Sementara Fadhilah (keutamaan) Ash-Shaum telah banyak disebutkan
dalam berbagai hadits, baik fadhilah ash-shaum secara umum, maupun
fadhilah shaum Ramadhan secara khusus. Dalam kesempatan ini kami akan
menyebutkan beberapa di antaranya :
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ
امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ – مَرَّتَيْنِ
– وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ
اللهِ تَعَالىَ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي، اَلصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ،
وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا [متفق عليه]
“Ash-Shiyam adalah perisai. Maka hendaklah seseorang tidak
berkata (berbuat) keji dan tidak berbuat jahil. ([1]) Dan bila ada yang
mengajak bertengkar atau mencelanya maka katakan : “Sesungguhnya saya
sedang shaum” – dua kali – Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
Sungguh bau mulut orang yang shaum lebih harum daripada bau misk di sisi
Allah, ‘ Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku.
Dan Aku sendiri yang akan membalas amalan baiknya (ash-shaum) dan
ketahuilah bahwa satu kebaikan dilipat gandakan balasannya sampai
sepuluh kali lipat. ” [Muttafaq ‘alaih].([2])
Dalam hadits di atas, ada beberapa fadhilah yang dapat kita petik :
a. Bahwa Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai.
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam
An-Nasa`i dari shahabat ‘Aisyah dan ‘Utsman bin Abil ‘Ash, bahwa
Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka). Lafazh hadits
tersebut adalah :
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ أَبِي
الْعَاصِ، فَدَعَا بِلَبَنٍ، فَقُلْتُ : إِنِّي صَائِمٌ؛ فَقَالَ :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ : (( الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ
كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ ))
Dari Mutharrif berkata : Aku datang menemui ‘Utsman bin Abil ‘Ash,
kemudian beliau hendak menghidangkan susu untukku. Maka aku berkata : “Sesungguhnya
aku sedang bershaum. Maka beliau (’Utsman bin Abil ‘Ash) berkata :
Sungguh aku telah mendengar Rasulullah [D] bersabda :
“Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka), seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.” [3])
Dalam hadits lain, dari shahabat Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنْ النَّارِ [رواه أحمد]
“Sesungguhnya shaum itu adalah perisai yang dengannya seorang hamba melindungi diri dari (adzab) An-Nar.” [Ahmad] [4])
b. Aroma mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik di sisi Allah dibandingkan aroma wangi misk. [5])
c. Ibadah shaum yang dilakukan karena Allah, maka pahalanya akan dibalas secara langsung oleh Allah sendiri.
[lihat ulang Fathul Bari syarh hadits no. 1894]
2. Pintu khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu pintu Ar-Rayyan.
Hadits dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ
مِنْهِ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ
غَيْرُهُمْ، يُقَالُ : أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُوْمُونَ لاَ يَدْخُلُ
مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلَوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ
مِنْهُ أَحَدٌ. [متفق عليه]
“Sesungguhnya di Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyan
yang masuk melaluinya pada Hari Kiamat hanyalah orang-orang yang
bershaum (berpuasa). Tidak akan masuk seorang pun melaluinya selain
mereka, kemudian diserukan, “Manakah orang-orang yang bershaum
(berpuasa)?” maka merekapun berdiri. Tidak ada seorang pun yang akan
masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali mereka. Setelah mereka masuk
semua, maka pintu itupun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa
masuk melaluinya.” [Muttafaqun ‘Alaih]. ([6])
Dalam riwayat riwayat lain dengan tambahan :
(( مَنْ دَخَلَ فِيهِ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا )) [رواه النسائي و أحمد]
“Barangsiapa yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan
barangsiapa yang minum maka pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.” [An-Nasa`i dan Ahmad] ([7])
3. Dijauhkan wajahnya dari An-Nar sejauh tujuh puluh (70) tahun.
Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ
بَاعَدَ اللهُ بِذلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا [متفق
عليه]
“Tidaklah seseorang bershaum sehari di jalan Allah melainkan
Allah akan menjauhkan wajahnya dengan shaumnya tersebut dari an-nar di
hari kiamat, sejauh 70 tahun.” [Muttafaq ‘alaih] ([8])
Sebagian ‘ulama mengkhususkan makna Fi sabilillah dengan jihad,
antara lain Al-Imam Ibnul Jauzi. Al-Imam Al-Bukhari pun menyebutkan
hadits ini dalam Kitabul Jihad was Sair dengan judul bab : فَضْلِ الصَّوْمِ فِي سَبِيْلِ اللهِ (Keutamaan
Ash-Shaum di jalan Allah). Begitu pula Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh
Muslim meletakkan bab pada hadits ini dengan judul : فَضْلِ الصِّيَامِ فِي سَبِيلِ اللهِ لِمَنْ يُطِيقُهُ بِلا ضَرَرٍ وَلا تَفْوِيتِ حَقٍّ(Keutamaan Ash-Shiyam Fi Sabilillah bagi yang mampu tanpa adanya kemudharatan dan pengabaian tugas).
Sehingga atas dasar itu keutamaan yang terkandung dalam hadits di
atas hanya khusus bagi yang bershaum ketika berjihad fi sabilillah.
Namun Al-Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa makna Fi Sabilillah di
sini adalah : ketaatan kepada Allah secara umum. Sehingga makna hadits
adalah : “Barangsiapa yang bershaum dengan mengharapkan wajah Allah”.
Atas dasar itu keutamaan tersebut tidak hanya terbatas pada shaum ketika
berjihad fi sabilillah.
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa dua kemungkinan makna
di atas memungkinkan sebagaimana makna hadits di atas, sekaligus sebagai
makna hadits berikut ini. [9])
4. Parit penghalang dari adzab An-Nar.
Hadits dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ )) [رواه
الترمذي]
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah,
niscaya Allah jadikan antara dia dengan An-Nar sebuah parit penghalang
(yang lebarnya) sejauh langit dan bumi.” [At-Tirmidzi] ([10])
5. Allah jauhkan darinya api Jahannam sejauh perjalanan seratus tahun
Hadits dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَومًا فِي سَبِيلِ اللهِ بَاعَدَ اللهُ مِنْهُ
جَهَنَّمَ مَسِيْرَةَ مِائَةِ عَامٍ )) [رواه النسائي و ابن أبي عاصم و
الطبراني]
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah,
niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus
tahun.” [An-Nasa`i, Ibnu Abi ‘Ashim, Ath-Thabarani] [11])
Masalah : Dalam hadits shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu ini disebutkan “sejauh
perjalanan seratus tahun”. Sementara dalam hadits shahabat Abu Sa’id
Al-Khudri radhiallahu ‘anhu disebutkan “sejauh 70 tahun”. Secara zhahir perbedaan ini memunculkan suatu pertanyaan.
Untuk menjawabnya, ada dua jawaban :
a. Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) bukan sebagai batasan mutlak,
tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dan dipertegas
oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
- Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :
ورد ذكر السبعين لإرادة التكثيركثيرا
“Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) pada hadits di atas dalam rangka menggambarkan betapa sangat jauhnya.”
Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan :
ويؤيده أن النسائي أخرج الحديث المذكور عن عقبة بن عامر
والطبراني عن عمرو بن عبسة وأبو يعلى عن معاذ بن أنس فقالوا جميعا في
رواياتهم ( مائة عام ).
“Memperkuat pernyataan Al-Qurthubi di atas, An-Nasa`i
meriwayatkan hadits tersebut dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, demikian
juga Ath-Thabarani meriwayatkannya dari shahabat ‘Amr bin ‘Abasah, dan
Abu Ya’la meriwayatkan dari shahabat Mu’adz bin Anas, semuanya
menyebutkan dalam periwayatan mereka : (bilangan) “Seratus tahun”“. [12])
Jawaban senada juga diucapkan oleh Al-Imam As-Sindi dalam Syarh Sunan
An-Nasa`i, bahwa penyebutan bilangan tujuh puluh atau seratus tahun
bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa
sangat jauhnya jarak tersebut. [13])
b. Ada kemungkinan, Allah subhanahu wata’ala hendak menambah fadhilah
dan pahala bagi orang yang bershaum sehingga menyempurnakan jauhnya
jarak tersebut menjadi seratus tahun perjalanan setelah sebelumnya
sejauh tujuh puluh tahun. Jawaban kedua ini disampaikan oleh Al-Imam
As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa`i. [14])
Terkait dengan fadhilah di atas, ada beberapa hadits yang sering
diriwayatkan namun secara sanad lemah. Di antara hadits-hadits tersebut :
- Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى،
بَعَّدَهُ اللهُ U مِنْ جَهَنَّمَ كَبُعْدِ غُرَابٍ طَارَ وَهُوَ فَرْخٌ
حَتَّى مَاتَ هَرِمًا )) [رواه أحمد، أبو يعلى، و البيهقي، و الطبراني]
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) dalam rangka mengharap
wajah Allah, niscaya Allah jauhkan dia dari neraka jahannam sejauh
perjalanan terbang burung Gagak, semenjak burung Gagak tersebut baru
menetas hingga mati di usia yang tua. ” [Ahmad, Abu Ya’la, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani] [15])
- Hadits dari shahabat Abu Umamah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( مَنْ صَامَ يَوْماً فِي سَبِيلِ اللهِ؛ بَعَّدَ اللهُ
وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ مِائَةَ عَامٍ، رَكْضَ الفَرَسِ الجَوَّادِ
المُضَمَّرِ )) [رواه عبد الرزاق و الطبراني]
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah,
niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus
tahun, dengan kecepatan kuda tunggangan gesit dan kuat. [16]“ [’Abdurrazzaq dan Ath-Thabarani] [17])
—————————
[1] Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan
oleh orang jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat kedunguan ( اَلسَّفَه ), dan lain-lain (lihat Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1894).
[2] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.
[3] An-Nasa`i no. 2231. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2231.
[4] HR. Ahmad, dari shahabat Jabir, dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 981. Lihat pula Shahihul
Jami’ish Shaghir no. 4308.
[5] Hal ini tidak berarti bahwa orang yang bershaum disyari’atkan
untuk membiarkan bau mulutnya. Bahkan tetap disunnahkan bagi orang yang
bershaum untuk bersiwak, sebagaimana pernah dijawab oleh shahabat Mu’adz
bin Jabal dalam sebuah atsar yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam kita beliau Irwa`ul Ghalil I/106 . Lihat pembahasan lengkap pada
bab halaman ………………..
[6] Al-Bukhari 1896, Muslim 1152.
[7] An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/336. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.
[8] Al-Bukhari 2840, Muslim 1153.
[9] Lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[10] At-Tirmidzi 1624. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 563.
[11] An-Nasa`i no. 2254, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabul Jihad I/88/2,
Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 927. Dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani v dalam Ash-Shahihah no. 2565.
[12] Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[13] Lihat Syarh Sunan An-Nasa`i oleh Al-Imam As-Sindi, syarh hadits no. 2565.
[14] Ibid.
[15] Ahmad II/526 Karena pada sanadnya ada ‘Abdullah bin Lahi‘ah
seorang perawi yang lemah, sekaligus ayahnya yaitu Lahi‘ah, dia seorang
perawi yang majhulul hal sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qaththan;
Al-Hafizh juga berkata tentangnya : mastur. Dalam sanadnya juga ada rawi
yang mubham, yaitu gurunya Lahi‘ah. Hadits ini didha’ifkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Adh-Dha’ifah no. 1330.
[16] Tentang makna (Al-Jawad) dan (Al-Mudhammar) lihat Fathul Bari
syarh hadits no. 2870, 6553; dan Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi,
syarh hadits no. 2828.
[17] ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (V/301/9683), Ath-Thabarani
dalam Al-Mu’jamul Kabir (VIII/233/7806). Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Adh-Dha’ifah no. 6910 berkata tentang hadits ini : “Munkar dengan
konteks secara lengkap seperti di atas. Karena pada sanadnya terdapat
kelemahan yang berentet, ada tiga perawi yang semuanya dha’if (lemah),
yaitu : ‘Ali bin Yazid, ‘Ubaidullah bin Zahr, dan Al-Mutharrih.”
Dalam kitabnya Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh berkata tentang ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal : dha’if (lemah).
Kemudian tentang ‘Ubaidullah bin Zahr, beliau berkata : Saduqun
Yukhthi’ (jujur namun berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits).
Adapun tentang Mutharrih bin Yazid, beliau berkata : dha’if (lemah).
Oleh karena itu Al-Imam Al-Haitsami v dalam kitabnya Majma’uz Zawa`id
melemahkan hadits di atas dengan sebab keberadaan Mutharrih bin Yazid
ini. beliau berkata : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam
Al-Kabir, namun dalam sanadnya terdapat Mutharrih, dia adalah seorang
perawi yang dha’if.” (lihat Adh-Dha’ifah no. 6910).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar