Apakah khuruj 3 hari, 40 hari, dan 4 bulan itu bidah??
Mereka berkata, khurujnya ahli dakwah selama 3 hari, 40 hari atau 4 bulan adalah bidah, sebab nabi saw dan para shohabatnya tidak pernah melakukannya, para tabiin dan juga para imam??????
Khuruj 3 hari, 40 hari dan 4 bulan
Entah apa yang terjadi pada manusia hari ini, para penuduh yang berkata bahwa khuruj fi sabilillah itu bidah, nampaknya lebih menyukai kondisi manusia yang tetap dalam kelalaian dan kemaksiatan serta jauh dari ketaatan, daripada berbongdong-bondongnya manusia bertaubat dan khuruj untuk mengishlah diri mereka serta tutut mendakwahkan agama pada manusia????
Dan senadainya seorang ahli maksiat berubah menjadi taat itu tidak diterima oleh mereka, sebab (menurut tanggapan mereka) pelaku bidah itu tidak dapat diharapakan taubatnya, berdasarkan hadits nabi saw ” Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam perkara (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka dia tertolak” (bukhari :III, kitab shulh, Ibnu Majah:1/7), berarti segala ketaatan orang tersebut sebagai hasil khurujnya atau melalui khuruj, sehingga ia dapat mengingglkan dosa-dosa besar dan berbagai kemaksiatan sertakerusakan adalah tertolak disisi mereka, sebab mereka menganggap segala sesuatu yang dibuat untuk sesuatu yang batil itu adalah batil.
Demikianlah tuduhan mereka kepada ahli dakwah dan tabligh serta orang-orang yang telah berubah menjadi baik dengan perantara dakwah dan khuruj fi sabilillah. Mereka menolak taubatnya para pelacur, penzina, koruptor, pencuri, pemabuk dan sebagainya, yeng telah bertaubat melalui usaha dakwah hanya karena mereka itu pernah khuruj bersama jamaah tabligh…
Syaikh aiman abu syadzi katakan, ” Inilah yang terjadi, mereka para pendengki menganggap baik para pelaku maksiat, yang diharapkan dapat bertaubat. Sebaliknya, mereka menjelekkan dakwah dan amal-amal yuang menyertainya yang dapat mendatangkan hidayah, hanya karena tuduhan; bahwa penentuan waktu 3 hari, 40 hari dan 4 bulan adalah bidah, karena sesuatu yang dilakukan untuk kebatilan adalah batil, dan barangsiapa yang menciptakan sesuatu yang baru dalam perkara (agama) ini , yang bukan darinya, maka dia tertolak.
Bidah secara khusus bermakna telah keluar dari aturan yang telah dibuat oleh Dzat pembuat syariat, yaitu Allah SWT. Dengan ketentuan seperti ini , maka segala sesuatu yang jelas dan dilakukan untuk berhubungan dengan agama atau tidak keluar dari aturan syariat, tidak termasuk bidah.
Lalu apakah dakwah ilallah yang bertujuan untuk membawa manusia ke dalam syurga atas dasar kasih sayang dan berharap agar manusia terhindar dari neraka serta murka Alloh, itu keluar dari syariat Alloh SWTdan Rasul-Nya???
Pasti tidak! Alloh dengan tegas telah memerintahkan Nabi SAW untuk berdakwah, yaitu dengan firman-Nya., “Serulah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan Mau’idzah hasanah” (An-Nahl-125)
Perintah diatas juga berlaku untuk umat ini, sebab kalimat itu merupakan perintah yang muta’addi (merembet) yang ditujukan kepada umat sekaligus Rasul-Nya yang mulia. Hal ini diperjelas oleh firman Alloh Ta’ala, ” Katakalanlah (wahai Muhamaad), ini (dakwah) adalah jalan-Ku. Aku mengajak kepada Alloh menurut cara-Ku dan orang-orang yang mengikuti-Ku . Dan Maha Suci Alloh, dan aku bukan sebagian dari kaum Musyrikin” (Yusuf:10 dan Firman Alloh, “Dan hendaklah dari kalian ada segolongan umat yang mengajak kebaikan dan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104)
Dan nabi SAW pun telah memerintahkan berdakwah kepada seluruh umatnya dengan sabdanya, “sampaikanlah kalian dariku walaupun satu ayat.” Dan sabda beliau, :Hendaklah yang hadir dari kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Jika demikian, lalu mengapa ahli dakwah dicela? Apalagi memvonis mereka sebagai ahli bidah????
Dinatara mereka ada yang berkata, bahwa masalahnya adalah; mengapa harus 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan?? Pembatasan waktu inilah yang menjadikan khuruj disebut bidah…
Kami menjawab, Apakah masalah pembatasan waktu ini tidak sesuai menurut dugaan kalian, bahkan kalian menganggapnya bidah dan tertolak, maka kami menjawabnya demikian;
Terdapat banyak ucapan alim ulama dan hadits-hadits shohih yang mengesahkan pembatasan dan pengkhususan waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan kewajiban syari. Dan penjelasan akan hal itu adalah pada bab berikut ini (nazhrah ilmiyah fi ahli tabligh wad dakwah:1/41-42)
Pembatasan dan Pengkhususan Bilangan
Syaikh Aiman Abu Syadi selanjutnya berkata, Mari kita memperhatikannya menurut ilmu Ushul Fiqih;
Kami tidak menerima seandainya bilangan-bilangan ini disebut bermakna pembatasan, sebab masalah itu masuk dalam kaidah MAFHUM ‘ADAD (pengertian bilangan). Dan menurut jumhur ahli ushul fiqih, pengertian bilangan bukanlah hujjah secara substansi. Dan tidak ada konotasi pemahaman untuk bilangan, serta tidak bermakna peringkasan atas jumlah tersebut.
Definisi Mafhum ‘adad adalah ; Penunjukan lafadz yang diqaidi (disyariatkan) dengan suatu bilangan untuk menafikan suatu hukum yang lebih atau kurang, atau untuk menetapkan suatu opertentangan hukum yang diqoyyid (disyariatkan) dengan suatu bilangan ketika tidak adanya realisasi bilangan ini dengan dikurangkan atau ditambahkan.
Apabila suatu hukum dikhususkan dengan bilangan tertentu dan dibatasi dengannya, seperti firman Alloh SWT; “…..maka deralah mereka (yang menuduh itu) 80 kali dera.” (an-Nur:4). Maka bilangan 80 ini tidak berarti menafikan hukum selain bilangan 80 tersebut, baik hukum yang lain itu bertambah atau berkurang dari hukum yang telah dibatasi oleh bilangan tadi.
Definisi ini dibuat oleh Imam Al-Baidawi ra, Imam Al-Haramain, Abu Bakr Al-Bakilani, Imam Al-Amandi, dan mayoritas madzab Imam Hanafi. Mereka berargumentasi bahwa setiap bilangan , meskipun hakikatnya berbeda, namun tidak mengharuskan perbedaan dalam hukum-hukum penggabungan (isytirak). Bilangan-bilangan yang berbeda dalam satu hukum itu tidak terlarang.
Selama permasalahannya adalah demikian, maka pengkhususan hukum dengan bilangan, tidak mewajibkan hukum tersebut dinafikkan dari bilangan lainnya, sehingga lafadz tersebut menunjukkan kepada yang lainnya.
Mari kita sesuaikan pendapat para ulama tersebut dengan beberapa hadits nabi SAW. Sebagai contoh:
v Contoh 1: Imam An-Nawawi di dalam Riyadhush Sholihin menyampaikan wasiat yang disampaikan oleh para imam terhadap para pencari ilmu. Wasiat tersebut diawali oleh imam Adz-Dzahabi dalam bab At-Taubah. Dari Abu hurairah ra, aku mendengar rasulullah saw bersabda, “Demi Alloh, sesungguhntya aku memohon ampun (beristighfar) kepada Alloh dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih daripada tujuh puluh kali” (shohih bukhori:VII/83, Musnad imam ahmad:II/341)
Imam Adz-Dzahabi pun menyampaikan dari Argharbin Yasar Al-Muzani ra, Rasulullah saw bersabda, ” Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Alloh dan beristighfarlah kalian kepadaNya, karena Aku berstighfar dalam sehari 100 kali” (musnad imam ahmad:iv/211).
Saya berkata, didalam hadits pertama disebutkan bahwa nabi saw beristighfar 70 kali dan didalam hadits yang lain disebutkan 100 kali. Manakah dari kedua hadits ini yang dimaksud oleh Nabi SAW?? Apakah kedua perintah hadits ini dapat digabungkan dan diamalkan?? Apakah kedua hadits ini saling bertentangan satu sama lainnya??
Jawabannya, Pasti tidak bertentangan..
Maksud istighfar dalam kedua hadits tersebut adalah memperbanyak istighfar dan menghimbau untuk bertaubat dan kembali ke jalan Alloh Taala. Tidak ada pertentangan dan tidak ada perbedaan diantara kedua hadits tersebut, sebab perintah istighfar dalam kedua hadits tersebut tidak dibatasi oleh substansi bilangan 100 atau 70 kali. Siapa yang menginginkan lebih daripada jumlah tersebut, itu lebih baik dan diterima. Dan barangsiapa yang istighfarnya tidak sampai 100 atau 70 kali, iapun tidak berdosa dan tidak mengapa, sebab kedua jumlah ini hanyalah perintah mandubah dan mustahabah (disukai), yang menjadikan pelakunya terpuji dan tidak tercela bagi yang meninggalkannya..
Para pensyarah Riyadhush Sholihin, dalam Nuzhatul Muttaqin berkata, ” Hadits ini dan yang sebelumnya menunjukkan bahwa tujuan dalam hadits-hadits tersebut adalah untuk memperbanyak istighfar dan bersegera dalam bertaubat. Sementara penyebutan bilangan didalam hadits ini tidak bermaksud membatasi jumlah, namun justru memperbanyak jumlah.” (Nuzhatul Muttaqin:1/33)
v Contoh ke 2: Imam bukhori ra meriwatkan sebuah hadits dari Abu hurairah ra, Nabi Saw bersabda, ” Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila berbicara ia bohong; Apabila berjanji ia ingkari; Apabila dipercaya dia berkhiatan” (shohih bukhori:1/15, muslim:1/44)
Lalu imam bukhori menyebutkan pula hadits datri Abdullah bin Amr ra, sesungguhnya nabi saw bersabda,” Empat tanda, barangsiapa memiliki keempat tanda ini, berarti ia seoarang munafik tulen. Dan barangsiapa memiliki salah satu tanda dari empat tanda tersebut berarti ia memiliki sebagian dari sifat munafik hingga ia meninggalkannya, yaitu Apabila dipercaya ia berkhianat, Apabila berbicara ia berdusta, Apabila berjanji ia mengingkari, Apabila berdebat ia berbuat jahat” (shohih Bukhori: 1/15, muslim:1/43)
Imam an nawawi rah menyebutkan kedua hadits ini didalam Riyadhush Sholihin, bab Menepati janji dan melaksankan janji.
Pada hadits yang pertama, Rasulullah saw menyebutkan tanda-tanda orang munafik ada 3. Sedangkan pada hadits yang kedua disebutkan ada 4 tanda.
Jadi manakah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW?? Dan siapakan munafik yang nyata kemunafikannya?? Apakah dengan 3 tanda ataukan dengan 4 tanda?? Seandainya tanda-tanda orang munafik ini terbatas dan teringkas dalam 3 atau 4 tanda, maka mengapa nabi saw mengkhutbahi umatnya demikian?? Apakah penjelasan tanda-tanda orang munafik itu terlambat dari waktu yang sesuai???
Jawabnya, pasti tidak demikian.
Kita tidak menafikan kedua hadits tersebut. Dan tidak ada pertentangan diantara keduanya. Para Pensyarah Riyadhush Shalihin berkata, ” Dalam hadits pertama, orang munafik memiliki 3 tanda, dan dalam hadits kedua disebutkan 4 tanda, tidak ada pertentangan diatara keduanya, sebab mafhum adad tidak bermakna meringkas dan bukan suatu hujjah.” (nuzhatul Muttaqin:1/56
Allamah Ibnu Allan Rah dalam pembahasan hadits mengenai tanda-tanda orang munafik, berkata, “Tidak ada pertentangan antara sabda nabi saw mengenai tanda-tanda orang munafik yang empat dan sabda beliau yang sebelumnya, bahwa tanda-tanda orang munafik ada tiga. Sebab, suatu yang satu memiliki banyak tanda. Setiap tanda dapat diketahui dengan sebuah karakter. Dan dapat terjadi sebuah tanda itu adalah sesuatu yang satu, atau terkadang sesuatu yang banyak.”
Imam At-thibby rah, berkata. ” Kadangkala tanda-tanda itu disebutkan sebagian dan kadangkala disebutkan semuanya, atau disebutkan mayoritasnya.”
Imam Az-Zarkasyi rah berkata, sesungguhnya pengkhusussan dengan bilangan tidak menunjukkan bertambah atai berkurangnya suatu bilangan (Dalilul Falihin:III/163-164)
Maksundya tidak menunjukkan penolakan hukum yang dikhususkan dengan bilangan itu, baik bertambah atau berkurangnya bilangan tersebut.
Sumber: http://tetesanhujan.wordpress.com/2008/11/17/apakah-khuruj-3-hari-40-hari-dan-4-bulan-itu-bidah-bag-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar