Jumat, 04 Oktober 2013

Meninggalkan Anak Istri untuk Perjuangan Agama

Dari Ummu Sulaiman ra., bahwa Nabi SAW. berkata kepadanya, “Bersabarlah engkau! Demi Allah! Sejak tujuh hari ini keluarga Rasulullah SAW. tidak mempunyai sesuatu pun untuk di makan, dan sudah tiga hari api tidak di nyalakan di bawah panci mereka. Demi Allah! Seandainya aku meminta kepada Allah agar bukit-bukit Tihamah dijadikan emas, pastilah Allah akan mengabulkannya.”

Dengan riwayat-riwayat ini, apakah dapat dikatakan bahwa Rasulullah SAW. telah sengaja menzhalimi keluarganya, karena sibuk dalam berdakwah sehingga menyebabkan keluarga beliau sendiri kelaparan hingga berbulan-bulan? Naudzubillah min dzalik!

Anak dan istri berpisah sementara untuk kepentingan agama tidak hanya dilakukan oleh Rasulullah SAW, sebagian istri-istri nabi pun mengalaminya. Misalnya, Siti Hajar istri Ibrahim as. yang ditinggalkan sendirian hanya bersama bayinya di tengah gurun pasir gersang tanpa ada perbekalan yang mencukupi, semata-mata demi membantu tugas dakwah dan perjuangan agama suaminya.

“(Ibrahim berkata), Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian dari keturunanku di lembah yang tidak bertumbuh-tumbuhan di dekat rumah-Mu yang dihormati.” (QS. Ibrahim 37)

Ibrahim as. tidak meninggalkan keluarganya untuk tiga hari, empat puluh hari atau empat puluh bulan, tetapi beliau telah meninggalkan keluarganya 13 tahun!
Dan ternyata, setelah diuji dengan harus meninggalkan anak dan istrinya selama bertahun-tahun, demi menunaikan tugas dakwah dan menyeru manusia kepada agama, justru lahir dari keturunan Ibrahim as., nabi-nabi dan rasul-rasul Allah. Apakah kita akan katakan bahwa Ibrahim as. adalah lelaki yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya dan menyia-nyiakannya?
Bagitu juga istri Nabi Musa as. yang ditinggalkan oleh Musa as. sendirian di tengah hutan untuk berdakwah kepada Firaun.

Allah SWT berfirman, “Ketika ia (Musa as.) melihat api, lalu ia berkatalah kepada keluarganya, “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api. Semoga aku dapat membawa sedikit dengannya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk.” (QS. Thaahaa 10) 

Pada ayat selanjutnya Musa as. diperintah, “Pergilah kepada Firaun sesungguhnya ia telah melampaui batas.”
Lalu apakah Nabi Musa as. juga di tuduh telah menzhalimi keluarganya dan menyia-nyiakannya, karena telah meninggalkan istrinya di tengah hutan belantara semata-mata karena ia telah diperintahkan untuk berdakwah kepada Firaun selama 40 hari ?

Selain para Anbiya, keluarga para sahabat ra. juga telah berbuat demikian, sebagaimana banyak tertulis di dalam kitab-kitab, salah satu misalnya, adalah kisah hijrahnya Abu Bakkar ra. ke Madinah.

Asma binti Abu Bakar ra. meriwayatkan, “Ketika Rasulullah saw. keluar untuk hijrah, Abu Bakar ra. pun ikut keluar berhijrah bersama beliau. Abu Bakar membawa seluruh hartanya sebanyak 5000 atau 6000 dirham. Dia pun pergi dengan membawa seluruhnya. Kemudian datanglah kakek kami; yaitu Abu Quhafah ra.. Ia berkata, “Demi Allah, Abu Bakar itu pasti telah menyusahkan kalian dengan harta dan dirinya.” Aku berkata, “Sama sekali tidak! Wahai kakek, sesungguhnya ia telah meninggalkan banyak harta.” Maka aku ambil kerikil-kerikil dan kuletakkan di tempat yang biasa ayahku menyimpan hartanya di lubang di rumahnya. Lalu kututup dengan kain, dan kutuntun tangan kakekku, dan berkata, “Ulurkan tanganmu ke sini, kek. “Dia berkata, “Kalau begini tidak masalah. Sungguh dia telah meninggalkan ini untuk kalian. Dia sudah berbuat baik.”

Umar bin Khattab ra. berkata, Rasulullah SAW. menyuruh kami bersedekah. Ini bertepatan dengan harta yang ada padaku. Aku berkata, “Jika suatu hari aku akan menang di atasnya.” Lalu aku datang dengan setengah hartaku, lalu Rasulullah SAW. bertanya, “Sepertiga.” Lalu datang Abu Bakar ra. membawa seluruh harta yang ada padanya. Maka Rasulullah SAW. bertanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk ahli keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Berkata Umar, “Aku memang tidak akan menang di atas Abu Bakar sedikit pun selamanya.”

Apakah Abu Bakar ra. divonis oleh Nabi SAW.  sebagai suami dan ayah yang dzhalim kepada keluarganya, karena ia tidak meninggalkan apapun bagi keluarganya ketika berhijrah bersama Rasulullah SAW.? Bahkan justru Rasulullah SAW. Tidak mengingkari pengorbanan Abu Bakar As-Shiddiq ra. Yang menyerahkan seluruh hartanya karena beliau mengetahui kebenaran niatnya.

Tindakan Abu Bakar ra. Tidaklah menyalahi firman Allah Al-Baqarah, ayat; 219, (Allah SWT berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,”) karena Allah mengakui pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang demi agama dan umat.

Juga seperti sahabat Anas bin Malik ra. Ia memiliki anak yang sulit di hitung karena banyaknya. Ia pernah berkata, “Cucu-cucuku itu mempunyai hitungan tersendiri. Tetapi aku sendiri telah menguburkan 125 anak dari keturunanku. Selain itu, yang masih hidup pun banyak sekali.” Walaupun demikian banyak tanggung jawab keluarga, terhadap istri dan anak-anaknya, ia terkenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadist dan sering menyertai jihad fisabilillah.

Demikian juga, Zubair bin Awwam ra. yang pada waktu mati syahidnya, ia meninggalkan sembilan orang anak laki-laki, sembilan anak perempuan, dan empat orang istri. Bahkan ada sebagian  dari cucunya yang lebih tua daripada anak-anaknya sendiri.

Meskipun demikian, ia merupakan salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadist. Ia juga ikut serta dalam banyak peperangan. Sekalipun mempunyai banyak tanggungan keluarga, namun anak-anak dan istrinya itu tidak menghalanginya dari kesibukan memperjuangkan agama Allah.

Di dalam kisah lain, diriwayatkan Saad bin Khaitsamah ra. bercerita, “Aku tertinggal dari rombongan Rasulullah SAW. Yang ke Tabuk. Aku pun kembali ke rumah. Di sana kudapati istriku sedang menyiram rumah dengan air (agar menjadi sejuk), maka kukatakan kepada istriku, “Sungguh tidak adil kalau aku masuk rumah dan beristirahat di tempat yang teduh, sedangkan pada saat ini Rasulullah SAW. Sedang berada di tempat yang sangat panas.” Maka segera kusiapkan kantong dan bekalku. Melihat hal itu, istriku berteriak, “Abu Khaitsamah! Hendak kemana engkau?” Kujawab, “Menyusul Nabi SAW. Ke Tabuk.” Setelah itu aku keluar, dan di tengah perjalanan, aku bertemu Umar bin Wahab, lalu aku berkata kepadanya, “Sungguh kamu ini seorang pemberani. Aku ingin tahu di mana Nabi SAW berada. Dan sungguh aku merasa berdosa. Karena itu berjalanlah di belakangku agar dapat kutemui Nabi SAW. empat mata.” Umar pun berjalan mengikuti dari belakang. Ketika aku mendekati pasukan itu, maka orang-orang melihatku dari jauh dan berkata, “Ada seseorang mengendarai kuda ke arah kita!” Rasulullah SAW. berkata, “Ya Rasulullah, celaka aku!” Kemudian kuceritakan kisah perjalananku, maka Rasulullah SAW. mendoakan kebaikan untukku.”

Abu Naufal bin Abi Aqrab menceritakan, “Ketika Harits bin Hisyam akan berangkat dari Makkah menuju ke Syam, maka seluruh penduduk Makkah sangat merisaukan kepergiannya. Semua orang kecuali anak-anak yang masih menyusui mengantar kepergiannya ke luar kota Makkah. Ketika sampai di bukit Bath-ha atau dekat tempat itu, maka dia berhenti, dan orang-orang merasa bersedih, maka dia berkata, “Wahai kaumku! Demi Allah, sesungguhnya aku pergi bukan karena lebih menyayangi diriku dari pada diri kalian, juga bukan karena aku lebih memilih kota lain dari pada kota kalian. Tetapi aku pergi karena memenuhi perintah agama untuk berjihad di jalan Allah, dan hingga saat ini telah banyak kaum Quraisy yang telah mendahului aku pergi padahal mereka bukan termasuk pemuka atau pun dari keluarga yang berkedudukan tinggi. Keadaan kita sekarang ini, demi Allah! Sesungguhnya kita mengorbankan emas di jalan Allah sebanyak gunung-gunung di kota Makkah, niscaya kita tidak akan melebihi pahala satu hari mereka di jalan Allah. Demi Allah! Seandainya mereka mendahului kita di dunia, maka sekurang-kurangnya kita dapat menyamai mereka di akhirat. Sebaiknya orang yang beramal merasa takut kepada Allah dengan amalnya.” Setelah itu diapun berangkat menuju ke Syam, dan dia juga membawa kerabatnya untuk ikut serta dan ia tetap tinggal di sana hingga mati syahid, sehingga Allah merahmatinya.”

Semua kisah di atas dengan tegas menunjukkan bahwa meninggalkan keluarga untuk sementara demi kepentingan agama. Namun penerapannya bagi kita perlu dilakukan dengan sebijak dan sehikmah mungkin, sehingga maksud untuk menyebarkan agama menjadi terwujud dengan baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar