Minggu, 31 Mei 2009

SITUS-SITUS JAMAAH TABLIGH TERPERCAYA

Sumber:http://jamaahtabligh-abufathimahfahri.blogspot.com/

USAHA DAKWAH USAHA RAYAP

Sunday Times London menulis artikel tentang pergerakan dakwah terbesar (orang-orang biasa memberi nama harakatul iman, usaha dakwah tabligh atau jamaah tabligh) yang akan membuat kompleks masjid yang berukuran gigantic, yang akan menjadi markas dakwah di London, di atas area tanah seluas 10 hektar disebuah kota Newham, yang berjarak kurang lebih 500 yards dari stadion Olympic 2012. Masjid ini juga menggunakan pembangkit listrik tekhnologi wind turbine minarets and tidal power (kincir angin dan kincir di dalam air), sepertinya memang sudah dipersiapkan untuk menghadapi jaman kekacauan kedepan yang kasat mata adalah habisnya bahan bakar minyak. Masjid yang direncanakan mampu menampung 40.000 bahkan sampai dengan 70.000 jemaah apabila berhasil mendapatkan legalitas dari pemerintah setempat. Jumlah ini hanya beda 10.000 lebih sedikit dengan daya tampung stadion Olympic di sebelahnya. Dapat dipastikan akan menjadi tempat ibadah terbesar di Eropa, yang Insya Allah akan terselesaikan pada tahun 2012.


Ya, diperlukan sebuah areal yang munasib dan luas untuk aktifitas usaha dakwah ini mengingat hari demi hari jumlah muslim di Inggris dan Eropa semakin bertambah, dan jumlah kaum muslimin yang telah ambil bagian dalam usaha dakwah ini semakin meningkat pesat. Pada tahun 2007 mencapai angka 57.000.000 umat muslim, dan sebanyak 2.8 juta yang bermukim di Inggris. Pada setiap Ijtima’ (pertemuan tahunan umat Islam seluruh dunia) diberbagai negara dan benua dengan waktu pengadaan hanya 3 hari, jemaah ini mampu menghadirkan 6 sampai 10 Juta umat muslim dari seluruh penjuru dunia, dan mengeluarkan sedikitnya 100.000 rombongan dakwah, belum lagi jumlah ratusan hingga ribuan jama’ah yang setiap harinya dikeluarkan dari setiap negara yang masing-masing mempunyai markaz dakwah untuk berdakwah dengan membawa akhlak, sunnah dan adab-adab Rasulullah SAW keseluruh pelosok bumi hingga ke pulau-pulau terpencil sekalipun.


Usaha ini adalah usaha dakwah Rasulullah SAW yang telah lama mati dan ditinggalkan, yang kemudian dihidupkan kembali oleh maulana Muhammad Ilyas (rah.), yang ingin menyebarkan kesadaran akhlakul kharimah Rasulullah SAW dengan mengutamakan persatuan antara umat muslim di seluruh dunia dan berjanji bahwa hanya dengan mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah SAW, umat Islam akan memperoleh kejayaan. Dalam kurun waktu 80 tahun, diantara berbagai tudingan pahit, hinaan, kecaman bahkan fitnah, jemaah ini mampu berkembang demikian pesatnya dengan pertolongan Allah SWT. Pahit memang, namun kenyataan itulah yang harus diterima dalam kerja dakwah cara nabi (minhajin nubuwwah). Dan seluruh pekerja-pekerja dakwah tabligh pun sudah sangat terbiasa dengan perlakuan tersebut sehingga selalu menerimanya sebagai bagian dari tarbiyah Allah SWT guna meningkatkan ghirah dakwah, yaitu menjadikan dakwah maksud hidup, hidup untuk dakwah, dakwah sampai mati dan mati dalam dakwah. Dalam menghadapi fitnah dan celaan, tidak ada satu buku putih-pun dikeluarkan oleh ulama-ulama yang terlibat dalam usaha dakwah ini. Atau klarifikasi apalagi jumpa pers. Karena usaha ini adalah usaha dengan cara nabi dimana mengutamakan : Gerak (qadam) bukan Tulisan (qalam), Persatuan (Ittihad) bukan Perpecahan (Ikhtilaf), Senyap-senyap (Istitar) bukan Gembar-Gembor (Isytihar), Kabar gembira (Tabsyir) bukan kabar buruk (tanfir).


Jamaah ini memiliki sifat ketaatan kepada amir atau pimpinan yang luar biasa (sami’na wa ato’na). Jamaah ini memiliki satu fikir, satu tujuan, satu gerak dan satu cara dalam dakwah, keseluruhannya berdasarkan tertib dakwah yang sama di seluruh dunia. Seorang ulama pernah mengatakan bahwa jamaah ini adalah satu-satunya jamaah yang saat ini paling siap ketika ada panggilan jihad dari khalifah. Jamaah ini sudah terbiasa meninggalkan keluarga untuk beberapa waktu lamanya, dan terbiasa dengan medan pegunungan, lautan, sungai, kepulauan bahkan keluar masuk hutan.


Kasat mata mereka memang kelihatan lemah sekali. Sungguh suatu ironi yang luar biasa apabila jamaah dakwah ini harus dihadapkan dengan tentara-tentara kafir dan musuh Islam dengan keterampilan perang dan teknologi senjata-senjata yang demikian canggihnya. Hanya ejekan dan bahan tertawaan saja yang akan diterima oleh jamaah ini. Sungguh bagaikan David yang melawan Goliath. Mereka juga sering diremehkan karena tidak berpolitik. Bagi jamaah ini berpolitik yang benar bukanlah berdasarkan kepada kepentingan golongan saja sehingga menimbulkan perpecahan sesama muslim karena beda kepentingan, tetapi ”politik” yang sesungguhnya adalah ”politik” cara nabi bagaimana menimbulkan persatuan dan kasih sayang seluruh umat di seluruh alam, dan bagaimana seluruh umat (dari zaman nabi Adam hingga bayi terakhir yang lahir di dunia) selamat dari siksa neraka.


Lalu dimana kekuatannya? Dari ketentaraankah, atau perekonomian, atau teknologi, atau kancah politik praktis? Amalan agama yang sempurna dengan diiringi kerendahan hati & ke-tawajuhan hanya pada Allah beserta Rasul-Nya sajalah yang menjadi kekuatan dan ”senjata” yang amat sangat Dahsyat, dan yang amat sangat ditakuti oleh musuh-musuh Islam. Bagaikan rayap-rayap kecil yang terlihat ”tak berdaya” yang akan mampu menumbangkan pohon-pohon besar dari kecongkakan musuh-musuh Islam. Hal ini sejalan dengan sejarah Rasulullah SAW dan Para Sahabat R.A. yang mampu mengislamkan bangsa besar Persia dan Romawi dengan mengetuk pintu rakyatnya satu demi satu dengan membawa akhlakul kharimah. Kalau rakyatnya sudah mayoritas Islam, pemerintahnya dapat berbuat apa?


Bahkan bila seluruh musuh-musuh Islam bermaksud menghancurkan dan mem-bom markaz dakwah tabligh maka hanya usaha yang sia-sia belaka. Markaz dakwah tabligh tersebar hingga ke pelosok-pelosok kampung diseluruh penjuru dunia, ada halaqoh-halaqoh-nya dan muhallah-muhallah di bawahnya. Dan bahkan rumah-rumah seluruh ahli dakwah telah hidup amalan masjid nabawi (hidup amal dakwah, ta’lim, zikir ibadah dan khidmat) sehingga merupakan madrasah iman dan amal yang Insya Allah dijaga oleh para malaikat-malaikat Allah SWT. Kalau pun terjadi situasi darurat maka halaqoh manapun bisa dijadikan markaz pusat. Butuh berapa ton TNT & C4 ataupun mungkin berapa banyak tangki Uranium yang akan dihabiskan untuk membom markaz dakwah tabligh? Ada satu kargozari (laporan perjuangan) bahwa telah ada satu upaya dari musuh Islam untuk mem-bom markaz dakwah yang terletak di Nizamuddin, namun upaya tersebut telah gagal total.

Wallahu ’alam.

SEBUAH PANDANGAN ILMIAH TENTANG JAMAAH TABLIGH (Review)


Sumber: http://estethiques.blogspot.com/2006/12/sebuah-pandangan-ilmiah-tentang-jamaah.html

Judul asli : Nadzrah Ilmiyah fi Ahlit Tabligh wad Da’wah
Pengarang : Syeikh Ayman Abu Syadi
Penerbit : Maktabah Al-Majallad Al-Araby Cairo
Jumlah seri : 5 buku
Jumlah hal : seri I (128 h) seri II (128 h) seri III (270 h) seri IV (285 h) seri V (319 h)

B uku ini terdiri dari 5 seri dengan kwantitas halaman yang berlainan. Diikarang oleh Syeikh Ayman Abu Syadi. Beliau adalah alumni universitas Al-Azhar dengan memperoleh ijazah ‘aliyah (licence) dari fakultas Syariah Islamiyah, sebagaimana tertulis pada sampul bukunya. Beliau juga memiliki sanad (rantai ilmu) dalam bidang aqidah, hadits, ushul fiqh, dan fiqh, bahkan sudah diberi izin (ijazah) oleh gurunya untuk menyampaikan ilmu yang telah didapatkannya.

Kelima seri buku karya Syeikh Ayman Abu Syadi ini tampaknya patut menjadi buku bacaan para pegiat dakwah (lebih khusus : JT) agar tidak runtuh oleh banyaknya tuduhan-tuduhan dari kelompok-kelompok yang tidak menyukainya. Bahkan, perlu untuk dibaca juga bagi orang-orang yang menganggap Jamaah Tabligh (JT [sebagaimana orang-orang menyebutnya]) ini telah menyimpang dari ajaran Nabi SAW (bid’ah). Dan tidak mengurangi kelayakan bagi siapa saja yang ingin mengenal lebih jauh tentang JT itu sendiri.

Setiap seri dari kelima seri ini menjawab satu tuduhan (syubuhat) yang dilontarkan oleh kelompok-kelompok yang menyesatkannya, dijawab dengan dalil dari Quran, Sunnah, maupun perkataan ulama-ulama salaf dengan mengutipkannya dari referensi-referensi kitab klasik (turats).

Seri pertama membahas tentang penentuan nishab (tahdidul awqath) yang ada dalam aktivitas JT seperti 3 hari, 40 hari, 4 bulan, dll serta menjawab berbagai tuduhan yang berkaitan dengan hal tersebut. Pada seri pertama ini sebelum masuk pada jawaban atas tuduhan, pengarang menjelaskan terlebih dahulu tentang :

1. pengertian bid’ah menurut berbagai pendapat ulama (Imam Az-Zarkasyi, Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Asqalany, dll),

2. pengklasifikasiannya kedalam bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (Imam Syafi’i, Imam Syatiby, Al-’Allamah Al-Ainy, dll),

3. juga memaparkan pendapat-pendapat ulama lain yang membagi bid’ah menjadi 5 bagian; wajibah, mandubah, mubahah, mamnu’ah, makruhah (Imam Al-Qarafy, Imam Nawawy, Imam Al-’Izz bin Abdus Salam, dll).

Kemudian seri pertama ini ditutup dengan lampiran fatwa-fatwa dan pandangan para ulama tentang JT, diantaranya; Syeikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Abu Bakr Al-Jazairy, Dr. Muhammad Bakr Ismail, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dll.

Seri kedua membahas tentang konsep jihad (mafhumul jihad), sebagai jawaban atas tuduhan bahwa JT mengingkari adanya jihad dan mendistorsikan makna jihad serta mengalih maknakan makna jihad ke dalam dakwah. Kemudian ditutup juga dengan fatwa dan pandangan beberapa ulama Islam (Syeikh Abul A’la Al-Mawdudi, dll)

Seri ketiga membahas tentang konsep loyalitas keislaman (al-wala’ wal bara’), sebagai jawaban atas tuduhan bahwa JT tidak memiliki loyalitas keislaman dan tidak memiliki ikatan keimanan yang teguh. Kemudian sebagaimana pada seri sebelumnya, ditutup dengan pandangan maupun fatwa ulama (Syeikh Abu Hasan Ali An-Nadwy, Prof. Dr. Wahidudin Khan, dll)

Seri keempat membahas tentang metode keberislaman Nabi SAW (manhaj nabawy), sebagai jawaban atas tuduhan bahwa JT tidak ingin menegakkan agama Islam di muka bumi dan tidak menginginkan masyarakat Islamy itu terbentuk. Lalu ditutup dengan pandangan dan fatwa para ulama (Syeikh Sa’duddin Sayyid Shalih, dll)

Seri kelima membahas tentang konsep mencegah kemunkaran (taghyirul munkar), sebagai jawaban atas tuduhan bahwa JT tidak mempedulikan adanya kemunkaran dan tidak memiliki anggapan bahwa menegah kemunkaran adalan bagian dari kewajiban seorang muslim. Lalu ditutup dengan fatwa dan pandangan para ulama (Dr. Sa’id Ramadhan Al-Buthy, dll)

Demikian review singkat dari buku ini. Sebenarnya banyak pembahasan-pembahasan yang menarik untuk disimak dari buku ini, mengingat hampir semua tuduhan dijawab dengan jawaban yang bereferensikan kitab islam klasik (turats) bahkan pengarang tak jarang menampilkan pembahasan salah satu tema kaedah ushul fiqh, dll, namun karena keterbatasan waktu, pereview hanya dapat memberi gambaran singkat saja. Oleh karena itu, tulisan ini lebih pantas disebut review, bukan resensi. Semoga bermanfaat.

Kamis, 28 Mei 2009

LEBIH DEKAT DENGAN JAMAAH TABLIGH

Jama'ah Tabligh adalah sebuah jama'ah Islamiyah yang dakwahnya berpijak kepada penyampaian (tabligh) tentang keutamaan-keutamaan ajaran Islam kepada setiap orang yang dapat dijangkau. Jama'ah ini menekankan kepada setiap pengikutnya agar meluangkan sebagian waktunya untuk menyampaikan dan menyebarkan dakwah dengan menjauhi bentuk-bentuk kepartaian dan masalah-masalah politik. Barangkali cara demikian lebih cocok mengingat kondisi ummat Islam di India yang merupakan minoritas dalam sebuah masyarakat besar.

SEJARAH BERDIRI DAN TOKOH-TOKOHNYA

Jama'ah ini didirikan oleh Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi (1303-1364). Ia dilahirkan di Kandahlah, sebuah desa di Saharnapur, India. Mula-mula ia menuntut ilmu di desanya, kemudian pindah ke Delhi sampai berhasil menyelesaiakan pelajarannya di sekolah Deoband. Sekolah ini merupakan sekolah terbesar untuk pengikut Imam Hanafi di anak benua India yang didirikan pada tahun 1283 H/1867 M.

PARA SYAIKH JAMA'AH TABLIGH YANG TERKENAL

Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi, pendiri jama'ah dan merupakan amir pertamanya. Pertama kali ia belajar kepada kakak kandungnya, Syaikh Muhammad Yahya, seorang guru di Madrasah Mazhahir al-Ulum Saharnapur.

Syaikh Rasyid Ahmad Kankuhi (1829-1905) yang dibai'at menjadi anggota jama'ah pada tahun 1315 H oleh Syaikh Muhammad Ilyas. Kemudian ia memperbaharui bai'atnya kepada Syaikh Khalil Ahmad Saharnapuri. Syaikh ini mempunyai hubungan dekat dengan Syaikh Abdurrahim Ra'i Fauri dan banyak menimba ilmu dan pendidikan darinya. Ia juga berguru kepada Syaikh Asraf Ali al-Tahanawi (1280-1364 H/1863-1943 M) yang bergelar Hakim Ummat dan kepada Syaikh Muhammad Hasan (1268-1339 H/1851-1920 M), salah seorang tokoh ulama Madrasah Deoband dan pemimpin Jama'ah Tabligh.

Sedangkan teman-teman dekat Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi antara lain :

  1. Syaikh Abdurrahim Syah Deoband al-Tablighi yang menghabiskan waktunya untuk urusan tabligh bersama-sama Syaikh.
  2. Syaikh Ihtisyam Kandahlawi yang menikah dengan saudara perempuan Syaikh Muhammad Ilyas. Beliaulah orang kepercayaan khusus Syaikh. Ia menghabiskan usianya untuk memimpin Jama'ah dan mendampingi Syaikh Muhammad Ilyas.
  3. Syaikh Abu al-Hasan Ali r.a. al-Hasani al-Nadawi, Direktur Dar antara lain-Ulum, Nadwah Ulama di Lucknow, India. Beliau adalah seorang penulis Islam besar dan mempunyai hubungan kuat dengan jama'ah.

Sepeninggal Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi kepemimpinan Jama'ah diteruskan oleh puteranya, Syaikh Muhammad Yusuf Kandahlawi (1917-1965). Ia dilahirkan di Delhi. Sering berpindah-pindah mencari ilmu dan menyebarkan dakwah. Berkali-kali ia mengunjungi Saudi Arabia, menunaikan haji dan ke Pakistan. Beliau wafat di Lahore dan jenazahnya dimakamkan di samping orang tuanya di Nizham al-Din, Delhi.

Kitabnya yang terkenal ialah Amani Akhbar, berupa komentar kitab Ma'ani antara lain-Atsar karya Syaikh Thahawi dan Hayat al-Shahabah. Beliau meninggalkan seorang putera yang mengikuti jejak dan langkahnya, yaitu Syaikh Muhammad Harun.

Sedangkan teman-teman dekatnya dalam Jama'ah ialah :

  1. Syaikh Zakariya Kandahlawi (1315-1364 H), sepupu Syaikh Yusuf dan sekaligus menjadi adik iparnya. Beliau adalah ahli hadits dan Musyrif tertinggi Jama'ah Tabligh. Tetapi akhir-akhir ini ia tidak aktif lagi di dalam Jama'ah.
  2. Syaikh Muhammad Yusuf Banuri, Direktur sekolah Arab di New Town, Karachi, ahli hadits, direktur majalah bulanan berbahasa Urdu dan salah seorang tokoh ulama Deoband dan Jama'ah Tabligh.
  3. Maulana Ghulam Ghauts Hazardi, salah seorang tokoh ulama Jama'ah Tabligh yang menjadi anggota parlemen pusat.
  4. Mufti Muhammad Syafi'i Hanafi, mufti agung Pakistan. Pernah menjadi direktur sekolah Dar al-Ulum Landhi, Karachi dan pengganti Asyraf Ali Tahnawi (Hakim Ummat) serta sebagai tokoh jama'ah terkemuka.
  5. Syaikh Manzhur Ahmad Nu'mani, termasuk barisan ulama besar jama'ah, pengikut Syaikh Zakariya, kawan akrab Ustadz Abu al-Hasan al-Nadawi dan termasuk tokoh ulama Diobond.

Amir jama'ah yang ketiga ialah In'am Hasan. Jabatan ini dia pegang sejak Syaikh Muhammad Yusuf wafat sampai sekarang. Beliau adalah teman akrab Syaikh Muhammad Yusuf ketika sama-sama belajar dan perlawatannya. Usia mereka saling berdekatan. Keduanya sangat dekat dalam dakwah dan pergerakan.

Para pendampingnya antara lain :

  1. Syaikh Muhammad Umar Bannaburi yang menjadi penasehat khususnya.
  2. Syaikh Muhammad Baasyir, pemimpin Jama'ah Tabligh Pakistan yang berpusat di Roywand, pinggiran kota Karachi.
  3. Syaikh Abdulwahhab, salah seorang tokoh Jama'ah Tabligh di kantor pusat di Pakistan.

PEMIKIRAN DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA

Oleh pendiri jama'ah telah ditetapkan 6 prinsip yang menjadi azas dakwahnya, yaitu :

  1. Kalimah Thayyibah.
  2. Menegakkan shalat.
  3. Ilmu dan dzikir.
  4. Memuliakan setiap Muslim.
  5. Ikhlas.
  6. Berjuang fi sabilillah.

Metode dakwah mereka menempuh jalan berikut :

  1. Sebuah kelompok dari kalangan jama'ah, dengan kesadaran sendiri, bertugas melakukan dakwah kepada penduduk setempat yang dijadikan obyek dakwah. Masing-masing anggota kelompok tersebut membawa peralatan hidup sederhana dan bekal serta uang secukupnya. Hidup sederhana merupakan ciri khasnya.
  2. Begitu mereka sampai ke sebuah negeri atau kampung yang hendak di dakwahi, mereka mengatur dirinya sendiri. Sebagian ada yang memberihkan tempat yang akan ditinggalinya dan sebagian lagi keluar mengunjungi kota, kampung, pasar dan warung-warung, sambil berdzikir kepada Allah. Mereka mengajak orang-orang mendengarkan cermah atau bayan (menurut istilah Jama'ah).
  3. Jika saat bayan tiba, mereka semua berkumpul untuk mendengarkannya. Setelah bayan selesai, para hadirin dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang da'i dari Jama'ah. Kemudian para da'i tersebut mulai mengajari cara berwudhu, membaca fatihah, shalat atau membaca Al-Qur'an. Mereka membuat halaqat-halaqat seperti itu dan diulanginya berkali-kali dalam beberapa hari.
  4. Sebelum mereka meninggalkan tempat dakwah, masyarakat setempat diajak keluar bersama untuk menyampaikan dakwah ke tempat lain. Beberapa orang secara sukarela menemani mereka selama satu sampai tiga hari atau sepekan, bahkan ada yang sampai satu bulan. Semua itu dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing sebagai realisasi firman Allah :
  5. "Kalian adalah sebaik-baik ummat yang ditampilkan ke tengah-tengah manusia." (Q.S. Ali r.a. 'Imran : 110)
  6. Mereka menolak undangan walimah (kenduri) yang diselenggarakan penduduk setempat. Tujuannya agar tidak terganggu oleh masalah-masalah di luar dakwah dan dzikir serta amal-amal perbuatan mereka tulus karena Allah semata.
  7. Dalam materi dakwah, mereka tidak memasukkan ide penghapusan kemungkaran. Sebab, mereka meyakini bahwa sekarang ini masih berada dalam tahap pembentukan kondisi kehidupan yang Islami. Perbuatan mendobrak kemungkaran, selain sering menimbulkan kendala dalam perjalanan dakwah mereka, juga membuat orang lari.
  8. Mereka berkeyakinan, jika pribadi-pribadi telah diperbaiki satu persatu, maka secara otomatis kemungkaran akan hilang.
  9. Keluar, tabligh dan dakwah merupakan pendidikan praktis untuk menempa seorang da'i. Sebab seorang da'i harus dapat menjadi qudwah dan harus konsisten dengan dakwahnya.

Mereka memandang taqlid kepada madzab tertentu adalah wajib.

Dalam beberapa hal mereka terpengaruh oleh cara-cara sufisme yang tersebar di India. Karena itu mereka menerapkan praktek-praktek sufistik seperti berikut :

  1. Setiap pengikutnya diharuskan melakukan bai'at kepada syaikhnya. Sering, bai'at kepada syaikh ini dilakukan di tempat umum dengan cara membeberkan selendang-selendang lebar yang saling terkait sambil mengumandangkan bai'at secara serentak.
  2. Menjadikan mimpi-mimpi menduduki kenyataan-kenyataan kebenaran sehingga mimpi-mimpi tersebut dijadikan landasan beberapa masalah yang mempengaruhi perjalanan dakwahnya.
  3. Meyakini tasawuf sebagai jalan terdekat mewujudkan rasa manisnya iman di dalam kalbu.

Metode dakwah mereka berpijak kepada tabligh dalam bentuk targhib (memberi kabar gembira) dan tarhib (mengancam) serta sentuhan-sentuhan emosi. Mereka telah berhasil menarik banyak orang ke pangkuan iman. Terutama orang-orang yang tenggelam dalam kelezatan dan dosa. Orang-orang tersebut diubah ke dalam kehidupan penuh ibadah, dzikir dan baca Al-Qur'an.

Jama'ah Tabligh selalu menjauhi pembicaraan masalah politik. Ini sangat bertentangan dengan perjuangan Hizbut Tahir. Bahkan anggota jama'ahnya dilarang keras terjun ke gelanggang politik. Setiap orang yang terjun ke politik, mereka kecam. Barangkali inilah pokok perbedaan mendasar antar Jama'ah Tabligh dengan Jama'ah Islamiyah yang memandang perlu berkonfrontasi menentang musuh-musuh Islam di anak benua tersebut.

BEBERAPA CATATAN DAN MANFAAT YANG DAPAT DI AMBIL

Mereka memperluas diri secara horizontal kuantitatif. Tetapi ada kelemahan dalam mencapai keunggulan kualitatif. Sebab mencapai keunggulan kualitatif memerlukan pemeliharaan dan ketekunan yang berkesinambungan. Inilah yang tidak dimiliki Jama'ah Tabligh. Sebab, orang yang mereka dakwahi hari ini belum tentu akan mereka jumpai sekali lagi.

Orang-orang yang mereka dakwahi tidak diikat dalam satu struktur organisasi yang rapi. Ikatan lebih dititikberatkan kepada semacam kontak antar pribadi dengan da'i yang berlandaskan saling pengertian dan cinta kasih.

Dalam kontek penegakan hukum Islam dalam kehidupan nyata dan dalam menghadapi aliran-aliran berfikir yang telah mengerahkan segala potensi dan kemampuan untuk merusak dan memerangi Islam dan ummatnya, gerakan ini kurang memadai.

Pengaruh dakwahnya lebih membekas secara jelas kepada para pengurus masjid dan atau yang aktif di masjid. Sedangkan kepada orang-orang yang sudah mempunyai pemikiran dan idiologi tertentu, hampir-hampir pengaruhnya tidak ada.

Gerakan seperti ini lebih cocok untuk kondisi dan keadaan orang-orang tertentu yang sudah tidak lagi memiliki tanggung jawab keluarga dan masyarakat di lingkungannya sendiri serta telah memiliki pengetahuan agama yang cukup sehingga tinggal mempraktekan dengan cara berdakwah keliling.

Para ulama kaum modernis pembaharu mengkritik hal yang menjadi ciri khas Jama'ah Tabligh yaitu
Kewajiban bai'at dan kegiatan sejumlah hari tertentu bagi setiap anggota dan kemudian meninggalkan keluarga untuk berdakwah. Hal ini menurut pandangan kaum pembaharu sebagai hal mengarah kepada bid'ah. Sedangkan menurut Jama'ah sendiri merupakan upaya praktek Al-Qur'an dan As-Sunnah secara nyata.

AKAR PEMIKIRAN DAN SIFAT IDIOLOGINYA

Jama'ah Tabligh adalah jama'ah Islam yang sumber utamanya adalah Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan thareqatnya Ahlussunnah wa al-Jama'ah. Secara umum Jama'ah Tabligh adalah masih kelompok suni.

Jama'ah ini banyak dipengaruhi ajaran tasawuf dan thareqat seperti thareqat Jusytiyyah di India. Mereka mempunyai pandangan khusus terhadap tokoh-tokoh tasawuf dalam masalah pendidikan dan pengarahan.

Di antara mereka ada yang berkeyakinan bahwa pemikirannya diambil dari Jama'ah antara lain-Nour di Turki.

PENYEBARAN DAN KAWASAN PENGARUHNYA

Pertama kali muncul di India kemudian tersebar ke Pakistan dan Bangladesh, negara-negara Arab dan keseluruh dunia Islam. Jama'ah ini mempunyai banyak pengikut di Suriah, Yordania, Palestina, Libanon, Mesir, Sudan, Irak dan Hijaz.

Dakwah mereka telah tersebar di sebagian besar negara-negara Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Mereka memiliki semangat dan daya juang tinggi serta tidak mengenal lelah dalam berdakwah di Eropa dan Amerika.

Pimpinan pusatnya berkantor di Nizhamuddin, Delhi. Dari sinilah semua urusan da'wah internasionalnya diatur. Dana kegiatannya dipercayakan kepada para da'i sendiri. Ada pula dana yang dikumpulkan secara terpisah-pisah, tidak terorgnisasi, dari beberapa donatur langsung, atau dengan cara mengirim da'i atas biaya donatur tersebut.

Al-Islam, Pusat Komunikasi dan Informasi Islam Indonesia

AKU, ORANG JAWA DAN JAMAAH TABLIGH

Masjid di kampungku kedatangan sebelas anggota Jamaah Tabligh dari Kediri yang menetap di ruang takmir entah selama berapa hari. Hal seperti ini sudah bukan asing lagi di mata kami, orang-orang kampung. Seperti waktu-waktu yang lalu, penampakan mereka tak berubah: memakai jubah, sorban, jenggot panjang, mata dengan celak, wangi-wangian yang khas, hidup sederhana dan ramah penuh persahabatan.

Sebagai orang yang lebih mementingkan akhlak atau budi pekerti dalam membina hubungan pergaulan antar manusia di atas identitas yang lain, maka aku cepat akrab dengan mereka. Aku yang suka menjenguk isi hati orang ini juga dibuat heran ketika diperlihatkan kenyataan bahwa kebaikan mereka kepada “golongan” selain mereka itu adalah tulus dari hati terdalam, tidak berpura-pura atau dibuat-buat. Aku tidak suka sesuatu yang dibuat-buat atau direkayasa karena itu kuanggap mengingkari isi hati, membohongi diri sendiri, tidak wajar dan tentu saja tidak alami. Jika mereka seperti itu, tentu aku sudah menghindar sejak dulu. Tapi tidak, mereka menganggap kami sebagai saudara.

Adab mereka tidak cuma lewat kata-kata dan keterbukaan pergulan, tapi juga dalam tindakan nyata sehari-hari. Ini kuamati ketika sekitar setengah tahun yang lalu, serombongan Jamaah Tabligh dari Klaten dan sekitarnya datang juga ke masjid kampungku, dengan penampilan yang tidak jauh berbeda tentunya. Mereka membawa kompor dan peralatan masak seadanya. Selama lima hari menetap di masjid mereka mengerjakan tugas-tugas keseharian masjid, termasuk bersih-bersih WC dan menjaga kebersihan dan kerapian masjid.

Setelah shalat maghrib berjamaah selesai, mereka akan mengambil duduk di depan dan mulai mengisi ceramah pendek dengan bahasa Jawa kromo. Isinya sangat umum, utamanya tentang amar ma’ruf nahi munkar, mengajak berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran. Setelah shalat isya’ mereka bertamu ke rumah-rumah di kampung dan dengan sopan mengulangi ajakan itu lagi. Kuamati gerak organisasi mereka ada kemiripan dengan setiap jamaah atau gerakan organisasi agama yang lain, atau pun juga organisasi yang beraliran kiri sekalipun: mengajak setiap orang untuk bergabung dengan kelompok mereka. Dari diskusi yang aku lakukan dengan mereka, aku jadi tahu seluk beluk organisasi mereka, kantor pusat mereka, hingga mata pencaharian dan kehidupan rumah tangga mereka serta alasan mengapa mereka meninggalkan rumah dan keluarga selama berbulan-bulan untuk melakukan perjalanan keliling seperti yang sedang mereka lakukan. Begitu mengharukan.

Di jogja base camp pusat mereka ada di Jalan Kaliurang km 5, dan ke sanalah aku dihimbaunya untuk besilaturahmi. Aku jawab ya, meski hingga kini masih belum aku lakukan dengan alasan-alasan tertentu. Aku tahu base camp mereka adalah sebuah masjid yang ketua takmir masjidnya tak lain adalah sahabat ibuku sendiri, Bapak Rasyid Baswedan, dosen Fakultas Ekonomi UII, ayah dari Anis Baswedan yang menjadi rektor Universitas Paramadina. Aku tahu sekali Pak Rasyid bukan anggota jamaah mereka, tapi dulu sekali, ketika jamaah tabligh itu mula-mula datang dan meminta izin untuk menempati masjid dan menjadikannya base camp, Pak Rasyid tak tega untuk menolaknya setelah menilai kelakuan mereka cukup beradab juga.

INI adalah tanggapan dari orang-orang kampungku, orang jawa ndeso saat kedatangan mereka dahulu. Di kampungku ada beberapa kelompok pengajian ibu-ibu yang dibina oleh ibuku. Melihat kedatangan mereka, diprakarsai oleh ibuku kelompok-kelompok itu kemudian berinisiatif memberi mereka makan sehari dua kali. Penduduk kampungku adalah masyarakat agraris, maka beras dan sayur tidak usah beli, sedangkan untuk biaya lauk-pauknya adalah sumbangan para donatur teman-teman ibuku. “Mereka adalah tamu kita, tamu yang baik dan sopan, wajib hukumnya untuk memperlakukan tamu dengan baik”, kata ibuku. Benar sekali, kataku.

Kini, pada kedatangan rombongan mereka yang kedua kalinya ini ibuku sedang ada urusan di Jakarta selama sebulan. Kuamati tidak ada lagi jamuan makan untuk para tamu itu. Tidak ada inisiatif dari penduduk kampungku, meski aku bisa maklum. Orang-orang Jawa pedesaan pada umumnya adalah orang-orang pasif, menerima, tidak akan bergerak jika tidak ada yang menggerakkan, sebab mereka terbiasa dengan istilah menunggu Satria Piningit atau Ratu Adil. Perilaku itu juga tergambarkan dalam irama musik tradisional Jawa, gamelan, di mana kenong, bonang dan alat musik yang lain dimainkan berputar-putar menunggu diakhiri dan dibuka kembali oleh gong, dan kemudian musik itu kembali ke awal lagi, berputar-putar dan diakhiri dan dibuka kembali dengan gong, begitu seterusnya. Orang-orang Jawa menunggu gong itu, menunggu datangnya seorang yang bisa memimpin segala gerak mereka menuju satu tujuan.

Di saat orang-orang Jawa itu telah mendapatkan pemimpinnya, mereka akan mengikutinya, setia sampai mati untuk mendukungnya. Ini juga bisa menjelaskan kenapa Gusdur, Megawati dan Sri Sultan HB X memiliki banyak pengikut, orang-orang setia yang akan membela dan menjadi pendukung sampai mati. Diantara para jamaah NU, Gusdur akan cukup menikmati anggapan mereka para pemujanya sebagai wali, yang anggapan itu sesungguhnya mula-mula bersumber dari siapa juga masih kurang ada kejelasan. Sedangkan megawati adalah anak Soekarno, bapak pendiri bangsa, yang oleh para pendukung fanatiknya akan dibanggakan sebagai titisan Soekarno dan diprasangkakan mewarisi kemampuan dan karisma bapaknya dalam menyatukan bangsa ini. (Namun agak mengherankan bahwa prasangka ini hanya dijatuhkan ke Megawati saja, tidak ke Fatmawati, Guruh atau anak Soekarno yang lain). Sedangkan Sultan jelas masih menjadi raja, secara de yure di Yogyakarta Hadiningrat, secara de facto di tanah Jawa. Maka pendukung fanatik Sultan adalah di DIY, Jateng, dan Jatim, tempat-tempat yang tradisi kejawennya masih kental yang meyakini bahwa sultan adalah hamengku buwono (pemangku/pusat bumi).

Fenomena ini sesungguhnya kerap terjadi di tanah Jawa, wilayah yang menganut budaya majapahit-an, budaya feodal, budaya yang menjalani hidup dengan pasrah pada keadaan, meski melarat dan ditindas tetap tidak ada inisiatif untuk melakukan perubahan, hanya menunggu saja hingga suatu saat datang ratu adil yang akan memimpin mereka menuju perubahan. Dengan budaya seperti ini maka sosok Gus Dur, Megawati dan Sultan akan dibenarkan sifat kewalian, keratuan dan kekesatriaan mereka.

Dari budaya ini pula ada konsensus tak tertulis bahwa pemimpin itu dipilih berdasar garis keturunan, bukan karena yang bersangkutan memiliki sesuatu (kesaktian, karomah, ilmu, kepandaian, keahlian) yang cukup beralasan untuk menjadikan mereka pemimpin. Dengan ini maka Gus Dur memang sudah seharusnya menjadi pemimpin NU sebab ia adalah cucu Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dan juga pemimpin bangsa sebab ia keturunan Joko Tingkir/Mas Karebet/Pangeran Hadiwijaya, pendiri dan raja pertama Kasultanan Pajang yang menguasai tanah Jawa. Untuk Megawati, semua orang sudah tahu ia anak Soekarno, bapak pendiri bangsa, dan Soekarno keturunan raja-raja majapahit yang bertahta di Bali. Sedangkan Sultan HB X adalah pewaris syah tahta Mataram, kerajaan terakhir di Jawa. Maka dengan mempertimbangkan garis keturunan, ketiga tokoh itu seolah adalah orang-orang terpilih yang memiliki wahyu untuk memimpin Indonesia.

Setidaknya sifat orang Jawa yang menunggu akan datangnya pemimpin itu membuat ibuku, warga pendatang, kemudian bisa memimpin ibu-ibu kampung, masyarakat yang berfalsafah nrima ing pandum itu untuk melakukan sebuah gerak nyata demi kebaikan bersama. Kedatangan ibuku untuk membawa perubahan di kampungku seolah telah ditunggu oleh mereka sejak lama. Ibuku memang datang membawa banyak perubahan, tapi budaya Jawa membuat sosok ibuku menjadi semacam wali perempuan yang bisa memberikan pencerahan. Maka tak heran aku saat melihat beberapa orang kampung bertamu ke rumahku, bapak atau ibu, meminta doa untuk kesehatan mereka atau kebaikan anak-anak mereka. Saat panen besar tiba, rumahku akan mendapat kiriman beras, sayuran atau buah-buahan. Saat ada hajatan, kendurenan atau tasyakuran, secara rutin rumahku akan mendapat kiriman nasi, sayur dan lauk-pauk untuk porsi tiga sampai lima orang.

Aku renungkan kemudian, betapa budaya seperti ini akan dengan mudah mengangkat segelintir orang di singgasana yang setinggi-tingginya, dan pada giliran lain merendahkan sebagian besar rakyat jelata di tempat yang serendah-rendahnya, melata menggelesot di tanah, dengan alat yang namanya mitos, tradisi dan keyakinan yang tak jelas asal-usulnya. Aku tersenyum saat melintasi Jalan Sagan; ketika motorku berhenti di perempatan karena lampu merah, kulihat di seberang Galeria Mall ada tembok tinggi yang dilukisi mural bergambar tukang becak yang di atasnya ada pesawat dan Superman sedang terbang, dihiasi tulisan “glinding duwur iso mabur, glinding ngisor mung iso ndlosor” (berjalan di atas bisa terbang, berjalan di bawah cuma bisa merangkak).

Sumber: http://amrodhi.blog.friendster.com/2008/08/aku-orang-jawa-dan-jamaah-tabligh/

BERKELANA MENEBAR RAHMAT

Tanpa banyak bicara, anggota Jamaah Tabligh berkelana ke berbagai penjuru Nusantara, bahkan ke seluruh dunia. Hanya satu tujuannya, mengajak ke jalan Allah.

Masjid tua Kebon Jeruk, Jakarta Selatan itu seperti tidak pernah mati. Ia selalu hidup dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Apalagi setiap hari Kamis, sekitar 2000 laki-laki berkumpul di masjid yang didirikan tahun l718 oleh seorang ulama dari negeri Cina ini. Mereka dengan khusyuk mengikuti ceramah yang disampaikan seorang ustadz. Ada yang berpakaian takwa (koko) warna-warni dan berkopiah haji putih. Ada pula yang berpakaian gamis --baju panjang yang biasa dipakai orang Arab. Tak sedikit di antara mereka yang memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Tapi mereka penuh dengan senyum dan menyapa akrab setiap orang.

Mereka adalah anggota Jamaah Tabligh (JT) yang datang tidak hanya dari Jakarta. Melainkan juga dari Jawa Barat, Jawa Timur dan daerah lain di Indonesia. Bahkan ada pula yang dari India, Pakistan, Malaysia dan Thailand. Umumnya mereka membawa tas-tas besar berisi pakaian dan perbekalan lainnya.

Pengajian yang dimulai usai shalat ashar berjamaah itu disebut takrir, yang berisi soal-soal agama yang muncul selama khuruj (dakwah keluar). Dan juga diadakan evaluasi selama di lapangan, kemudian mendiskusikannya bersama-sama. Usai shalat maghrib, seorang ustadz berdiri di mimbar, dan berkhutbah tentang pentingnya amal shalih bagi setiap Muslim. Bila sang ustadz mengutip hadist atau ayat Al Qur'an berupa ancaman, serempak jamaah berucap istighfaaar "astaghfirullahaladzzim." Jika yang dikutip berupa kebesaran Allah serempak jamaah menyahut dengan tasbih "subhanallah."

Usai khutbah ada tasykil, tawaran khuruj secara berombongan. Lamanya dakwah berfariasai mulai 3 hari, 7 hari, 10 hari, 40 hari sampai 4 bulan. "Ayo saudara-saudara kita dakwah, masya Allah, masya Allah. Allah yang akan menjaga anak, istri, keluarga atau harta kita," katanya. Banyak jamaah antusias menerima ajakan itu. Mereka lalu didaftar dan diseleksi oleh Ahli Syura. Hanya yang memenuhi syarat yang bisa khuruj.

Rangkaian ibadah itu ditutup dengan shalat isya' berjamaah. Setelah itu jamaah mengisi waktu istirahat dengan berbagai cara. Ada yang berdiskusi dengan kelompoknya tentang persiapan keluar esok harinya atau bertukar pengalaman dengan peserta dari kelompok lain. Ada juga yang tidur-tiduran atau makam malam. Uniknya, makannya memakai tempayan. Satu tempayan dikepung 4-5 orang.

Tengah malam mereka bangun melaksanakan shalat tahajut. Setelah shalat subuh diadakan ceramah kembali hingga matahari terbit. Setelah usai barulah mereka siap-siap untuk khuruj sesuai tujuan masing-masing kelompok. Pelepasan mereka dilakukan oleh Ahli Syura yang terdiri dari tujuh orang: H Ahmad Zulfaqar, H Cecep Firdaus, Muhammad Muslihuddin, Dr AA Noor, Syamsuddin Abdullah, Ir. Aminuddin Noor, dan M Sani Ilyas.

Begitu sampai di tempat sasaran dakwah, mereka menyebar, keluar masuk kampung, pasar, dan warung-warung, sambil tetap berzikir kepada Allah.

Dengan tenang mereka mengajak orang untuk mendengarkan ceramahnya. Usai ceramah, orang-orang itu diajari cara berwudlu, tata cara shalat, dan membaca Al Fatihah serta ayat-ayat Al Qur,an lainnya. Sebelum tugas dakwah selesai, anggota jamaah mengajak masyarakat setempat melakukan dakwah ke tempat lain. "Kalian adalah sebaik-baiknya ummat yang diturunkan ke tengah-tengah masyarakat," demikian tertulis dalam Al Qur'an Surat Ali Imran, ayat 110, yang dijadikan pedoman mereka.

Menurut Zulfaqar, Penanggung Jawab JT Indonesia, aktivitas JT selama ini tak banyak mendapatkan rintangan, baik dari masyarakat maupun pemerintah. "Awalnya memang ada yang curiga. Tapi setelah tahu, mereka memahami," katanya.

Berdakwah dengan model khuruj yang menjadi ciri khas JT, kata Amin yang juga penanggung jawab JT Surabaya, memang efektif dan membekas. Contohnya, yang dia alami sendiri. Pada tahun 1985 ada 4 orang warga Malaysia datang ke Kampung Jalan Ikan Gurami IV Surabaya. Amin sempat bertanya-tanya dalam hati, "Mengapa mereka jauh-jauh datang ke Surabaya hanya minta untuk diizinkan boleh numpang beberapa hari di masjid," ungkapnya. Keempat warga Malaysia (ustadz Amin lupa satu-persatu namanya) selama di masjid Nurul Hidayah itu mengajak jamaah untuk mengamalkan shalat, wirid, memberi ceramah mengenai Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan melakukan amalan sunnah lainnya seperti shalat dhuha, iktikaf dan shalat malam. Setelah diamati gerak-gerik dan perilaku mereka, akhirnya Amien kagum dan tertarik. "Saya merasakan, apa yang saya lakukan selama ini belum sesuai dengan sunnah Nabi," kenangnya.

Khuruj dilakukan secara berkelompok --antara 10 hingga 15 orang-- mengunjungi daerah-daerah sesuai sasaran dakwah yang telah ditentukan. Bagaimana dengan pendanaan? Dan bagaimana pula dengan nafkah pada keluarga yang ditinggal di rumah?

"Itu sudah diperhitungkan secara matang," ujar Amin yang sudah 7 kali keliling dunia (1995 ke Eropa, 1996 ke Australia, 1997 ke Afrika, dan ke beberapa negara di Asia lainnya). "Khuruj jangan disalahtafsiri mengabaikan keluarga di rumah," timpal Muhammad Muslihuddin, salah seorang anggota Syuro Jamaah Tabligh Indonesia.

Sebelum khuruj, keluarga di rumah terlebih dulu dicukupi nafkahnya. Atau dengan cara lain, misalnya "Bersama keluarga secara berpasangan dengan muhrim-nya, suami dan isteri serta anak-anak," tambahnya. Soal biaya?

"Itu ditanggung pribadi masing-masing. Karena, dari setiap usaha yang dilakukan sengaja disisihkan untuk dakwah," ustadz Amin melengkapi keterangan Muslihuddin.

Setidaknya, kata Muslihuddin, dalam sebulan ada 3 hari dan 40 hari dalam setahun yang disisihkan untuk khuruj. Jumlah waktu khuruj ini, katanya lagi, jika dibanding dengan waktu di rumah sebetulnya lebih banyak waktu yang diberikan untuk keluarga di rumah. Kalangan jamaah kita, lanjutnya, sudah paham. Sehingga, ketika ada keluarga, misalnya suami yang melakukan khuruj, istri dan anak di rumah sudah mafhum.

Tak Lupa Kerja

Bagaimana dengan pekerjaan? Menurut Amin, kebanyakan anggota JT lebih enjoy berwiraswasta. Karena tidak terlalu mengikat dengan tugas dakwah. Sebab, tugas utama manusia di dunia ini adalah menyeru atau mengajak orang (lain) pada jalan yang benar. "Kuntum khaira ummat......(Kalian diturunkan ke dunia adalah sebaik-baik umat, dan mempunyai tugas amar makruf nahi munkar)," ujar Amin mengutip al-Qur'an Surah Ali Imran, ayat 110.

Akan tetapi, JT tidak berarti mengikat jamaahnya bekerja pada instansi lain. Kepada anggota JT yang kebetulan bekerja pada suatu instansi yang memang terikat waktunya, soal khuruj tetap tidak bisa diabaikan. "Yang penting bagi kita adalah ikhlash," tutur Amin. "Keikhlasan ini yang ditanamkan pada kalangan jamaah kami." Bagi mereka yang kebetulan terikat oleh waktu kerja pada instansi, bisa mengikuti program khuruj 3 hari dalam sebulan. Misalnya, mereka berangkat Jum'at sore selepas kerja hingga Senin pagi --tanpa balik ke rumah-- langsung menuju ke tempat kerjanya. Sehingga, dengan cara seperti ini, mereka tidak melupakan kerjanya.

Abdurrahman, misalnya. Karyawan sebuah perusahaan kontraktor di Surabaya ini, kendati masih tergolong baru tapi merasa "asyik" bergabung dalam JT. Dia ikut JT sejak masih kelas 2 STM di Surabaya. Kendati sekarang bekerja pada instansi yang waktunya cukup terikat, namun dia tidak pernah melalaikan khuruj. "Saya bisanya mengikuti khuruj 3 hari dalam sebulan," akunya.

Dicurigai

Tak banyak orang yang tahu apa itu JT? Sehingga keberadaan JT banyak dipertanyakan, bahkan di beberapa daerah dicurigai. "Dianggap sebagai ajaran sesat," ujar Arif dan Abdurrahman, anggota JT Surabaya. Tidak cuma sebatas itu. Pengalaman Arif sewaktu khuruj, dia diusir warga setempat karena dianggap menyebarkan aliran sesat. Bahkan, ketika khuruj ke India, waktu sedang memberikan ceramah di sebuah masjid, Arif didatangi polisi dan sempat diinapkan semalam di Pos Polisi di negara itu.

Arif yang mengaku mulai ikut JT pada tahun 1992, toh tidak kapok. "Bagi saya tak masalah, karena memang belum banyak orang yang tahu apa itu khuruj. Tapi, setelah mereka ikut dalam dakwah kami, ya tidak masalahkan lagi," kenangnya.

Wisnu Jatmiko, kiranya senasib dengan Arif. Mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Komputer UI ini mengaku mulai tertarik dengan JT pada tahun 1991. Pengalaman pahit yang dirasakan adalah, sewaktu mengikuti klhuruj di Bengkulu (1998). "Saya merasa tertekan. Ketika itu tak ada masjid. Apalagi, waktu itu menjelang Pak Harto lengser, aparat Muspida disana menaruh curiga berat, sehingga rombongan kami dikejar-kejar terus," kenang Wisnu. "Tapi disitulah, kami merasakan nikmatnya ujian mental keimanan."

Menurut Drs. Ridlwan Abu Bakar, Msi., adanya kecurigaan-kecurigaan itu cukup wajar. "Karena pada awalnya memang tidak tahu semata. Tetapi setelah ditelusuri, dan tidak menyesatkan, ya tidak dimasalahkan. Toh, kenyataannya mereka hingga sekarang eksis," ujar Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.

Ada dua hal yang tidak boleh diperbincang selama Tabligh, yaitu soal politik dan khilafiah (soal agama yang memancing perdebatan). "Alasannya, karena tujuan dakwah itu menyatukan ummat. Sementara politik cenderung memecah belah ummat," kata Zulfaqar, pensiuan angkatan darat berpangkat Letkol ini.

Dalam kehidupan sehari-hari para anggota dibebaskan untuk mengikuti kegiatan politik yang menjadi pilihannya. Sementara organisasi Islam lainnya, mereka anggap sebagai kawan seperjuangan.

Keharusan khuruj itu didasarkan pada satu hadits Nabi yang berbunyi "apabila ummatku di akhir zaman mengorbankan 1/10 waktunya di jalan Allah, akan diselamatkan." Maka setiap hari mereka juga harus menyisakan 2,5 jam waktu mereka untuk berdakwah. Bagaimana dengan kita?

Sumber: http://media.isnet.org/islam/Etc/Tabligh3.html

PESAN UNTUK UMAT AKHIR JAMAN

Assalammu’alaykum wr. wb.
Berikut adalah beberapa pesan yang disampaikan oleh Bay Wahab orang yang telah lama dalam usaha da’wah Rasulullah SAW :
  1. Kita dikirim oleh Allah SWT ke dunia ini dengan umur yang sangat singkat, namun dengan umur yang sangat singkat itu kita diperintahkan untuk mendapatkan dan membina akhirat yang selama-lamanya.
  2. Hendaknya kita jangan merasa menjadi orang indonesia, atau orang jakarta, atau orang pakistan, atau lainnya, tapi hendaklah kita merasa diri kita ini adalah umat Rasululah SAW.
  3. Rasulullah SAW adalah nabi terakhir yang dikirim untuk seluruh manusia seluruh alam hingga hari kiamat, nabi-nabi terdahulu hanya dikirim untuk kaumnya atau negaranya saja, dikatakan kepada nabi Isa as itu ada manusia kufur kepada Allah, tapi nabi Isa as katakan aku tidak diutus kepada orang itu aku diutus hanya kepada kaum bani israil.
  4. Kini Rasulullah SAW telah wafat dan tak akan ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW, tapi risalah agama yang dibawa nabi SAW tetap harus sampai ke seluruh alam hingga hari kiamat.
  5. Maka kita sebagai umat Rasulullah SAW mempunyai kewajiban untuk meneruskan tugas ini, tugas da’wah menyampaikan agama ke seluruh alam.
  6. Baik yang muda, yang tua, yang sakit, yang sembuh, yang kaya, yang miskin, yang pejabat maupun rakyat, laki-laki maupun perempuan, yang awam atau bodoh maupun yang pintar sebagai umat Rasulullah SAW mempunyai kewajiban ini.
  7. Maka sekarang diri kita pertama kali MOHON AMPUN (BERISTIGHFAR) kepada Allah SWT, karena kita telah lupa dan melalaikan tugas ini.
  8. Hari ini manusia menganggap petani adalah pekerjaannya, supir taksi pekerjaannya, pedagang adalah pekerjaannya, bisnis adalah pekerjaannya, padahal kerja umat Rasulullah SAW yang sesungguhnya adalah kerja da’wah.
  9. Maka kita MOHON AMPUN (BERISTIGHFAR) ke pada Allah SWT karena tidak menganggap kerja da’wah adalah pekerjaan kita.
  10. Kita harus merasa kasihan kepada orang amerika, orang eropa, dll yang tidak beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, karena apabila mereka mati maka mereka akan masuk k edalam kubur dengan 99 ular yang mematukinya sampai hari kiamat selanjutnya akan disiksa abadi di dalam neraka selama-lamanya.
  11. Hendaknya usaha da’wah kita kita niatkan seperti yang Rasulullah SAW niatkan yaitu untuk seluruh alam, dan bawa usaha ini dengan kasih sayang dan hikmah.
  12. Apabila kita niatkan seperti Rasulullah SAW maka do’a kita, bicara da’wah kita, ibadah kita akan mendapatkan pahala seluruh alam.
  13. Mendirikan shalat akan mendapatkan pahala, tapi mengajak orang lain untuk mendirikan shalat akan mendapat pahala yang besar dari Allah SWT.
  14. Apabila kita buat kerja yang sama dengan kerja Rasulullah maka Allah SWT akan berikan pertolongan kepada kita sebagaimana Allah SWT tolong Rasulullah SAW dan do’a kita akan dikabulkan oleh Allah SWT.
  15. Apabila ada orang yang menentang kita dalam usaha da’wah maka sesungguhnya dia bukan menentang kita tapi menentang pekerja da’wah dan oleh Allah SWT akan diberikan 2 keputusan apakah dia akan diberikan hidayah atau dihancurkan oleh Allah SWT.
  16. Maka kita jangan takut kepada siapapun, hendaknya kita hanya takut kepada Allah SWT dan berharap hanya kepada Allah SWT.
  17. Maka kita hendaknya sampaikan kalimat Laa ilaaha illallaah kepada seluruh manusia yang ada diseluruh alam.
  18. Apabila kita perbanyak bicarakan kalimat Laa ilaaha illallaah dan bicarakan kebesaran Allah, buat halaqah-halaqah untuk meningkatkan iman, membicarakan akhirat, surga dan neraka sedetail-detailnya, perbanyak ta’lim tentang keutamaan ber’amal, perbanyak dzikir dan do’a, kemudian baru shalat kita akan mempunyai ruh.
  19. Mari kita sama-sama niatkan dalam diri kita untuk buat kerja yang sama dengan kerja Rasulullah SAW yaitu kerja da’wah sampaikan kalimah iman kepada umat seluruh alam, sampaikan risalah Rasulullah SAW hingga hari kiamat dengan begitu Allah SWT akan tolong kita , Allah SWT akan selesaikan masalah-masalah kita.
Wassalam mu’alaykum Wr. Wb.
(dari : usahadakwah.wordpress.com)

Rabu, 27 Mei 2009

RIWAYAT HIDUP MAULANA ILYAS

Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy lahir pada tahun 1303 H. (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Prades, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya bernama Shafiyah Al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama dan memiliki sifat wara’. Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya. Sementara Maulana Muhammad Ilyas adalah anak ketiga dari tiga bersaudara ini.

Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar agama pada kakeknya Syaikh Muhammad Yahya, beliau adalah seorang guru agama pada madrasah di kota kelahirannya. Kakeknya ini adalah seorang penganut mazhab Hanafi dan teman dari seorang ulama dan penulis Islam terkenal, Syaikh Abul Hasan Al-Hasani An-Nadwi yang merupakan seorang direktur pada lembaga Dar Al-‘Ulum di Lucknow, India[2]. Ayah beliau Syaikh Muhammad Ismail adalah seorang ruhaniawan besar yang suka menjalani hidup dengan ber’uzhlah, berkhalwat dan beribadah, membaca Al-Qur’an dan melayani para musafir yang datang dan pergi serta mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama.

Beliau selalu mengamalkan do’a ma’tsur dari hadits untuk waktu dan keadaan yang berlainan. Perangainya menyukai kedamaian dan keselamatan serta bergaul dengan manusia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, tidak seorangpun meragukan dirinya. Bahkan beliau menjadi tumpuan kepercayaan para ulama sehingga mampu membimbing berbagai tingkat kaum muslimin yang terhalang oleh perselisihan di antara mereka. Adapun ibunda beliau Shafiyah Al-Hafidzah adalah seoarang Hafidzah Al-Qur’an. Istri kedua dari Syaikh Muhammad Ismail ini selalu menghatamkan Al-Qur’an, bahkan sambil bekerjapun mulutnya senantiasa bergerak membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang ia hafal.
Maulana Muhammad Ilyas sendiri mulai mengenal pendidikan pada sekolah Ibtidaiyah (dasar). Sejak saat itulah beliau mulai menghafal Al-Qur’an, hal ini di sebabkan pula oleh kebiasaan yang ada dalam keluarga Syaikh Muhammad Ismail yang kebanyakan dari mereka adalah hafidzh Al-Qur’an. Sehingga diriwayatkan bahwa dalam shalat berjama’ah separuh shaff bagian depan semuanya adalah hafidzh terkecuali muazzin saja. Sejak kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam dirinya, beliau memilki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga ‘Allamah Asy-Syaikh Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (guru besar ilmu hadits pada madrasah Darul ‘Ulum Deoband) mengatakan, “sesungguhnya apabila aku melihat Maulana Ilyas aku teringat akan kisah perjuangan para sahabat”.

Pada suatu ketika saudara tengahnya, yakni Maulana Muhammad Yahya pergi belajar kepada seorang ‘alim besar dan pembaharu yang ternama yakni Syaikh Rasyid Ahmad Al-Gangohi, di desa Gangoh, kawasan Saranpur, Utar Pradesh, India. Maulana Muhammad Yahya belajar membersihkan diri dan menyerap ilmu dengan bimbingan Syaikh Rasyid. Hal ini pula yang membuat Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar pada Syaikh Rasyid sebagaimana kakanya. Akhirnya Maulana Ilyas memutuskan untuk belajar agama menyertai kakaknya di Gangoh. Akan tetapi selama tinggal dan belajar di sana Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini ditanggungnya selama bertahun-tahun lamanya, tabib Ustadz Mahmud Ahmad putra dari Syaikh Gangohi sendiri telah memberikan pengobatan dan perawatan pada beliau.

Sakit yang dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnyapun menurun, akan tetapi beliau tidak berputus asa. Banyak yang menyarankan agar beliau berhenti belajar untuk sementara waktu, beliau menjawab, ”apa gunanya aku hidup jika dalam kebodohan”. Dengan ijin Allah SWT, Maulana pun menyelesaiakan pelajaran Hadits Syarif, Jami’at Tirmidzi dan Shahih Bukhari, dan dalam jangka waktu empat bulan beliau sudah menyelesaikan Kutubus Sittah[3]. Tubuhnya yang kurus dan sering terserang sakit semakin membuat beliau bersemangat dalam menuntut ilmu, begitu pula kerisauannya yang bertambah besar terhadap keadaan umat yang jauh dari Syari’at Islam.

Ketika Syaikh Gangohi wafat pada tahun 1323 H, beliau baru berumur dua puluh lima tahun dan merasa sangat kehilangan guru yang paling dihormati. Hal ini membuatnya semakin taat beribadah pada Allah. Beliau menjadi pendiam dan hanya mengerjakan ibadah, dzikir, dan banyak mengerjakan amal-amal infiradi[4].

Maulana Muhammad Zakariya menuliskan:
Pada waktu aku mengaji sebuah kitab kepada beliau, aku datang padanya dengan kitab pelajaranku dan aku menunjukkan tempat pelajaran dengan jari kepadanya. Tetapi apabila aku salah dalam membaca, maka beliau akan memberi isyarat kepadaku dengan jarinya agar menutup kitab dan menghentikan pelajaran. Hal itu beliau maksudkan agar aku mempelajari kembali kitab tersebut, kemudian datang lagi pada hari berikutnya[5].

Beliau akhirnya berkenalan dengan Syaikh Khalid Ahmad As-Sharanpuri penulis kitab Bajhul Majhud Fi Hilli Alfazhi Abi Dawud dan akhirnya beliau berguru kepadanya. Semakin bertambah ilmu yang dimiliki membuat beliau semakin tawaddu'. Ketawaddu'an beliau di usia mudanya menyebabkan beliau dihormati di kalangan para Ulama dan Masyaikh. Syaikh Yahya, kakak kandung beliau sendiri tidak pernah memperlakukan beliau sebagai anak kecil, bahkan Syaikh Yahya sangat menghormati beliau.

Pada suatu ketika di Kandhla ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh ulama-ulama besar, di antaranya terdapat nama Syaikh Abdurrahman Ar-Raipuri, Syaikh Khalil Ahmad As-Sharanpuri, dan Syaikh Asyraf Ali At-Tanwi. Waktu itu tiba waktu sholat Ashar, mereka meminta Maulana Ilyas untuk mengimami sholat tersebut. Ustadz Badrul Hasan salah seorang di antara keluarga besar tersebut berkata, “alangkah panjang dan beratnya kereta api ini, namun alangkah ringan lokomotifnya”, kemudian salah seorang diantara hadirin menjawab,” tetapi lokomotif yang kuat itu justru karena ringannya”.

Akibat kematian kakaknya, Maulana Muhammad Yahya, pada 9 Agustus 1925, beliau mengalami goncangan batin yang cukup berat. Dua tahun setelah itu, menyusul kakaknya yang tertua, Maulana Muhammad. Beliau meninggal di Masjid Nawab Wali, Qassab Pura dan dimakamkan di Nizamuddin. Kematian Maulana Muhammad ini mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya. Beribu orang menziarahi jenazahnya. Setelah dimakamkan orang ramai meminta kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan kakaknya di Nizamuddin padahal pada waktu itu beliau sedang menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Mazhahirul ‘Ulum. Masyarakat bahkan menjanjikan dana bulanan kepada madrasah dengan syarat agar dapat diamalkan seumur hidupnya. Pada akhirnya, setelah mendapat ijin dari Maulana Khalil Ahmad dengan pertimbangan jika tinggalnya di Nizamuddin membawa manfaat maka Maulana Ilyas akan diberi kesempatan untuk berhenti mengajar. Beliau pun akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke madarasah warisan ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat mengajar yang tinggi beliaupun akhirnya membuka kembali madrasah tersebut.

Karena semangat yang tinggi untuk memajukan agama, beliaupun mendirikan Maktab di Mewat, tetapi kondisi geografis yang agraris menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai anak-anak mereka pergi ke kebun atau ke sawah daripada ke Madrasah atau Maktab untuk belajar agama, membaca atau menulis. Dengan demikian Maulana Ilyas dengan terpaksa meminta orang Mewat untuk menyiapkan anak-anak mereka untuk belajar dengan pembiayaan yang ditanggung oleh Maulana sendiri. Besarnya pengorbanan Maulana hanya untuk memajukan pendidikan agama bagi masyarakat Mewat tidak mendapatkan perhatian. Bahkan mereka enggan menuntut ilmu, mereka senang hidup dalam kondisi yang sudah mereka jalani selama bertahun-tahun turun temurun.

Beliau melihat bahwa kebodohan, kegelapan dan sekularisme yang melanda negerinya sangat berpengaruh terhadap madrasah-madrasah. Para murid tidak mampu menjunjung nilai-nilai agama sebagaimana mestinya, sehingga gelombang kebodohan semakin melanda bagaikan gelombang lautan yang melaju deras sampai ratusan mil membawa mereka hanyut. Tetap saja masyarakat masih belum memiliki semangat agama. Kebanyakan mereka tidak begitu berminat untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar ilmu di Madrasah. Hal ini disebabkan mereka tidak tahu pentingnya ilmu agama, mereka pun tidak menaruh hormat pada lulusan Madrasah yang telah memberikan penerangan dan dakwah. Orang Mewat pun tidak mau mendengarkan apalagi mengikutinya. Kesimpulannya bahwa Madrasah-madrasah yang ada itu tidak mampu mengubah warna dan gaya hidup masyarakat[6].

Melihat keadaan Mewat yang sangat jahil itu semakin menambah kerisauan beliau akan keadaan umat Islam terutama masyarakat Mewat. Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan madrasah-madrasah banyak didirikan, tetapi hal itu belum dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat Mewat. Dengan ijin Allah timbullah keinginannya untuk mengirimkan jama’ah dakwah ke Mewat. Pada tahun 1351 H/1931 M, beliau menunaikan haji yang ketiga ke tanah suci Makkah. Kesempatan tersebut dipergunakannya untuk menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab guna mengenalkan usaha dakwah dan dengan harapan agar usaha ini dapat terus dijalankan di tanah Arab. Keinginannya yang besar menyebabkan beliau berkesempatan menemui Sultan Ibnu Sa’ud yang menjadi raja tanah Arab untuk mengenalkan usaha mulia yang dibawanya. Selama di tanah Makkah Jama’ah bergerak setiap hari sejak pagi sampai petang, usaha dakwah terus dilakukan untuk mengajak orang taat kepada perintah Allah dan menegakkan dakwah.
Setelah pulang dari haji tersebut, Maulana mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai Jama’ah dengan jumlah yang cukup besar, paling sedikit seratus orang. Bahkan di beberapa tempat jumlah itu justru semakin membengkak. Kunjungan pertama dilakukan selama satu bulan dan kunjungan ke dua dilakukan hanya beberapa hari saja. Dalam kunjungan tersebut beliau selalu membentuk jama’ah-jama’ah yang dikirim ke kampung-kampung untuk berjaulah (berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan pentingnya agama[7]. Beliau sepenuhnya yakin bahwa kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerusakan. Adapun satu-satu jalan adalah membujuk orang-orang Mewat agar keluar dari kampung halamannya untuk memperbaiki diri dan belajar agama, serta melatih kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga tumbuh kesadarannya untuk mencintai agama lebih daripada dunia dan mementingkan amal dari mal (harta).

Dari Mewat inilah secara berangsur-angsur usaha tabligh meluas ke Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra, Bulandshar, Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah lainnya. Begitu juga di bandar-bandar pelabuhan banyak jama’ah yang tinggal dan terus bergerak menuju tempat-tempat yang ditargetkan sepeti halnya daerah Asia Barat[8]. Terbentuknya jama’ah ini adalah dengan ijin Allah melalui kerisauan seorang Maulana Muhammad Ilyas, menyebarlah jama’ah-jama’ah yang membawa misi ganda yaitu ishlah diri (perbaikan diri sendiri) dan mendakwahkan kebesaran Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Perkembangan jama’ah ini semakin hari semakin tampak. Banyak jama’ah yang dikirim dari tempat-tempat yang dikunjungi jama’ah pun ada yang kemudian membentuk rombongan jama’ah baru sehingga silaturrahim antara kaum muslimin dengan muslim yang lain dapat terwujud. Gerakan jama’ah tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi sedikit telah menyebar ke barbagai negara. Hanya kekuasaan Allah yang dapat memakmurkan dan membesarkan usaha ini.
Kerisauan akan keadaan umat semakin bertambah, jama’ah-jama’ah banyak dibentuk dan dikirim ke pelosok jazirah. Sehingga dengan ijin Allah usaha ini pun semakin meluas. Maulana Muhammad Ilyas tanpa henti terus memberi dorongan dan arahan ilmu dan pemikirannya untuk menjalankan usaha dakwah ini agar sampai ke seluruh alam. Dalam keadaan umur yang tua renta, Maulana terus bersemangat hingga tubuhnya yang kurus tidak mampu lagi untuk digerakkan ketika beliau menderita sakit. Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya Maulana mengirim utusan kepada Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul Qodir Raipuri, dan Maulana Zafar Ahmad, bahwa beliau akan mengamanahkan kepercayaan sebagai amir jama’ah kepada sahabat-sahabatnya seperti Hafidz Maqbul Hasan, Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi Inamul Hasan, Mulvi Sayyid Raza Hasan. Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad Yusuf sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin usaha dakwah dan tabligh[9].

Pada sekitar bulan Juli 1944 beliau jatuh sakit yang cukup parah, beliau hanya berbaring di tempat tidur dengan ditemani para pembantu dan muridnya. Kondisi tubuhnya yang telah lemah merupakan bukti nyata bahwa beliau bersungguh-sungguh menghabiskan waktu berdakwah Khuruj Fi Sabilillah mengembara dari satu tempat ke tempat lain bersama dengan Jama’ah untuk mendakwahkan kebesaran Allah dan kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah.

Pada tanggal 13 Juli 1944, Maulana telah siap untuk menempuh perjalanannya yang terakhir. Beliau bertanya kepada salah seorang yang hadir, “apakah besok hari Kamis?”, yang di sekelilingnya menjawab,”benar”, kemudian beliau berkata lagi, “periksalah pakaianku, apakah ada najisnya atau tidak”, yang disekelilingnya berkata bahwa pakaian yang dikenakannya masih dalam keadaan suci. Kemudian beliau turun dari dipan, berwudlu dan mengerjakan sholat Isya’ dengan berjama’ah. Beliau berpesan kepada orang-orang agar memperbanyak dzikir dan do’a pada malam itu. Beliau berkata,”yang ada di sekelilingku ini pada hari ini hendaklah menjadi orang-orang yang dapat membedakan antara perbuatan setan dan perbuatan malaikat Allah”.

Pada pukul 24.00 beliau pingsan dan sangat gelisah, dokter segera dipanggil dan obat pun segera diberikan, kata-kata Allahu Akbar terus keluar dari mulutnya ketika malam telah menjelang pagi, beliau mencari putranya Maulana Muhammad Yusuf dan Maulana Ikromul Hasan ketika dipertemukan beliau berkata,” kemarilah kalian, aku ingin memeluk, tidak ada lagi waktu setelah ini, sesungguhnya aku akan pergi”. Akhirnya Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, beliau pulang ke rahmatullah sebelum adzan Shubuh. Seorang pengembara yang amat lelah yang mungkin tidak pernah tidur dengan tenang, kini sampai ke tempat tujuannya. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan di ridhai-Nya. Maka masuklah kamu kedalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (Al-Fajr, 127-128)[10].

Beliau tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikiran beliau dituang dalam lembar-lembar kertas surat yang di himpun oleh Maulana Manzoor Nu’mani dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah ini. Karya beliau yang paling nyata adalah bahwa beliau telah meninggalkan kerisuaan dan fikir atas umat Islam hari ini serta metode kerja dakwahnya yang atas ijin Allah SWT telah menyebar ke seluruh pelosok dunia. Orang-orang yang mengetahui keadaan umat, Insya Allah akan mengambil jalan dakwah ini sebagai penawar dan obat hatinya, dan akan menjadi sebab hadirnya hidayah bagi dirinya dan orang lain.

Prinsip dan Usaha Membangun Tradisi Dakwah
Dakwah merupakan masalah yang paling penting dalam mengembalikan kejayaan umat Islam. Kesan dakwah pada saat ini tidaklah sepenting yang digariskan, dan seakan sudah tidak ada lagi dalam pikiran orang-orang Islam yang hidup pada zaman ini. Orang-orang Islam mungkin lupa bahwa risalah kenabian dan kerasulan telah ditutup oleh Allah SWT. Sementara agama Islam yang menjadi jalan keselamatan harus sampai kepada generasi terakhir umat manusia yang tidak seorangpun mengetahui kapan berakhirnya. Sering diungkapkan dalam riwayat-riwayat tentang penyakit umat-umat nabi terdahulu yang pada saat ini dapat kita lihat sendiri. Maka menjadi tugas umat Islam sebagai pewaris tugas kenabian untuk mendakwahkan agama Allah SWT hingga generasi terakhir dari peradaban manusia.

Dalam pandangan Maulana Muhammad Ilyas dakwah merupakan kewajiban umat Nabi Muhammad saw. Pada prinsipnya setiap orang yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Muhammad tentulah memiliki kewajiban mendakwahkan ajarannya, yaitu agar selalu taat kepada Allah dengan cara yang telah dicontohkan Rasulullah. Menjadikan dakwah sebagai maksud hidup untuk mencapai puncak pengorbanan merupakan tujuan yang harus dicapai setiap individu pendakwah yang mengerti kondisi umat Islam saat ini. Sebagaimana halnya para sahabat nabi yang dalam riwayat banyak dikisahkan tentang pengorbanan mereka terhadap agama Allah SWT, sehingga Allah memberikan kemulian dan kesempurnaan amal agama dan kehidupan yang tidak hanya berdimensi ibadah semata melainkan mencakup semua bidang kehidupan berupa politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Pada awal perkembangannya yang sedemikian terbatas, Islam mampu menguasai belahan dunia pada saat itu dengan menundukkan Romawi dan Persi serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan ke seluruh belahan dunia. Hal ini merupakan bukti tentang besar dan megahnya Islam dengan generasi yang berpegang teguh pada ajarannya. Hal inilah yang dikehendaki Maulana agar dapat terwujud kembali di kalangan umat Islam. Maulana menghabiskan masa hidupnya untuk berdakwah, mengajarkan prinsip dakwah yang hakiki yakni bahwa setiap diri yang mengaku sebagai umat Islam mempunyai kewajiban dakwah, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Dalam salah satu suratnya yang ditujukan pada Syaikh Muhammad Zakariya, beliau menulis:

Aku ingin agar pikiran, hari, kekuatan dan waktuku hanya aku gunakan demi cita-citaku ini saja. Bagaimana aku dapat bekerja selain dari kerja dakwah dan tabligh, sedangkan aku melihat ruh Nabi saw bersedih akibat perilaku buruk umatnya, lemah agama dan aqidah, merosot dan hina serta tidak adanya kejayaan bahkan telah lama digilas kekufuran[11].

Kerisauan yang mendalam akan keadaan umat inilah yang menyebabkan beliau berkeinginan kuat untuk terus berdakwah mengajak orang taat kepada Allah dan menyampaikan kebesaran Allah dengan manifestasi menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Melalui segala macam usaha yang dilakukan oleh beliau dengan pikiran dan kerisauan akhirnya terbentuklah jama’ah-jama’ah yang berkeinginan mendakwahkan kembali ajaran Nabi Muhammad saw kepada umatnya.

Membebankan kewajiban bertabligh (amar ma’ruf nahi munkar) semata-mata pada kalangan ulama adalah sebagai tanda adanya kebodohan pada diri kita. Tugas ulama adalah mengajarkan ilmu dan menunjukkan jalan yang benar akan pemahaman terhadap agama. Sedangkan memerintahkan berbuat kebajikan di antara khalayak dan mengusahakan supaya mereka menuju jalan yang benar adalah tanggung jawab semua orang Islam[12]. Sementara Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam tulisannya menegaskan:

Laju perjalanan umat Islam saat ini jauh tertinggal di belakang, setelah sebelumnya berada di barisan paling depan. Banyak sebab yang menjadikan kaum muslimin dalam kondisi seperti ini, di antara sebab terpenting adalah ditinggalkannya kewajiban dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah. Semua ini berangkat dari kesalahan persepsi umat dalam memandang kewajiban ini. Masih banyak yang memahami bahwa dakwah adalah kewajiban ulama saja, terbatas dalam bentuk ceramah, khutbah dan mau’idzhoh saja. Sementara itu, sebagian dari mereka ada yang memahami dakwah ini merupakan kewajiban yang berlaku atas setiap individu muslim, namun mereka melakukannya tanpa disertai pemahan yang baik terhadap manhaj dakwah nabawiyah dan rambu-rambu Al-Qur’an[13].

Jauh sebelum itu Maulana Muhammad Ilyas telah memikirkan keadaan ini, sehingga keinginannya yang telah bersatu dengan kerisauannya akan kondisi umat Islam yang dilihatnya, membuatnya mencurahkan hidupnya untuk kerja dakwah. Bahkan Maulana Muhammad Ilyas mulai membangun tradisi dakwah yang ia mulai dengan membentuk jama’ah-jama’ah dakwah yang dikirim ke tempat-tempat tertentu, bahkan dipimpin langsung oleh beliau. Dengan tenaga dan kerisauan yang ada beliau berusaha mengenalkan kewajiban dakwah pada umat Islam dan membangun tradisi tersebut agar semua dapat melaksanakan jalan dakwah ini.

Membangun tradisi dakwah diantara kondisi umat yang jauh dari agama, seperti di Mewat tidaklah semudah yang dibayangkan. Dalam keadaan yang penuh dengan kesesatan dan kejahilan masyarakat, Maulana Muhammad Ilyas terpanggil untuk mengajak mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Terlebih lagi masyarakat yang masih kuat memegang syariat agama. Beliau sangat menyadari bahwa Rasulullah bukanlah orang yang mementingkan diri sendiri, beliau selalu memikirkan umatnya, merisaukan keadaan umatnya di kemudian hari. Sehingga dalam riwayat di beritakan bahwa ketika ajal beliau datang, dengan terbata-bata masih menyebut umatnya. Pikiran itulah yang selalu muncul dalam benak Maulana, bahwa dakwah hari ini adalah bagaimana mengajak umat kembali kepada jalan Allah dan Rasulnya.

Berdasarkan pengalaman dan pemikiran yang panjang, Maulana melihat bahwa para petani Mewat yang miskin tidak mungkin dapat meluangkan waktunya untuk belajar agama, sedangkan mereka masih berada di tengah-tengah lingkungan dengan segala kesibukannya. Bahkan dalam jangka waktu yang pendek yang dapat mereka berikan itu, tidak dapat diharapkan agar mereka dapat memperoleh kesan yang dalam dari ajaran-ajaran agama yang telah mereka peroleh, serta memiliki semangat agama sebagaimana yang diharapkan yang dapat mengubah cara hidup mereka. Sesungguhnya tidak mungkin meminta mereka semuanya untuk ke madrasah. Namun juga tidak tepat berangan-angan bahwa hanya dengan sekedar nasihat dan ceramah akan mengubah kehidupan mereka dari cara-cara jahiliyah kepada cara-cara Islam, baik dalam perangai, tradisi, maupun pola pikir[14].

Peran Maulana Muhammad Ilyas dalam menggerakkan masyarakat Mewat yang jahiliyah itu menyebabkan tumbuhnya suasana agama yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Suasana agama inilah yang diperlukan guna menstimulasi berkembangnya masyarakat yang Islami yang mengikuti kehidupan rasul dan para sahabat. Jama’ah-jama’ah dari masyarakat pun dibentuk untuk dikirim ke beberapa tempat agar dapat memperbaiki diri dalam suasana agama, dengan perbekalan seadanya dan semangat untuk menyebarkan dan mensuasanakan agama.

Datangnya Ramadhan dan cahayanya telah menyinari hati manusia, Maulana Ilyas pun meminta para sahabatnya agar menyiapkan jama’ah untuk dikirim ke Kandhla. Padahal mereka tahu bahwa Kandhla merupakan pusat ilmu dan banyak terdapat rohaniawan. Tentu saja mereka berkeberatan untuk menyampaikan seruan agama tersebut. Apalagi jama’ah itu adalah orang-orang yang bodoh, sungguh ini merupakan suatu yang aneh. Namun akhirnya terbentuklah jama’ah yang terdiri dari sepuluh orang Mewat yang dipimpin oleh Hafidzh Maqbul Hasan. Jama’ah ini bertolak dari Delhi menuju ke Kandhla setelah hari raya. Jama’ah mendapatkan sambutan yang menyenangkan[15].
Jama’ah pertama yang dikirim menyebabkan bertambahnya semangat beliau dalam membangun tradisi dakwah di kalangan masyarakat. Daerah-daerah lain pun mulai dipikirkannya. Gerak jama’ah sangat penting artinya bagi upaya mengubah pola hidup masyarakat. Bagaimanapun keadaannya, beliau tetap berharap dapat mengirimkan jama’ah-jama’ah serupa ke berbagai tempat lainnya. Jama’ah kedua dikirim ke Raipur, kemudian mengadakan ijtima’ (berkumpul bersama) di Chatora hingga terbentuk jama’ah lagi hingga dikirim ke Sonepar, Panipat, dan daerah sekitarnya. Begitulah perkembangan yang terjadi di daerah Mewat dan sekitarnya.

Beliau sepenuhnya meyakini bahwa kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerusakan. Adapun satu-satunya jalan keluar adalah membujuk orang-orang Mewat supaya keluar (dari kampung halamannya) guna memperbaiki diri, belajar agama, dan melatih kebiasaan yang baik hingga tumbuh kesadarannya untuk lebih mencintai agama daripada dunia, dan mementingkan amal daripada mal (harta)[16]. Maulana bercita-cita mewujudkan satu generasi yang benar-benar mau berkorban untuk agama, seperti berkorbannya para sahabat dahulu. Jika sehari-hari mereka berkorban waktu, harta, dan diri mereka untuk keduniaan, maka mereka pun harus berusaha untuk berkorban dengan diri, harta dan waktu mereka untuk agama. Menjadi hal yang biasa bahwa segala sesuatu yang diperoleh melalui pengorbanan akan sangat dicintai.

Lambat laun suasana di Mewat semakin berubah. Bahkan perubahan tersebut makin tampak pada cara hidup dan tradisi mereka. Mewat menjadi tanah gembur dan subur yang apabila tanaman dakwah Islamiyah dan pengajaran hukum-hukum agama ditanamkan akan tumbuh, berkembang dan berbuah di tempat tersebut[17]. Perkembangan yang terjadi di Mewat adalah perkembangan yang mengesankan, Mewat yang pada mulanya dilingkupi jahiliyah kini telah berubah menjadi pusat dakwah dan siar agama. Usaha Maulana Muhammad Ilyas yang pertama adalah menanamkan iman dan keyakinan yang benar terhadap Allah SWT dengan cara yang telah dicontohkan Rasulullah. Kemudian beliau menyampaikan keutamaan-keutamaan beramal dan kerugian meninggalkannya serta mengajak umat Islam untuk berkorban menyisihkan diri, harta dan waktunya di jalan Allah.

Sampai akhir hayatnya beliau tetap mencurahkan perhatiannya pada usaha dakwah ini. Bahkan setelah berkembang di India, usaha dakwah ini berkembang ke seluruh dunia. Hingga saat ini negara-negara di beberapa berlahan benua telah memiliki amal jama’ah dakwah. Mereka terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengajak manusia kembali kepada tugas utama sebagai hamba Allah yang sudah seharusnya mengabdi dengan segenap jiwa dan raga serta sebagai umat Nabi yang terakhir Muhammad saw yang mempunyai tugas dakwah beramar ma’ruf nahi munkar.

--------------------------------------------------------------------------------

[1]Riwayat Hidup maulana Muhammad Ilyas diambil dari buku karangan Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, (1999), Riwayat Hidup Dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, Yogyakarta: Ash-Shaff, hlm. 5-18
[2]lihat, H.A. Hafizh Dasuki (et al), (1993), Ensiklopedi Islam Vol. S1-1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 266
[3]Kutubus Sittah berarti kitab yang enam yaitu kitab-kitab hadits yang telah dijadikan standar para ulama dan kaum muslimin untuk menjadi hujjah bagi persoalan-persoalan agama diantaranya adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majjah.
[4]Infiradi berasal dari kata faroda yang dalam bahasa arab berarti sendiri, yang dimaksudkan adalah beramal secara sendiri atau tidak berjama’ah
[5]Sayyid Abul Hasan Ali Nadwi, op. cit., hlm. 14
[6]Sayyid Abul Hasan Ali An-Nadwi, op. cit., hlm. 39-40
[7]Ibid, hlm. 43-44
[8]Tutus Hendrato, op. cit., hlm. 22-23
[9]Ibid, hlm. 24
[10]Sayyid Abul hasan Ali- Nadwi, op. cit., hlm. 127-128
[11]Ibid, hlm. 145
[12]Maulana Ihtisamul Hasan Kandhalawi, (1998), Keruntuhan Umat Islam Dan Cara Mengatasinya, Yogyakarta: Ash-Shaff, hlm. 23