Di antara
para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya
wali yang menggunakan pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar,
tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk menyampaikan ajaran sangkan
paraning dumadi secara tepat. Budaya arab tidak cocok diterapkan di Jawa
karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya
yang sudah mendarah daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia
mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai blangkon atau udeng.
Nama mudanya
Raden Syahid, putra adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi
Nawangrum. Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain harus tunduk
di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Nama lain Tumenggung Wilatikta
adalah Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Arti Tejo I
adalah putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri
Kerajaan Majapahit. Jadi bila ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid
sebenarnya adalah anak turun pendiri kerajaan Majapahit.
Raden Syahid
lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan
yang salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang
harus disetor ke Kerajaan Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin
rakyat jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda kemarau panjang, rakyat
hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke
ayahnya: “Bapa, kenapa rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini
dibuat lebih menderita oleh Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam
sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis ini.
Raden Syahid
yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan
caranya sendiri. Cara yang khas anak muda yang penuh semangat juang
namun belum diakui eksistensinya; menjadi “Maling Cluring”, yaitu
pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-bagikan kepada
orang-orang miskin yang menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga
merampok orang-orang kaya dan kaum bangsawan yang hidupnya berkecukupan.
Suatu
ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah
dan sang ayah tanpa ampun mengusir Raden Syahid karena dianggap
mencoreng moreng kehormatan keluarga adipati. Pengusiran tidak hanya
dilakukan sekali namun beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid kembali
melakukan perampokan namun sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten
hingga sang ayah kehabisan akal sehat. “Syahid anakku, kini sudah
waktunya kamu memilih, kau yang suka merampok itu pergi dari wilayah
Tuban atau kau harus tewas di tangan anak buahku”. Syahid tahu dia saat
itu harus benar-benar pergi dari wilayah Tuban dan akhirnya, dia pun
dengan hati gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas. Suatu hari dalam
perjalanannya di hutan Jati Wangi, dia bertemu lelaki tua yang kemudian
memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah putra
dan murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
Syahid yang
ingin merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid
akhirnya berguru pada Sunan Bonang. Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi
guru spiritual ini, Syahid diminta duduk diam bersila di pinggir
sungai. Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para yogi dikenal
dengan posisi meditasi. Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah
orientasi hidupnya secara total seratus delapan puluh derajat. Yang
awalnya dia berjuang dalam bentuk fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk
batin (metafisik). Dia telah meninggalkan syariat masuk ke ruang
hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat. Namun syarat yang diajarkan
Sunan Bonang cuma satu: duduk, diam, meneng, mengalahkan diri/ego dan
patuh pada sang guru sejati (kesadaran ruh). Untuk menghidupkan
kesadaran guru sejati (ruh) yang sekian lama terkubur dan tertimbun
nafsu dan ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan menyuruhnya
untuk diam di pinggir kali.
Ya,
perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir
atau ritual apapun. Cukup diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta
memikirkan tentang Tuhan, atau Dzat Yang Adikodrati yang menguasai alam
semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya meminta agar sang murid untuk patuh,
yaitu DIAM, MENENG, HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya, orang
diam pikirannya kemana-mana. Namun sekian waktu diam di tempat, akal dan
keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya benar-benar tidak memiliki
daya lagi untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas landas dan
lenyap. Raden Syahir mengalami suwung total, fana total karena telah
hilang sang diri/ego.
“BADANKU
BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA,
KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA
NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA,
WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”
Demikian
gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid
diam di pinggir sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun
dalam salah satu hikayat dipaparkan bahwa sang sunan bertapa hingga
rerumputan menutupi tubuhnya selama lima tahu. Setelah dianggap selesai
mengalami penyucian diri dengan bangunnya kesadaran ruh, Sunan Bonang
menggembleng muridnya dengan kawruh ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga
oleh Bonang agar Raden Syahid berguru ke para wali yang sepuh yaitu
Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Giri di Gresik. Raden Syahid yang
kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan Syekh Subakir gigih
berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand sehingga dia juga
diberi gelar Syekh Malaya.
Malaya
berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang
telah mengalami “mati sajroning urip” atau orang yang telah berhasil
mematikan diri/ego hingga mampu menghidupkan diri-sejati yang merupakan
guru sejati-NYA. Sebab tanpa berhasil mematikan diri, manusia hanya
hidup di dunia fatamorgana, dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak
mampu untuk masuk ke dunia isi, dan menyelam di lautan hakikat dan
sampai di palung makrifatullah.
Salah satu
ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang,
adalah ajaran hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL:
UTAMANING SARIRA PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN
PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA,
WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAM
DAIM, INGARAN TATA KRAMA. (Unggulnya diri itu mengetahui HAKIKAT SALAT,
sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat
Isya atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka
itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama).
Di sini,
kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga
atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah
SALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu
memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya
Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat
mengeluarkan nafas. Sebagaimana yang ada di dalam Suluk Wujil:
PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA
SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI
SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT
KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang utama tidak mengenal
waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua
gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun
juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah
berakhir)
Jadi hakikat
yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo
lan gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku
manusia yang diniatkan untuk menyembah-Nya. Selalu awas, eling dan
waspada bahwa apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki,
apapun yang kita lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh AKU
SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU MENYUARAKAN KESADARAN HOLISTIK BAHWA
DIRI KITA INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH ADA-NYA, KITA TIDAK
ADA, HANYA DIA YANG ADA.
Sholat daim
ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga: SALAT DAIM
TAN KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU
SAHWAT NGISING. (Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu
untuk menghilangkan hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya
tidak hanya kotoran badan melainkan kotoran batin. Salat daim boleh
dilakukan saat apapun, misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat
membuang kotoran.)
Ajaran
makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk
Linglung suatu ketika Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk
melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh Nabi
Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah
haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek.
Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan MEKAH YANG SEJATI
ADA DI DALAM DIRI. Dalam suluk wujil disebutkan sebagai berikut:
NORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN ANA SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING DUNYA.
MESJID ING
MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN
PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU
SAKING NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN
KATON KULON IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.
(Tidak tahu
Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan
mencapai tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah
dan menjadi wali, maka sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai.
Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan KESABARAN DAN
KESANGGUPAN UNTUK MATI. SESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA. Masjid di
Mekah itu melingkar dengan Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa
pengait, maka dilihat dari atas tampak langit di bawah, dilihat dari
bawah tampak bumi di atas. Melihat yang barat terlihat timur dan
sebalinya. Itu pengelihatan yang terbalik).
Maksudnya,
bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun
lebih mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati
adalah pergi ke KIBLAT YANG ADA DI DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa
terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga.
Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng,
diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU
SEJATI. Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini
seperti terbalik, JAGAD WALIKAN. Sebab apa yang selama ini kita anggap
sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH PEMAHAMAN YANG DANGKAL. APA YANG
KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN PALING BERHARGA DI
DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN SANGAT RENDAH NILAINYA.
Apa bekal
agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati?
Bekalnya adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki
iman yang teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap orang lain
sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan
kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah
BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke AKU
SEJATI dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di KAKI-NYA YANG
MULIA. Tujuan haji terakhir adalah untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu
manusia sempurna yang merupakan kaca benggala kesempurnaan-Nya.
Sunan
Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual
tertinggi yang juga telah didaki oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan
Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah rakyat jelata, Sunan Kalijaga
karena dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di dekat
wilayah kekuasaan. Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan
mendirikan kerajaan Demak, Pajang dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan
menasehati Raden Patah (penguasa Demak) agar tidak menyerang Brawijaya V
(ayahnya) karena beliau tidak pernah berlawanan dengan ajaran akidah.
Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang dan
menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang (karena Demak
dianggap telah kehilangan kultur Jawa.
Pajang yang
terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam
dengan jalur Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa
lain Sunan Kalijaga adalah mendorong Jaka Tingkir (Pajang) agar memenuhi
janjinya memberikan tanah Mataram kepada Pemanahan serta menasehati
anak Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati agar tidak hanya mengandalkan
kekuatan batin melalui tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik
dengan membangun tembok istana dan menggalang dukungan dari wilayah
sekeliling. Bahkan Sunan Kalijaga juga mewariskan pada Panembahan
Senopati baju rompi Antakusuma atau Kyai Gondhil yang bila dipakai akan
kebal senjata apapun.
@wongalus,2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar