, keluar masuk kampung, pasar, dan warung-warung, sambil tetap berzikir kepada Allah.

Dengan tenang mereka mengajak orang untuk mendengarkan ceramahnya. Usai ceramah, orang-orang itu diajari cara berwudlu, tata cara shalat, dan membaca Al Fatihah serta ayat-ayat Al Qur,an lainnya. Sebelum tugas dakwah selesai, anggota jamaah mengajak masyarakat setempat melakukan dakwah ke tempat lain. "Kalian adalah sebaik-baiknya ummat yang diturunkan ke tengah-tengah masyarakat," demikian tertulis dalam Al Qur'an Surat Ali Imran, ayat 110, yang dijadikan pedoman mereka.

Menurut Zulfaqar, Penanggung Jawab JT Indonesia, aktivitas JT selama ini tak banyak mendapatkan rintangan, baik dari masyarakat maupun pemerintah. "Awalnya memang ada yang curiga. Tapi setelah tahu, mereka memahami," katanya.

Berdakwah dengan model khuruj yang menjadi ciri khas JT, kata Amin yang juga penanggung jawab JT Surabaya, memang efektif dan membekas. Contohnya, yang dia alami sendiri. Pada tahun 1985 ada 4 orang warga Malaysia datang ke Kampung Jalan Ikan Gurami IV Surabaya. Amin sempat bertanya-tanya dalam hati, "Mengapa mereka jauh-jauh datang ke Surabaya hanya minta untuk diizinkan boleh numpang beberapa hari di masjid," ungkapnya. Keempat warga Malaysia (ustadz Amin lupa satu-persatu namanya) selama di masjid Nurul Hidayah itu mengajak jamaah untuk mengamalkan shalat, wirid, memberi ceramah mengenai Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan melakukan amalan sunnah lainnya seperti shalat dhuha, iktikaf dan shalat malam. Setelah diamati gerak-gerik dan perilaku mereka, akhirnya Amien kagum dan tertarik. "Saya merasakan, apa yang saya lakukan selama ini belum sesuai dengan sunnah Nabi," kenangnya.

Khuruj dilakukan secara berkelompok --antara 10 hingga 15 orang-- mengunjungi daerah-daerah sesuai sasaran dakwah yang telah ditentukan. Bagaimana dengan pendanaan? Dan bagaimana pula dengan nafkah pada keluarga yang ditinggal di rumah?

"Itu sudah diperhitungkan secara matang," ujar Amin yang sudah 7 kali keliling dunia (1995 ke Eropa, 1996 ke Australia, 1997 ke Afrika, dan ke beberapa negara di Asia lainnya). "Khuruj jangan disalahtafsiri mengabaikan keluarga di rumah," timpal Muhammad Muslihuddin, salah seorang anggota Syuro Jamaah Tabligh Indonesia.

Sebelum khuruj, keluarga di rumah terlebih dulu dicukupi nafkahnya. Atau dengan cara lain, misalnya "Bersama keluarga secara berpasangan dengan muhrim-nya, suami dan isteri serta anak-anak," tambahnya. Soal biaya?

"Itu ditanggung pribadi masing-masing. Karena, dari setiap usaha yang dilakukan sengaja disisihkan untuk dakwah," ustadz Amin melengkapi keterangan Muslihuddin.

Setidaknya, kata Muslihuddin, dalam sebulan ada 3 hari dan 40 hari dalam setahun yang disisihkan untuk khuruj. Jumlah waktu khuruj ini, katanya lagi, jika dibanding dengan waktu di rumah sebetulnya lebih banyak waktu yang diberikan untuk keluarga di rumah. Kalangan jamaah kita, lanjutnya, sudah paham. Sehingga, ketika ada keluarga, misalnya suami yang melakukan khuruj, istri dan anak di rumah sudah mafhum.

Tak Lupa Kerja

Bagaimana dengan pekerjaan? Menurut Amin, kebanyakan anggota JT lebih enjoy berwiraswasta. Karena tidak terlalu mengikat dengan tugas dakwah. Sebab, tugas utama manusia di dunia ini adalah menyeru atau mengajak orang (lain) pada jalan yang benar. "Kuntum khaira ummat......(Kalian diturunkan ke dunia adalah sebaik-baik umat, dan mempunyai tugas amar makruf nahi munkar)," ujar Amin mengutip al-Qur'an Surah Ali Imran, ayat 110.

Akan tetapi, JT tidak berarti mengikat jamaahnya bekerja pada instansi lain. Kepada anggota JT yang kebetulan bekerja pada suatu instansi yang memang terikat waktunya, soal khuruj tetap tidak bisa diabaikan. "Yang penting bagi kita adalah ikhlash," tutur Amin. "Keikhlasan ini yang ditanamkan pada kalangan jamaah kami." Bagi mereka yang kebetulan terikat oleh waktu kerja pada instansi, bisa mengikuti program khuruj 3 hari dalam sebulan. Misalnya, mereka berangkat Jum'at sore selepas kerja hingga Senin pagi --tanpa balik ke rumah-- langsung menuju ke tempat kerjanya. Sehingga, dengan cara seperti ini, mereka tidak melupakan kerjanya.

Abdurrahman, misalnya. Karyawan sebuah perusahaan kontraktor di Surabaya ini, kendati masih tergolong baru tapi merasa "asyik" bergabung dalam JT. Dia ikut JT sejak masih kelas 2 STM di Surabaya. Kendati sekarang bekerja pada instansi yang waktunya cukup terikat, namun dia tidak pernah melalaikan khuruj. "Saya bisanya mengikuti khuruj 3 hari dalam sebulan," akunya.

Dicurigai

Tak banyak orang yang tahu apa itu JT? Sehingga keberadaan JT banyak dipertanyakan, bahkan di beberapa daerah dicurigai. "Dianggap sebagai ajaran sesat," ujar Arif dan Abdurrahman, anggota JT Surabaya. Tidak cuma sebatas itu. Pengalaman Arif sewaktu khuruj, dia diusir warga setempat karena dianggap menyebarkan aliran sesat. Bahkan, ketika khuruj ke India, waktu sedang memberikan ceramah di sebuah masjid, Arif didatangi polisi dan sempat diinapkan semalam di Pos Polisi di negara itu.

Arif yang mengaku mulai ikut JT pada tahun 1992, toh tidak kapok. "Bagi saya tak masalah, karena memang belum banyak orang yang tahu apa itu khuruj. Tapi, setelah mereka ikut dalam dakwah kami, ya tidak masalahkan lagi," kenangnya.

Wisnu Jatmiko, kiranya senasib dengan Arif. Mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Komputer UI ini mengaku mulai tertarik dengan JT pada tahun 1991. Pengalaman pahit yang dirasakan adalah, sewaktu mengikuti klhuruj di Bengkulu (1998). "Saya merasa tertekan. Ketika itu tak ada masjid. Apalagi, waktu itu menjelang Pak Harto lengser, aparat Muspida disana menaruh curiga berat, sehingga rombongan kami dikejar-kejar terus," kenang Wisnu. "Tapi disitulah, kami merasakan nikmatnya ujian mental keimanan."

Menurut Drs. Ridlwan Abu Bakar, Msi., adanya kecurigaan-kecurigaan itu cukup wajar. "Karena pada awalnya memang tidak tahu semata. Tetapi setelah ditelusuri, dan tidak menyesatkan, ya tidak dimasalahkan. Toh, kenyataannya mereka hingga sekarang eksis," ujar Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.

Ada dua hal yang tidak boleh diperbincang selama Tabligh, yaitu soal politik dan khilafiah (soal agama yang memancing perdebatan). "Alasannya, karena tujuan dakwah itu menyatukan ummat. Sementara politik cenderung memecah belah ummat," kata Zulfaqar, pensiuan angkatan darat berpangkat Letkol ini.

Dalam kehidupan sehari-hari para anggota dibebaskan untuk mengikuti kegiatan politik yang menjadi pilihannya. Sementara organisasi Islam lainnya, mereka anggap sebagai kawan seperjuangan.

Keharusan khuruj itu didasarkan pada satu hadits Nabi yang berbunyi "apabila ummatku di akhir zaman mengorbankan 1/10 waktunya di jalan Allah, akan diselamatkan." Maka setiap hari mereka juga harus menyisakan 2,5 jam waktu mereka untuk berdakwah. Bagaimana dengan kita?

Sumber: http://media.isnet.org/islam/Etc/Tabligh3.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar