Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menunjukkan bahwa keimanan sangat mudah goyah pada awal mula pertumbuhannya
BAGI seorang Muslim, iman adalah segalanya. Iman adalah aset
paling berharga dan menjadi kriteria pertama diterima atau tidaknya amal
di hadapan Allah. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya setiap aset
berharga di dunia ini, ia selalu terancam bahaya. Banyak pihak yang
mengintai dan ingin mencurinya. Maka, tidak sedikit orang yang imannya
lenyap, lalu mati dalam keadaan tidak memilikinya lagi. Tentu kita tidak
ingin mengalaminya. Tetapi, bagaimana menjaga iman supaya tidak hilang?
Dalam Al-Qur’an, ketiadaan iman disebut juga dengan ketersesatan
(dholal). Dan, pada dasarnya tidak ada manusia yang disesatkan oleh
Allah, kecuali orang-orang yang fasiq. Dengan kata lain, bila manusia
telah menjadi fasiq, ia pasti akan tersesat. Allah berfirman;
مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَـذَا مَثَلاً يُضِلُّ بِهِ كَثِيراً وَيَهْدِي بِهِ كَثِيراً وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“…dan, tidak ada yang disesatkan dengannya kecuali orang-orang yang
fasiq. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada
mereka) untuk menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi.
Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Qs. al-Baqarah: 26-27).
Menurut Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat diatas menunjukkan bahwa
tidak ada yang disesatkan kecuali orang-orang yang meninggalkan ketaatan
kepada Allah, tidak mau menuruti perintah maupun larangan-Nya, dan
melanggar perjanjian yang telah Allah buat dengan mereka. Dalam Tafsir
Zadul Masir dinyatakan, bahwa diantara sifat orang fasiq adalah
menyalahi isi Al-Qur’an, memutuskan hubungan silaturrahim, dan melakukan
kemaksiatan-kemaksiatan.
Jelas bahwa kefasikan adalah kondisi ketika seseorang menelantarkan
imannya, memperturutkan hawa nafsu, dan tidak memperdulikan hukum-hukum
Allah. Ketika itulah imannya menjadi rapuh, lalu syetan merampasnya.
Maka, dalam al-Fiqh al-Akbar, Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak boleh
kita katakan bahwa syetan merampas iman dari hati seorang hamba yang
mukmin secara paksa dan sewenang-wenang. Namun, kita katakan bahwa
seorang hamba itu meninggalkan imannya sehingga pada saat itulah syetan
merampasnya.”
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menunjukkan bahwa
keimanan sangat mudah goyah pada awal mula pertumbuhannya, apalagi di
kalangan anak kecil dan kaum awam. Oleh karenanya, iman harus selalu
diperkokoh. Selanjutnya beliau berkata,
“Jalan untuk menguatkan dan meneguhkan iman bukanlah dengan
mempelajari kemahiran berdebat dan teologi (ilmu kalam), akan tetapi
dengan (1) menyibukkan diri membaca al-Qur'an berikut tafsirnya, (2)
membaca hadits disertai maknanya, dan (3) menyibukkan diri dengan
menunaikan berbagai tugas ibadah. Dengan demikian kepercayaannya
senantiasa bertambah kokoh oleh dalil dan hujjah al-Qur'an yang mengetuk
pendengarannya, juga oleh dukungan hadits-hadits beserta faidahnya yang
ia temukan, kemudian oleh pendar cahaya ibadah dan tugas-tugasnya. Hal
itu juga diiringi dengan (4) menyaksikan kehidupan orang-orang shalih,
bergaul dengan mereka, memperhatikan tindak-tanduk mereka, mendengar
petuah-petuah mereka, juga melihat perilaku mereka dalam ketundukannya
kepada Allah, rasa takut mereka kepada-Nya, serta kemantapan mereka
kepada-Nya.”
Imam al-Ghazali kemudian mengibaratkan awal mula keimanan dengan
menabur benih, sementara seluruh amal tersebut diatas merupakan upaya
menyiram dan merawatnya, sehingga akhirnya ia tumbuh berkembang, menjadi
kuat dan meninggi sebagai pohon yang baik dan kokoh, akarnya teguh
sedangkan cabang-cabangnya menjulang ke angkasa. Kelak, buahnya pasti
lebat dan menguntungkan, dengan seizin Allah.
Pernyataan di atas dapat kita pahami pula dari sisi sebaliknya.
Bahwa, ketika seseorang mulai menjauh dari Al-Qur’an, tidak mengenal
hadits Nabi, kocar-kacir ibadahnya, dan memiliki lingkungan maupun teman
bergaul yang rusak, berarti ia tengah menelantarkan imannya. Maka
sangat boleh jadi, seperti kata Imam Abu Hanifah, syetan pun akan
merampasnya. Na’udzu billah!
Bila seseorang menjauhi Al-Qur’an dan hadits, maka akar-akar iman di
hatinya pun mulai goyah. Rasulullah bersabda, “Sungguh telah aku
tinggalkan di tengah-tengah kalian – selama kalian selalu berpegang
teguh kepadanya – maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan
Sunnah Nabi-Nya.” (Riwayat al-Hakim, dari Ibnu ‘Abbas. Hadits shahih).
Bila tugas-tugas ibadahnya berantakan dan ia lalaikan, maka Allah pun
akan mengacaukan hati dan kehidupannya, hingga terasa sempit dan
menggelisahkan. Allah berfirman, “Barangsiapa berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan
Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Qs.
Thaha: 124).
Bila hanya ada orang-orang jahat di sekitarnya, maka masing-masing
cuma perduli pada urusan perut dan syahwat, lalu satu sama lain akan
menghalangi dari akhirat. Dikisahkan oleh al-Hafizh Ibnu Abi ad-Dunya
dalam kitab al-Ikhwan, bahwa 'Atha' al-Khurasani pernah bertanya kepada
Muhammad bin Wasi’, "Amal apakah yang paling utama di dunia ini?"
Dijawab, "Menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara, apabila
mereka saling bersahabat diatas kebajikan dan taqwa." Beliau
melanjutkan, "Ketika itulah Allah akan menghadirkan kemanisan diantara
mereka, sehingga mereka terhubung dan saling menyambungkan hubungan.
Tiada kebaikan dalam menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara
jika mereka menjadi budak dari perutnya masing-masing, sebab jika mereka
seperti ini maka satu sama lain akan saling menghalangi dari akhirat.”
Oleh karenanya, Allah mengajari kita sebuah doa, agar iman dan hidayah senantiasa tertanam di hati dan tidak dilenyapkan-Nya.
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menjadikan hati kami condong
kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan
karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; Sesungguhnya Engkau Maha
Pemberi (karunia).” (Qs. Ali ‘Imran: 8). Wallahu a’lam.*/M. Alimin
Mukhtar, Pernah dipublikasikan Lembar Tausiya.
source : http://www.hidayatullah.com/read
Tidak ada komentar:
Posting Komentar