Senin, 01 Juli 2013

Ajaran dan Dzikir Sunan Kalijaga

Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar
Cah angon-cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno, kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Yo surak-o… surak hiyo…

Siapa yang tak mengenal tembang di atas? Selain Lir-ilir, ada lagi tembang Gundul Pacul dan lain sebaginya. Tembang itu adalah ciptaan kanjeng Sunan Kalijaga, alias Raden Said (Raden Sahid) yang sering disebut sebagai wali orisinil. Walapun ada pula yang menyebutkan bahwa tembang Lir-ilir itu karya Sunan Bonang. Namanya akrab di telinga Islam Jawa. Dan, nyatanya dialah satu-satunya wali yang bisa diterima oleh berbagai pihak, baik oleh mutihan atau abangan, santri atau awam.

Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Tumenggung Wilatikta sering disebut Raden Sahur walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tetapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syek Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali. Ada pula yang menyatakan, asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai). Versi ini berdasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai.

Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan, yaitu masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senapati di Mataram. Dengan demikian diperkirakan masa hidup Sunan Kalijaga mencapai lebih dari 100 tahun.

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Raden Umar Sahid) (Sunan Muria), Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah. Dengan demikian Sunan Kalijaga adalah ipar dari Sunan Giri. Pasalnya, Sunan Giri adalah putra dari Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu. Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara).

Sunan Kalijaga, seperti halnya Syekh Siti Jenar, memang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa melalui sisi budaya. Islam menemui banyak halangan untuk berkembang di tanah Jawa karena bertemu dengan kultur yang sudah sangat kuat, yaitu kultur Hindu/Buddha di bawah pengaruh kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga melakukan transmogrifikasi dengan memasukkan unsur-unsur Islam dalam budaya-budaya Jawa seperti memasukannya ke dalam syair-syair macapat, memodifikasi wayang kulit, menciptakan lagu yang sangat terkenal Lir- ilir, dan sebagainya.

Buku ini tidak sededar bertutur kata tentang kisah Sunan Kalijaga, tetapi mengungkap ajaran serta amalan yang diwariskan, seperti doa-doa (kidung) baik yang berbahasa Jawa maupun yang diambil dari ma’surat. Dengan demikian kita bisa lebih paham ajaran (pesan) kearifan Sunan Kalijaga serta bisa mendapatkan khazanan lama yang berharga. Sebagai contohnya, wejangan dibalik tembang Lir-ilir dan wejangan tentang pacul.
 
Wejangan dibalik tembang Lir-ilir
Bila kita renungkan secara mendalam apa yang tersirat dari suratan tembang Lir-ilir tersebut secara globalnya adalah sebagai berikut:
*) Bait pertama, mulai bangkitnya Islam.
*) Bait kedua, merupakan perintah untuk melaksanakan kelima Rukun Islam.
*) Bait ketiga, bertobat, memperbaiki kesaahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Kesemuanya untuk bekal kelak bila mati.
*) Dan bait selanjutnya mempunyai arti yang menyimpulkan mumpung ada kesempatan baik.
 
Wejangan tentang Pacul
Wejangan Sunan Kalijaga tentang Pacul yang diberikan kepada Ki Ageng Sela juga sangat menarik untuk dikaji. Wejangan yang nampaknya sederhana itu bermakna sangat dalam.

Pacul atau cangkul merupakan senjata utama andalan para petani. Senjata yang ampuh  ini digunakan untuk mengolah lahan pertanian. Menurut wejangan Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Sela, cangkul terdiri dari 3 bagian, yaitu: 1) Pacul (bagian yang tajam), 2) Bawak (lingkaran tempat batang doran), dan 3) Doran (batang kayu untuk pegangan cangkul).

1) Pacul. Pacul dari kata: ngipatake barang kang muncul, artinya membuang bagian yang mendugul (semacam benjolan yang tidka rata). Sifatnya memperbaiki. Sebagai umat Islam, kita harus selalu berbuat baik dan selalu memperbaiki hidup kita yang penuh dosa. Maka, seperti halnya pacul yang baik, yaitu kuat dan tajam, kita harus kuat iman, tajam pikiran kita untuk berbuat kebaikan. Jadi, falsafah pacul tersebut mengandung makna ajaran agama yang tinggi nilainya.

2) Bawak. Bawak dari kata obahing awak, artinya geraknya tubuh. Maksudnya: sebagai orang hidup wajib bergerak tubuh akan menjadi sehat. Arti istilah yang luas, bahwa sebagai manusia kita wajib berikhtiar, seperti halnya bekerja untuk memperoleh nafkah dunia dan bergerak mengerjakan shalat untuk memperoleh nafkah batin.

3) Doran. Doran dari kata donga marang Pangeran, artinya berdo’a kepada Tuhan. Maksudnya: kita manusia sebagai umat harus selalu berdo’a kepada Tuhan, yakni Allah SWT. Karena do’a ini juga bagian vital dari ibadah. Apalagi shalat lima waktu merupakan kewajiban umat Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, harus dilaksanakan sepenuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar