6. Hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari dalam Shahihnya, Bab : Ash-Shaum Kaffarah, bahwasannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata:
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَ جَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَ الصِّيامُ وَ الصَّدَقَةُ (متفق عليه)
“Dosa yang dilakukan seseorang karena terfitnah oleh keluarga,
harta, atau tetangganya dihapuskan oleh shalat, shaum, dan shadaqahnya.” [Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
7. Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ
فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ )) [متفق
عليه]
“Bagi orang yang bershaum (berpuasa) dua kegembiraan : Jika
berbuka dia bergembira dengan berbukanya tersebut, jika bertemu Rabbnya
(Allah) dia bergembira dengan (pahala) shaumnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafazh Muslim] ([2])
8. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ )) [متفق عليه]
“Barangsiapa yang telah mampu menikah hendaknya segera menikah,
karena sesungguhnya pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kemaluan. Namun barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia
berpuasa, karena sesungguhnya shaum tersebut berfungsi sebagai perisai
baginya. [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])
Dari hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa di antara hikma
ash-shaum berfungsi sebagai perisai seorang hamba dari kejahatan
syahwatnya. Sekaligus sebagai salah satu jalan keluar bagi para pemuda
yang belum mampu melakukan pernikahan.
9. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( الصِّيَامُ و القُرآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ
القِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَي رَبِّ إِنِّي مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ
وَ الشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفَّعْنِي فِيهِ؛ يَقُولُ القُرْآنُ:
رَبِّ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ فَيُشَفَّعَانِ
))
“Ash-Shiyam dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk
hamba tersebut pada Hari Kiamat. Berkata Ash-Shiyam : “Wahai Rabb,
sesungguhnya aku telah menghalanginya dari makanan dan syahwat pada
siang hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.” Al-Qur`an berkata :
Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari tidur pada malam hari, maka
terimalah syafa’atku untuknya. Maka keduanya memberikan syafa’at [Ahmad dan Ath-Thabarani] ([4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
أي : يشفعهما الله فيه و يدخله الجنة، قال المناوي : (( و هذا
القول يحتمل أنه حقيقة بأن يجسد ثوابهما و يخلق الله فيه النطق )وَاللَّهُ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(، و يحتمل أن على ضرب من المجاز و التمثيل )).
قلت : و الأول هو الصواب الذي ينبغي الجزم به هنا وفي أمثاله من
الأحاديث التي فيها تجسيد الأعمال و نحوها، كمثل تجسيد الكنـز شجاعا أقرع،
و نحوه كثير. و تأويل مثل هذه النصوص ليس من طريقة السلف y، بل هو طريقة
المعتزلة و من سلك سبيلهم من الخلف، و ذلك مما ينافي أول شروط الإيمان
)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣، فحذار أن تحذو حذوهم، فتضل
و تشقي، و العياذ بالله. اهـ
Maksudnya adalah : Al-Qur`an dan Ash-Shiyam keduanya diizinkan oleh
Allah untuk memberi syafa’at kepada orang tersebut sekaligus
memasukkannya ke dalam Al-Jannah. Al-Munawi berkata : “Ada kemungkinan
bahwa maksud perkataan di atas adalah secara hakekat sebenarnya, yaitu
dengan Allah rupakan dalam bentuk fisik ganjaran kedua amalan tersebut,
kemudian Allah ciptakan untuk keduanya kemampuan untuk berbicara.
)وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(
“dan Allah Maha mampu atas segala sesuatu.”
Ada juga kemungkinan bahwa hal itu hanya sebatas permisalan dan majaz.”
Menanggapi pernyataan Al-Munawi di atas, Asy-Syaikh Al-Albani berkata
: “Kemungkinan pertama itulah yang benar dan harus dipastikan dalam
permasalahan dan yang semisalnya dari berbagai bentuk hadits yang di
dalamnya disebutkan tentang dirupakannya amalan dalam bentuk jasad
(fisik) dan yang semisalnya. …. sementara penta’wilan (pemalingan maksud
hadits dari makna sebenarnya kepada makna majaz) terhadap nash-nash
seperti ini bukanlah metode generasi salaf radhiallahu ‘anhum, bahkan
itu adalah metode kelompok Al-Mu’tazilah dan pihak-pihak yang mengikuti
jejak mereka dari kalangan kaum khalaf. Cara penakwilan seperti itu
sangat bertentangan dengan syarat pertama keimanan, yaitu :
)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣،
“orang-orang yang berimana kepada hal-hal ghaib” [Al-Baqarah : 3]
Maka waspadalah engkau dari sikap mengikuti jejak mereka (kaum
mu’tazilah) yang menyebabkan engkau menjadi sesat dan celaka.
Wal’iyyadzubillah. –selesai–
10. Hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ … ))
“Tiga pihak tidak akan ditolak do’a mereka : Seorang pemimpin
yang adil, seorang yang bershaum hingga dia berbuka, dan do`a seorang
yang terzhalimi, …” [At-Tirmidzi dan Ibnu Majah] [5])
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa do’a
seorang yang bershaum ketika dia sedang menunaikan shaumnya hingga
datangnya waktu ifthar adalah do`a yang mustajab. Sementara hadits dari
shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِكُلِّ صَائِمٍ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ ))
“Setiap orang yang bershaum memiliki do`a yang mustajab ketika dia berifthar (berbuka).” [Ibnu ‘Adi] [6])
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim dari shahabat ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al-’Ash dengan lafazh :
(( إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ لاَ تُرَدُّ ))
“Sesungguh orang yang bershaum memiliki do`a yang tidak ditolak ketika dia berifthar”
Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad mengisyarahkan
tentang lemahnya hadits ini. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa
hadits ini lemah. [7])
——————————
[1] Al-Bukhari 1895 , Muslim 144.
[2] Al-Bukhari 1904, Muslim 1151.
[3] Al-Bukhari 1905, Muslim 1400.
[4] Ahmad dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani Shahihul Jami’ish Shaghir no. 3882. Adapun dalam
Shahihut Targhib no. 984 beliau menyatakan : Hasan Shahih. Lihat pula
Tamamul Minnah hal. 394-395.
[5] At-Tirmidzi 3598, Ibnu Majah 1752.
[6] Ibnu ‘Adi. Pada sanad ada seorang perawi yang bernama Muhammad
bin Ishaq Al-Balkhi. Ibnu ‘Adi berkata tentangnya : “Al-Balkhi ini
adalah seorang perawi yang haditsnya tidak menyerupai hadits para perawi
yang jujur.” Asy-Syaikh Al-Albani berkata bahwa Al-Imam Shalih Jazarah
dan selainnya menyatakan bahwa orang ini pendusta. Lihat penjelasan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 4325.
[7] Lihat Al-Irwa` no. 921.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar