Lanjutan dari bagian satu
v Contoh ke 3: Imam muslim meriwayatkan hadits dari aisyah rha, rasulullah saw bersabda, “tiada seorang mayit yang disholati oleh kaum muslimin yang mencapai jumlah 100 orang yang semuanya mensyafaatinya, kecuali pada hari kiamat mereka akan mensyafaatinya.” (shohih muslim-Misykatul Mashobih, no 1661)
Lalu beliau juga menybutkan sebuah hadits Ibnu abbas ra, “sesungguhnya seorang putranya meninggal dunia di Qudaid atau di Usfan, lalu ia berkata, Ya Kuraib!! Lihatlah orang-orang yang datang untuk mensholati mayit dan hitunglah! Kuraib berkata, lalu aku keluar dan tiba-tiba orangsudah berkumpul. Akupun menghitungnya, lalu aku kukabarkan kepada Ibnu abbas, lalu dia berkata, ” Apakah kamu berkta mereka 40 orang?” Kuraib menjawab, “Ya”. Ibnu abbas berkata, “Keluarkanlah mayitnya! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ” Tidak ada seorang pria muslim yang meninggal dunia, lalu jenazahnya disholati oleh 40 orang laki-laki yang tidak menyekutukan Alloh dengan apapun, kecuali Alloh akan memberi mereka syafaat untuk mayit. ” (Shohih muslim-misykatul mashobih, no.1660).
Imam an nawawi rah dalam riyadhush sholihin, bab Disukai memperbanyak orang yang sholat atas jenazah dan menjadikan shaf mereka menjadi 3 atau lebih, juga menyebutkan hadits tersebut.
Murtsid bin abdillah al yazani berkata, Malik bin Hubairah ra, apabila mensholati jenazah, dan ia menganggap jumlahnya sedikit, maka ia membaginya menjadi 3 shaf, lalu ia berkata, Rasulullah saw bersabda, Apabila seorang mayit disholati oleh 2 shaf, maka mayit tersebut wajib masuk syurga. “(Abu dawud, Tirmidzi-Kanzul Ummal. No. 42265)
Imam an nawawi rah dalam membahas hadits nabi saw tersebut menyatakan, “Tiada seorang mayit yang dihsolati oleh umat muslim yang mencapai seratus orang, yang semuanya mensyafaatinya, kecuali mereka mensyafaatinya (pada hari kiamat).”
Dan hadits, “Tidak seorangpun yang meninggal dunia, lalu jenazahnya disholati oleh 40 orang laki-laki yang tidak menyekutukan Alloh dengan apapun, kecuali Alloh akan mensyafaati mereka untuk mayit tersebut.”
Dan dalam hadits lain disebutkan, “Tiga (3) shaf.” Qodhi iyadh rah berkata, ” KOnon hadits-hadits itu turun sebagai jawaban atas orang-orang yang bertanya mengenai mayit, lalu setiap pertanyaan dijawab dengan hadits-hadits tersebut.” (syarah shohih muslim:VII/17)
Demikian pendapat Qodhi Iyadh rah, sehingga mungkin saja Nabi saw mengabarkan penerimaan syaffat 100 orang, lalu mengabarkan penerimaan syafaat 40 orang, lalu hanya 3 shaf, meskpin jumlahnya berkurang. Mungkin juga akan dikatakan bahwa ini adalah mafhum adad yang tidak dapat dijadikan hujah bilangan tertentu menurut jumhur ulama ushul.
Dengan hasits adanya penerimaan syafaat 100 orang, maka tidak ada pengharusan syafaat hanya diterima dengan 100 orang yang mensholatinya, dan menolak syafaat yang lebih rendah darinya. Demikian juga jumlah 40 orang dan 3 shaff. Dengan demikian, semua hadits ini dapat diamalkan dan syafaat tentu bisa didapatkan dengan kedua jumlah yang paling sedikity, yaitu 3 shaff dan 40 orang.
Allamah ibnu allan menjelaskan , “Tidak ada pertentangan antara khabar (hadits) ini dengan khabar sebelumnya, sebab mahfum ‘adad bukan sebagai hujah, menurut pendapat yang shohih, sebab Alloh mengabarkan kepada Nabi saw dengan cukupnya jumlah seratus orang yang mensholati mayit, lalu karunia ini ditambah oleh Alloh Ta’ala dengan mengabarkannya cukup akan mendapatkan syafaat terhadap mayit dengan orang yang mensholatinya sejumlah 40 orang. Wallahu a’lam (Dalilul falihiin, syarah riyadhush sholihin: III/416)
Di dalam nuzhatul muttaqin, para pensyarah berkata, “hadits ini menunjukkan istihbab yaitu disunnahkannya menjadikan 3 shaf atau lebih bagi orang -orang yang mensholati jenazah. Meskpiun jumlahnya sedikit, tetapi mereka terlihat banyaknya dalam penerimaan mereka oleh Alloh swt dan permohonan syafaat untuk saudara mereka. Tidak ada pertentangan antara hadits-hadits ini, baik hadits yang menentukan 100 orang, 40 orang, dan 3 shaff, sebab ‘adad (bilangan) tidak memiliki konotasi. Sedangkan tujuannya adalah al katsrah (banyak).” (Nuzhatul Muttaqin:I/407).
Pendapat ini sama dengan perkataan alim ulama ushul fikih. Menurut pendapat yang shohih, bahwa pengertian bilangan bukan merupakan dalil ketetapan dan tidak bermakna pembatasan.
Lalu apakah masuk akal, tuduhan orang yang mencela dan menganggap bahwa ahli dakwah dan tabligh telah membatasi dakwah mereka dengan hitungan hari-hari tertentu dan khusus, seperti 3 hari, atau 40 hari, dan seterusnya…..???
Padahal 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan itu bukan hujjah dan tidak bermakna pembatasan dan peringkasan dalam kewajiban dakwah.
Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ahli dakwah itu sendiri yang mutawatir, bahwa bilangan hari-hari tersebut hanya untuk mempermudah tertib waktu yang digunakan oleh para ahli dakwah dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya..
Waktu-waktu itu hanyalah untuk kemudahan tertib, bukan sebagai pembatasan. Siapa yang ingin keluar di jalan Alloh Ta’ala sehari, maka tidak ada jeleknya, bahkan terpuji. Dan barangsiapa keluar dijalan Alloh 4 hari atau 5 hari, maka tidak ada dosa baginya. Bahkan pada dasarnya, semua waktu itu adalah milik Alloh Ta’ala, agamaNya, dan dakwah Rasul-Nya.
Hanya karena kelemahan para jamaah dakwah tersebut, mereka mendahulukan waktu-waktu tersebut, karena waktu-waktu tersebut adalah waktu yang paling sedikit diatara yang sedikit. Siapa yang ingin meluangkan waktunya lebih daripada waktu-waktu tersebut, maka pintu dakwah tetap terbuka..
Bahkan di dalam Alquran, waktu untuk bersungguh-sungguh di dalam dakwah, tidak kami temukan hitungan waktu yang sedikit ini, seperti 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan. Yang kami temukan justru hitungan bilangan 950 tahun, siang dan malam, yaitu waktu dakwahnya nabi Nuh as.
Konsep inilah yang diamalkan dan dijadikan pegangan oleh para ahli dakwah dan tabligh. Berapa waktu dan cara apapun yang dilaksanakan oleh pelakunya untuk kepentingan dakwah, itu dapat diterima dan terpuji, serta sangat disyukuri, baik sejam ataupun dua jam, satu atau dua hari, sebulan, dua bulan, tiga bulan ataupun empat bulan.
Apabila ahli dakwah dan tabligh memberi semnagat tentang fadhilah khuruj fi sabilillah selama 3 hari, 40 hari, 4 bulan, maka bilangan-bilangan tersebut tidak menunjukkan penafikan hukum, bila khuruj (dakwah) dilakukan tidak dengan waktu-waktu tersebut. Baik waktu itu melebihi 3 hari, dari 40 hari, ataupun 4 bulan, ataupun kurang dari waktu-waktu tersebut.
Dengan demikian, -menurut konsep ini-, setiap jumlah bilangan hari ( 3 hari, 40 hari, 4 bulan) yang disebutkan oleh para ahli dakwah atau yang tidak disebutkan oleh mereka di dalam tertib waktu-waktu tertentu untuk berdakwah di jalan Alloh, tidak berarti menafikkan fadhilah dan hukum bilangan-bilangan yang selainnya, baik yang bertambah atau berkurang.
Apabila ada yang keluar untuk berdakwah selama 2 hari, maka ia tetap akan medapatkan fadhilah berdakwah dan pahalanya. Apabila ia keluar 38 hari sebagai ganti 40 hari, maka ia tetap akan mendapatkan pahal dan balasan Alloh, karena ia merupakan anugerah Alloh yang diberikan kepada orang yang Dia kehendaki..
Setiap waktu itu bukan bermakna pembatasan, sebab mahfum ‘adad bukanlah hujjah dan tidak bermakna peringkasan.
Selanjutnya Imam Al -Izz bin Abdissalam di dalam Qowaa’idil Ahkam memberi isyarat dengan ucapannya tentang bidah-bidah wajibah, diantaranya yaitu:
Sesuatu yang kewajibannya tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya wajib. Dan semua perantara yang dengannya Kalamullah dan sabda Rasulullah saw dapat dipahami, maka hukumnya wajib. Seperti, sibuk mempelajari ilmu nahwu dan perkara lainnya yang tidak sempurna kewajibannya kecuali dengannya.
Termasuk didalamnya pengkhususan waktu untuk mempelajari ilmu agama, sehingga dengan pengkhususan tersebut, dapat diketahui apa maksud Alloh dan RasulNya, dan termasuk juga pengkhususan waktu untuk berdakwah dan menyebarkan risalah Nabi saw. Dakwah ilallah serta menyampaikan risalah adalah kewajiban yang keutamaannya telah disepakati oleh kaum muslimin.
Demikian juga berbagai wasilah (perantara) yang mendorong untuk keberhasilan sesuatu misalnya melalui penentuan waktu khusus untuk menjalankan kewajiban, dimana sempurnanya kewajiban tersebutbergantung pada waktu-waktu tersebut dan secara akal tidak dianggap berhasil kecuali dengan pengkhusussan waktu-waktu tersebut.
Waktu-waktu itu termasuk sebagai wasilah (perantara) untuk menunaikan kewajiban yang tidak mngkin dapat dilaksanakan kecuali dengannya. Misalnya mempelajari ilmu fiqih adalah wajib, karena melalui ilmu fiqih, hukum-hukum syariat dapat diketahui, dan mempelajari fiqih tidak mungkin dapat dilaksanakan kecuali dengan mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mendapatkannya.
Dalam hal ini, hukum wasilah sama dengan hukum tujuan. Artinya, wasilah-wasilah itu dihukumi wajib, karena tujuan kewajiban tadi tidak dapat sempurna kecuali dengannya.
Oleh sebab itu, tidak ada satu madrasah atau perguruan tinggi islampun, kecuali mengkhususkan waktu untuk mempelajari ilmu syariat yang bermacam-macam itu. Kami menemukan bahwa di fakultas-fakultas syariah di al azhar asy syarif di kairo mesir, menentukan 4 tahun untuk mempelajari ilmu-ilmu syariat yang lurus. Demikian pula di fakultas-fakultas Ushuludin, dan fakultas -fakultas dakwah di universitas islam di madinah munawarah, dan perguruan-perguruan tinggi islam yang tersebar di seluruh dunia islam.
Kami tidak mengira, jika ada orang yang mengaku sudah mempelajari ilmu-ilmu agama , lalu ia mengaku bahwa pengkhususan waktu itu adalah bidah dan sesat, karena tidak dilakukan pada masa rasulullah saw..Astaghfirullah..
Selanjutnya Syaikh aiman abu syadi berkata mengenai ini, “Disebut bidah wajibah, yaitu suatu yang dibahas oleh kaidah-kaidah wajib dan dalil-dalilnya dari syariat, seperti pembukuan alquran dan ilmu-ilmu syariat yang dikhawatirkan punah. Dan sesungguhnya tabligh bagi generasi setelah generasi kami adalah wajib secara ijma’ ulama dan membiarkannya adalah haram secara ijma’. Contoh semacam ini tidak pantas diperdebatkan kewajibannya…
Imam Al-Izz bin abdisallam menyatakan bahwa menyampaikan risaklah kepda generasi penerus adalah wajib secara ijma’. Dan kewajiban ini tidak sempurna, kecuali melalui wasilah hyang dapat mendatangkan, mendorong, dan menunjukkan kepadanya..
Apabila tabligh tidak sempurna kecuali dengan meluangkan waktu tertentu dan cara tertentu, maka waktu dan cara tersebut adalah wasilah yang wajib untuk meraih kewajiban yang mesti dilaksanakan sesuai dengan kadar kemampuannya..
Sesungguhnya bertabligh itu sah dengan cara dan wasilah yang telah disepakati dan diketahui oleh para ahli dakwah selama cara dan wasilah itu masih dalam kerangka syariat..
Dalam hal ini tidak ada batasannya, sebagaimana imam syatibi rah telah berdalil didalam al ihtisham dengan berkata, “Perintah menyampaikan syariat, tidak ada pertentangan didalamnya, karena Alloh berfirman,
“Wahai rasul, sampaikanlah sesuatu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu” (Al maidah:67)
Umatnyapun diwajibkan untuk menyampaikan risalah tersebut. Didalam hadits disebutkan, ‘Hendaklah yang hadir diantara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (shohih Bukhori, no.6717).
Dan syaikh aiman abu syadi mengungkapan pernyataan imam syatibi rah tentang penggunaan cara dalam mentablighkan risalah tanpa membatasinya, beliau mengesahkan setiap wasilah yang berbeda-beda yang mendatangkan tujuan. Seperti menghafal, berceramah, dan menulis. Lalu beliau memperluas setiap pernyataannya dengan kalimatnya sendiri,”dan lain-lain”. Artinya kedangkala wasilah-wasilah tabligh selain yang disebutkan oleh beliau adalah sah.
Dengan demikian, termasuk dalam bab ini adalah khuruj fi sabilillah dan segala penyampaian risalah yang telah dilaksanakan oleh para dai, sepanjang wasilah itu sesuai dengan syar’I, nash, dan maslahat umum, seperti mengarang buku dakwah, siaran radio dan televisi islam, kaset-kaset dakwah, yang semua itu tidak pernah ditemukan pda masa dahulu..
Demikian pula jika adanya wasilah tertentu dalah hal ini menentukan waktu untuk mencapai kepada yang wajib, maka tidaklah mengapa, sebagaimana ditentukan waktu-waktu khusus untuk mempelajari alquran dan hadits, maka waktu-waktu tersebut, baik lama maupun sebentar, berhari-hari, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun , semua itu termasuk dalam wasilah kepada yang wajib; termasuk hukum meluangkan waktu untuk khuruj fi sabilillah demi meningkatkan keimanan dan kesholihan..
Kami memohon kepada Alloh, agar memperlihatkan kepada kami kebenaran sebagai kebaran, dan mengaruniakan taufik kepada kami untuk dapat mengikutinya. Dan Memperlihatkan kepada kami kebatilan sebagai kebatilan, dan mengaruniakan taufik kepada kami untuk dapat menjauhinya dengan anugerah dan rahmat-Nya..Amin ya rabbal ‘alamin. (Nazhrah ilmiah fi ahli tabligh wad dakwah:1/45-59).
Sumber: http://tetesanhujan.wordpress.com/2008/11/17/apakah-khuruj-3-hari-40-hari-dan-4-bulan-itu-bidah-bag2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar