(Lanjutan dari bagian kedua)
Penentuan waktu untuk tujuan syar’i termasuk sunnah
Syaikh Aiman abu syadi bekrta, “selanjutnya kami menyampaikan bahwa apabila kami menerima bantahan tentang tahdid (pembatasan) dalam mahfum adad-yaitu khuruj 3 hari, 40 hari, 4 bulan, dsb-ini sebagai pembatasan waktu, maka siapakah diantara alim ulama muktabar yang mengatakan bahwa pembatasan waktu untuk melakukan kewajiban-kewajiban syari itu adalah bidah sehingga harus ditinggalkan?????
Berikut ini adalah dalil yang terdapat di dalam hadits shahih Bukhori, kitab ilmu, Bab: Nabi saw memelihara (waktu) kepada mereka untuk memberi mau’izhah dan ilmu agar mereka tidak bubar”
Ibnu Mas’ud ra, meriwayatkan, ” Nabi saw mengatur (waktu) untuk kami dalam memberi nasehat di (sela) hari-harinya untuk menghindari kejenuhan terhadap kami” (shohih bukhro:I/27, msulim dalam bab taubat)
Ibnu hajar rah menulis, “Ungkapan; Nabi saw memelihara waktu untuk mereka, “lafdz At-Takhawul berarti memelihara waktu untu mereka, Al mau’izhah berarti nasehat dan peringatan, lafadz al ilmu diathofkan kepada lafadz Al Mau’izhah sehignga termasuk dalam bab ‘ Mengikutkan lafazh yang umum kepada yang khusus’, karena Al ilmu mengandung Mau’izhah dan yang lainnya. Diathafkan demikian, karena Mau’izhah terdapat dalam nash hadits dan lafazh al ilmu disebutkan sebagai dasar pengambilan hukum” (fathul bari:I/195)
Perhatikanlah pendapat Imam hafizh Ibnu hajar rah, bahwa Al Mau’izhah adalah nasehat dan peringatan. Dan kita ketahui bahwa tidak ada aktivitas dakwah kecuali berupa nasehat dan peringatan terhadap manusia tentang ajaran-ajaran agama mereka.
Lalu apakah nasehat dan peringatan termasuk dalam aktivitas dakwah atau tidak?? Bagaimana Nabi saw memelihara waktu untuk mereka dalam waktu tertentu dan terbatas, sehingga mereka tidak jenuh apabila dilakukan sehari-hari..
Dan perhatikalanlah, ucapan hafizh Ibnu Hajar rah, bahwa lafazh Al ilmu dikikutkan kepada lafazh Al Mau’izhah, termasuk dalam bab ‘Menngikutkan lafazh umum kepada yang khusus’, karena al ilmu mengandung mau’izhah dan yang lainnya..
Dalil imam bukhori dengan judul hadits diatas tentang penentuan waktu, tidak dikhsusukan pada mau’izhah saja. Lafazh al ilmu bermakna umum, maka keumuman lafazh al ilmu ini memuat semua cabangnya, seperti fiqih, hadits, tafsir, dakwah, ushul, fiqih, nahwu, ulumul lughoh, ulumul quran dan lainya masih banyak.
Dalam mendengar dan mempelajari semua cabang ilmu tersebut, diperbolehkan mengadakan pembatasan dan penetuan waktu, baik berupa harian, mingguan, bulanan, atau tahunan, sebagaimana yang sudah berjalan di setiap perguruan tinggi islam yang tersebar di seluruh penjuru dunia islam..
Mereka membatasi 4 atau 5 tahun untuk strata satu (S1), 4 tahun untuk mempelajari berbagai cabang ilmu lainnya, ada yang lebih dari 5 tahun dan ada yang kurang dari itu, bergantung pada aturan yang berlaku di masing-masing perguruan. Dan seluruh umat sepakat, bahwa hal tersebut adalah baik, bahkan mereka berlomba-lomba untuk menambah Dauroh ilmu tertentu dan mendukung system pengaturan tersebut..
Belum ada seorangpun, -sejak didirikannya system tersebut hingga sekarang ini-, yang mengklaim bahwa hal tersebut adalah bidah atau sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi saw dan para sahabat ra dengan membatasi 4 tahun untuk mempelajari hadits, dakwah, ushul fikih, fiqih, dan lain-lain..Seandainya ada seseorang yang mengatakan hal itu bidah, tentu orang-orang akan menertawakannya..Bahkan melalui system pengaturan waktu tersebut banyak yang telah tamat dari pesantren-pensantren., sekolah-sekolah, dan perguruan-perguruan tinggi, para imam agama..
Hafizh ibnu hajar rah berkata, “Hadits ini menunjukkan istihbab (disukai) meliburkan rutinitas amal sholeh untuk menghindari kebosanan. Rutinitas yang diperintahkan ada 2 macam. Pertama, ada kalanya setiap hari, namun tanpa meletihkan. Kedua, ada kalanya sehari masuk dan sehari libur untuk beristirahat, agar pada hari berikutnya dapat masuk dengan semangat, dan ada kalanya libur sehari dalam sepekan bergantung pada situasi..
Yang penting ktia perlu menjaga semangat agar tetap wujud. Sikap ibnu mas’ud rhu ini menunjukkan bahwa ia mengikuti sikap nabi saw hingga hari terakhir ia melihatnya. Hadits ini menunjukkan bahwa ia mengikuti nabi saw dengan hanya melihat selang waktu antara mengamalkan dan meninggalkan, diungkapkan olehnya dengan takhawwu, yang berarti menjaga dan memelihara waktu. Pendapat kedua ini lebih jelas. “(Fathul bari:I/196)
Syaikh aiman berkata, perhatikanlah pendapat imam besar ini, yang menyatakan bahwa rutinitas amal sholeh terkadang dilakukan setiap hari -sekiranya tidak melelahkan-dan terkadang sehari jalan dan sehari tidak, dan terkadang sehari saja yang diliburkan dalam seminggu, bergantung pada situasi dan kondisi masing-masing. Dan terkadang perlu libur dua hari dalam seminggu, dua atau tiga hari dalam sebulan, bergantung pada situasi dan kondisi masing-masing..
Demikianlah para ahli dakwah dan tabligh pun tidak membatasi 3 hari dalam setiap bulan, kecuali untuk menjaga rutinitas dakwah yang sesuai dengan masa, tempat, dan kondisi mereka sekarang ini..
Penjelasan imam ibnu hajar rah, bahwa ibnu mas’ud ra mungkin mengambil sikap berdasarkan sikap nabi saw hingga hari terakhir ia melihatnya. Ibnu mas’ud rahu mengikuti sikap nabi saw hanya dengan melihat jeda waktu antara mengamlkan dan meninggalkan (takhawwul). Ia mendunkung dan membatasi waktu untuk para shahabatnya yang biasa ia nasehati, karena mengikuti cara nabi saw. Dan ia tidak mengganti dengan nama hari dan tidak pula menyebutkan waktu yang telah digunakan oleh nabi saw dengan para sahabatnya, namun ia berpendapat bahwa masalah ini adalah luas, bergantung pada situasi , kondisi individu, dan zaman pada saat itu..
Demkian pula yang dilakukan oleh para ahli dakwah, mereka mengikuti metode nabi saw dalam menggunakan waktu yang mendukung untuk menasehati dan meningkatkan diri mereka dan manusia. Mereka tidak membatasi bahwa waktu-waktu tersebut adalah yang dilakukan oleh nabi saw, karena masalah ini sangat luas yang dapat diatur sesuai dengan kondisi dan siatuasi masing-masing individu, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh imam ibnu hajar al atsqolani rah.
Demikian pula yang dipahami dan diamalkan oleh Ibnu Mas’ud rhu. Beliau tidak menjadikan kaedah dengan waktu yang telah dibatasi dan digunakan oleh nabi saw, Karena masalah ini sangat luas” (Nazhrah ilmiah fi ahli tabligh wad dakwah:I/60-65).
Sahabat Rhu membatasi waktu
Apakah pembatasan waktu tidak pernah dilakukan oleh sahabat ra?? Mari kita simak jawabannya:
Terdapat beberapa keterangan bahwa pasa sahabat ra pun mengadakan pemabtasan waktu dalam hal-hal tertentu . Para imam hadits, diataranya imam bukhrori telah membuat judu dalam kitab shohinya, bab: “Seorang Ahli Ilmu Agama yang menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi mau’izhah”
Di dalamnya terdapat hadits dari abi wail, ia berkata, “Dulu Abdullah bin mas’ud memberi mauizhah untuk orang-orang setiap hari kamis”. Lalu seoranglaki-laki berkata, Ya aba Abdurrahman, sungguh senang hatiku apabila engkau memberi mauizhah kepada kami setiap hari.” Jawabnya, :tidak , aku dilarang berbuat demikian, sungguh aku benci, bila aku membuat kalian bosan..Dan sesungguhnya aku menjaga dan memelihara waktu kalian dalam memberi mauizhah , sebagaimana nabi saw menjaga dan memelihara waktu kami dalam menasehati untuk menghindari kebosanan kami” (shohih bukhori:I/27)
Di dalam hadits ini terdapat pengkhususan hari kamis dari setiap minggu untuk memberi nasehat dan (meningkatkan) iman. Di dalam hadits ini juga terdapat pembolehan atas pemabtasan dan penetuan waktu dalam rangka menasihati umat. Dan untuk mengerjakan semua cang ilmu, seperti : fiqih, hadits, ilmu dakwah, tafsir, dan lain-lainnya, boleh dikiaskan kepadanya, baik waktu yang dibatasi sehari, dua hari atau tiga hari..
Apabila kita mengenalisa judul bab atas hadits tersebut, sesungguhnya ilmu yang disebutkan dalam judul hadits tersebut adalah umum, bermacam-macam dan bercabang-cabang , memuat semua cabang ilmu, seperti fiqih, hadits, tafsir, bahasam bayan, balaghoh, dakwah, ulumul quran, usuhul fiqih, mauizhah dan lain sebagainya..dan semua cabang ilmu itu sebagai obyek pembahsan judul hadits. Hal ini bermakna, boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu utntuk semua cabang ilmu tersebut.
Dan seandainya kami memerinci lagi judul hadits tersebt berdasarkan sifat umum jaudul hadits diatas, dengan salah satu cabang ilmu, misalnya, fiqih, dan kami tulis judul tersebut demikian, ” Seseorang ahli fiqih menjadikan hari-hari tertentu untuk memberikan pelajarannya”. Apakah ada yang menentang judul tersebut?? Apakah ada yang menolak perkataan kami itu????
Jawabnya , pasti tidak ada
Oleh sebab itu, setiap ahli ilmu dan para ahli fiqih memabtasi waktu-waktu tertentu untuk murid-muridnya dalam mempelajari ilmu fiqih, baik sehari dalam seminggu, sehingga dalam sebulan bertjumlah 4 hari, atau dua hari dalam seminggu, sehingga sebluan menjadi delapan hari, atau lebih banyak atau lebih sedikit dari waktu -waktu tersebut.
Tidak itu saja, sekarangpun seseorang dapat membatasi dengan mengkhususkan hari-hari tertentu baik itu hari jumat, sabtu, ahad, atau hari-hari lainnya. Dan itu juga dapat membatasi dan mengkhususkan waktu yang akan digunakan, misalnya: anatara maghrib dan isya, atau setelah isya, atau setelah ashar, dan sebagainya..
Selanjutnya dalam waktu yang terbatas ini, ia pun dapat lebih mengkhususkan lagi waktu penggunaannya, yaitu sejam atau setengah jam atau lebih atau berkurang dari waktu-waktu tersebut.
Pertanyaaanya adalah, “Apakah semua itu termasuk sunah atau bidah??????
Kami jawab dengan tegas bahwa semua itu termasuk sunah, tanpa ada keraguan sedikitpun didalamnya, sebab hal tersbut telah dilakukan oleh nabi saw danpara sahabat rhum, para tabiin, dan para imam, alim ulama mujtahidin pada abad ke III, dan juga oleh orang-orang yang mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mempelajari ilmu yang mereka khususkan..
Dan apabila kami memberi judul, misalnya; “Seorang ahli hadits menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi pelajarannya”. Apakah ada yang menetang judul ini?? Apakah ada yang menuduhnya bidah??
Jawabnya; hal tersebut justru sunah yang harus diikuti bahkan mempelajari hadits nabi saw adalah fardhu kifayah. Meskpiun hal tersebut dilakukan dengan waktu-waktu terbatas dan khusus..
Apabila kami menuliskan judulnya, “Seorang ahli tafsir menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi mauizhah”. Apakah ada yang menentangnya?? Jawabannya, tidak ada, bahkan hal ini disukai oleh setiap orang, karena tafsir adalah cabang dari ilmu..
Demikianlah, karena alasan pengkhususan waktu tersebut adalah sesuai dengan kehidupan manusia, sebagaimana pendapat alim ulama rah..
Dapat dibayangkan, apabila ada seorang ulama berkata kepada masyarakat;
Ulama: “Wahai manusia, aku akan mengajarkan ilmu tafsir, insyaAlloh dalam minggu-minggu ini”. Lalu orang-orang yang hadir bertanya; “Waktunya kapan ya ustadz, agar kami bisa menghadirinya?”. Kemudian ulama tadi menjawab, ” Tidak, kami tidak membatasi waktu tertentu, karena ini bidah. Namun datanglah kalian dalam minggu-minggu ini, dengan ijin Allah swt pelajaran dan ceramah akan dimulai.”
Kemudian mereka datang pada hari sabtu, namun syeikh yang mulia tidak datang. Mereka pun berkata di dalam hatinya, “Syaikh yang alim tidak datang”
Syaikh tidak menentukan waktu belajarnya (karena beliau anggap membatasi waktu tertentu adalah bidah). Dan sebaliknya ia datng pada hari yang mereka tidak datang. Misalnya hari Jumat, maka ia tentu tidak dapat menemukan mereka..
Syaikhpun berkata dalam hatinya, “Mereka itdak menyukai ilmu dan tidak menghendaki pelajaran”. Syaikh mencela masyarakatnya, dan masyarakatnya pun berbalik mencelanya. Kemudian syaikh berkata lagi, “kalau begitu datanglah lagi dalam minggu-minggu ini untuk mendengarkan pelajaran”. Lalu mereka bertanya, “Hari apa ya ustadz??”
Syaikh menjawab, “Kami tidak menentukan hari karena hal itu adalah bidah, tetapi kalian datang saja…”. Mereka meminta kepastian dan berkata” Jangan demikian, kami telah banyak kehilangan waktu, tentukanlah waktunya atau pelajaran tidak usah diadakan.”
Perbincangan itu tidak akan berakhir, kecuali jika syaikh bersedia menetukan waktu khusus untuk mereka, agar pelajaran bagi mereka dapat terlaksanakan.
Apakah dakwah terkeluar dan bukan dari salah satu cabang ilmu?? Dan apakah berlebih-lebihan , jika kami katakana bahwa dakwah adalah induk semua jenis ilmu syari?? Dari dakwahlah ilmu menjadi bercabang-cabang, dari dakwalah cabang-cabang ilmu dipelajari..
Dan kaum muslimin sejak masa nabi saw hingga sekarang rajin membuat kelompok yang mempelajari metode dakwah, teknik, dan tujuan-tujuannya. Inilah yang dipelajari oleh fakultas dakwah, universitas al azhar di kairo mesir, fakultas dakwah di madinah al munawarah, dan masih banyak di perguruan tinggi dunia islam lainnya..
Lalu sekarang menjadi aneh, jika judul dakwah secara khusus ditolak dan menerima yang lainnya??
Alloh berfirman, “Bahkan mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjesalannya.” (Yunus:39)
Apabila ditanya, apakah mengkhususkan waktu-waktu untuk mempelajari dakwah dan menyebarkannya kepada umat, sunah atau bidah?? InsyaAlloh akan dijawab tanpa keraguan didalamnya, Yaitu Sunnah. Bahkan dakwah itu sebagai kewajiban dan pengkhususan waktu untuk mempelajari dan menyebarkan dakwah nabi saw itu dilakukan oleh sahabat ra, sebagaimana disebutkan adanya judul dari shohih bukhrori..
Sesungguhnya para sahabat ra pun menentukan waktu untuk mencapai tujuan-tujuan syariat. Dan dakwah tidak berbeda dengan judul-judul yang disebutkan, seperti ilmu fiqih, hadits, tafsir, mau’izhah, dan lain-lain. Sebagaimana pengkhususan waktu untuk mempelajari dan menyebarkan cabang-cabang ilmu tersebut adalah sunnah-bukan bidah-, maka demikian pula dakwah, karena semuanya memiliki satu tujuan umum, yaitu mempelajari ilmu dan menyebarkannya.
Imam bukhori rah menetapkan bahwa penetapan waktu ini adalah jaiz (boleh), karena tanpa mengadakan demikian, maka dapat mendatangkan kesulitan. Padahal menuntut ilmu hukumnya wajib, tidak boleh ditinggalkan.
Demikian pula dakwah, maka tidak ada cara keculai dengan menetukan dan mengkhususkan waktunya, yaitu pada hari yang dapat dihadiri oleh masyarakat, sehingga tidak menyulitkan mereka serta kehidapanya. Dan tujuannyapun dapat tercapai.
Imam al kasymiri rah dalam faidhil bari, syarah shohih bukhori hal 170, dalam menjelaskan judul hadits ini, berkata: ” Dia (imam bukhori) memaksudkan penentuan waktu seperti tidak disebut bidah.
Demi Alloh, demikianlah perasaan setiap orang yang khuruj untuk berdakwah bersama ahli dakwah dengan waktu-waktu yang telah ditentukan. Berbeda dengan dosa kesombongan yang merasuk di dalam hati. Ketenangan inilah yang selalu kami lihat terhadapa orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Alloh SWT. Untuk menggunakan setiap tenaganya untuk khuruj dan meluangkan waktunya untuk berkhidmat kepada agama Allah.
Namun tidak sedikit orang yang menentang, mencela dan mengkritik mereka dalam masalah waktu-waktu mereka yang digunakan siang dan malam. Mereka juga dengan seenaknya mengingkari hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban agama Alloh, dan dengan seenaknya menolak dengan kekuatan mereka, padahal dibelakangnya mereka memiliki lembaran-lembaran yang menghapus pahala amal mereka dan menyegel perkataaan mereka yang jujur dan hak, bukan yang palsu dan dusta. (Nazhrah ilmiah fi ahli tabligh wad dakwah:1/67-75)
Perkataan para ulama tabligh tentang penentuan hari
Penyusun kitab “kewajiban mengajak kepada kitab dan sunnah” berkata ” Aku bertanya kepada syaikh zainul abidin, ” Apa pendapat kalian tentang khuruj 4 bulan dan 40 hari dalam setiap tahun?? Dan apa dalilnya?? Beliau menjawab, ” Hal ini sekedar untuk (memudahkan pelaksanaan) tertib.”
Syaikh umar palanpuri di dalam penjelasannya disalah satu ijtima’ berkata, ” kami tidak menemukan didalam alquran dalil-dalil 4 bulan setahun dan juga jamaah jalan kaki. Bahkan yang kami temukan adalah Alloh telah membeli semua kehidupan dan harta kaum mukmin, dengan demikian, Alloh telah memerintahkan kami agar keluar (khuruj) setahun atau 4 bulan..Mengapa, yaitu agar kami membiasakan diri mengorbankan harta dan diri di jalan Alloh.
Kemudian syaikh berkata, ” Baik, siapa yang siap khuruj fi sabilillah 40 hari??” lalu ada seorang pemuda berdiri, dan berkata, ” ya syaikh kenapa hanya 40 hari??lalu syaikh menjawab, “Baik siapa yang siap 39 hari??” (sawanih syaikh Muhammad umar palanpuri: II/87).
Demikianlah pendapat jumhur ulama dan para ahli ushul fiqih, bahwa pembatasan dan pengkhususan waktu untuk kepentingan agama tidaklah bertentangan dengan syariat, sehingga tidak dapat dikatakan bidah.
Dan demikian pula ketetapan para ahli dakwah dan maksud penggunaan waktu-waktu tersebut, Kami memohon kepada Alloh agar melapangkan dada kami dan membangkitkan semangat kami, dan semoga syetan tidak menguasai kami atas syariat yang jelas untuk ikut andil dalam pembahasan ini…
InsyaAlloh kesalahpahaman ini tidak akan bertambah lebar sehingga tidak akan menghambat umat untuk bersungguh-sungguh dalam agama dan dakwah..amin yaa rabbal alamin…
(Sumber: Kupas tuntas jamaah tabligh: II/ 5-27)
Sumber: http://tetesanhujan.wordpress.com/2008/11/17/apakah-khuruj-3-hari-40-hari-dan-4-bulan-itu-bidah-bag3/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar